Mostly about social, books, and personal development. No I don't talk about physics and math, but will still come if you offer me a cup of cappuccino. Thank you for visiting my page!
Rabu, 23 Desember 2015
Diari Resepsi -in her eyes-
Aku pernah menjadi wanita paling egois di dunia. Memintanya datang dengan membawa banyak cinderamata dan menginginkannya jadi milikku tanpa aku harus membayar apa-apa sebagai gantinya.
Aku pernah menjadi angkuh, menyilangkan lengan di dada dan mengangkat dagu ketika dia mengetuk pintu. Aku tak membelanya ketika orang tuaku bertanya apa yang ia bawa. Dan ia menundukkanku ketika dengan menatapku, ia berkata hanya membawa hidupnya dan tidak akan memberikan apa yang tidak ia bawa. Di dalam matanya, aku menemukan jalan kepatuhan dan perlindungan.
Maka aku meminta maaf pada orang tuaku karena tidak bisa membela mereka dalam mempertahankanku. Aku dengan durhaka memilih meraih tangannya daripada bertahan dalam pelukan mereka. Dalam hingar-bingar ini, aku tak berani meminta mereka ikut berbahagia. Yang kuminta adalah pengertian dan mereka tidak pernah tidak memberikan apa yang kuminta. Dan demikianlah rantai kepatuhanku berpindah kuasa, dibeli dengan harga dirinya.
Aku ingin sekarang juga ia membawaku berlari pergi. Segera memutuskan rasa bersalah yang mengungkungi diri, berbenah untuk berlayar ke tempat yang tak seorang pun mengenali. Tetapi tangannya menggenggamku erat, memakunya untuk tetap di sini sampai semua orang merestui. Ia menyelamatkan aku dari pilihan yang akan membuatku menyesal nanti. Dan detik aku mengerti, aku bersumpah menjadi miliknya sampai mati.
Aku ingin menjadi baik, dalam segala hal yang ia anggap baik. Berpakaian dengan baik, bersolek dengan baik, berbicara dengan baik, mendengarkan dengan baik, bersabar dengan baik, bersyukur dengan baik, bersetia kepadanya dengan baik. Aku ingin waktuku tanpanya di sisiku adalah penantian dan waktuku bertemu dengannya adalah sebuah awal yang baru. Maka kuharap aku selalu menunggu datangnya kisah-kisah yang membuat pipiku bersemu setiap kali ia mengucapkan "sampai nanti" di pagi hari dan kembali dengan "aku pulang" sebelum petang menjelang. Karena petangku sudah kujanjikan menjadi miliknya dan petangnya sudah disumpah untuk diberikan kepadaku.
Ia tak hanya akan jadi labuhan tangis, tapi juga hulu semua bahagiaku. Aku takkan menangis tanpa izinnya dan berbahagia tanpa restunya. Untuk selamanya dalam hidupnya, kuharap aku menjadi satu-satunya definisi pulang dan tempat pertama yang ia tuju ketika segala di harinya selesai. Setiap membuka pintu, ia akan selalu menemukanku tersenyum menyambutnya dengan rambut yang wangi dan nasi hangat terhidang. Meski seringkali lauk akan sederhana, tapi pertemuan yang dijeda penantian tak akan pernah berakhir sederhana.
Menjadi kuat dan lebih tangguh. Menjadi mandiri dan lebih tegap berdiri. Kelak jika ia datang padaku dengan segala bebannya di hari itu, jika punggungnya yang kokoh tertekuk lesu, aku tidak akan roboh. Kaki, punggung, dan tanganku akan tetap mampu menopangnya sama seperti ia selalu menopangku. Aku akan kuat membawanya sampai tempat peristirahatan kami dan menenteramkannya sampai segalanya menjadi baik lagi.
Aku bersumpah untuk memenuhi tugasku sebagai bagian penting yang menyempurnakan hidupnya. Lebih sempurna dari ia menyempurnakan hidupku.
24 Desember 2015
Diari Resepsi -in his eyes-
Hari ini ia adalah wanita yang paling bersedih hatinya. Tidak apa, karena setelah ini aku akan selalu membuatnya bahagia.
Hari ini ia menekan segala perasaannya dan menyimpulkannya sebagai senyum yang dikembangkan ke siapa saja. Kugenggam saja erat tangannya, membantunya mempertahankan bendungan air mata yang ingin segera tumpah. Tidak apa, karena setelah ini aku akan menjadi tempat baginya untuk menangis sepuasnya.
Hari ini ia membunuh egonya dengan sempurna, menyingkirkan manja yang selamanya dihalangi harga diri dan ketangguhan prinsip hidup yang dijalaninya. Nanti, setelah ini, aku akan merengkuhnya dalam lenganku dan mengizinkannya bermanja-manja sampai ia merasa utuh.
Aku ingin segera memenuhinya dengan rasa-rasa yang kusimpan sejak lama. Aku ingin segera menjadi tempatnya merasa penuh. Merasa aman dan terlindungi sehingga ia tak perlu lagi lari atau sembunyi. Aku ingin menyampaikannya segera, bahwa ia tak perlu lagi meinta izin untuk tertawa, menangis, meminta, dan berbahagia. Ia tak perlu lagi merasa bersalah setiap kali hatinya berbunga-bunga.
Aku ingin mencintainya dengan seluruh energiku, menjadi tempatnya mengadu dan berkeluh, menjadi tempatnya mengikhlaskan diri patuh. Dengan seluruh hidupku, aku ingin setiap saatku tanpanya adalah rindu.
Bahagiaku adalah kemampuan untuk menghargainya, menghormati hak-haknya, perasaannya, dan menyayanginya.
Tuhan pernah mengambilnya, menyamarkannya sebagai tulang rusuk yang tidak ada faedahnya jika terpasang sempurna, dan memisahkan kami dengan paksa. Kini ketika sudah Tuhan kembalikan, aku akan memastikan selainNya tidak akan ada yang bisa memisahkan.
24 Desember 2015
Rabu, 22 April 2015
Dramaturgi Dovima (Reflection)
Aku baru selesai membaca novel berjudul Dramaturgi Dovima.
Jika boleh kuringkas, isinya tentang seorang wanita yang bekerja menjadi
seorang jurnalis. Kesan yang ditampilkan dalam novel itu cenderung gelap. Tokoh
wanitanya digambarkan sekeras batu dan penyendiri. Bukan karena malu, melainkan
karena merasa bahwa dunia ini dan segala isinya bukan tempatnya seharusnya
berada. Satu-satunya yang membuatnya merasa hidup dan tempat untuk melarikan
diri dari segala kenyataan yang menyebalkan adalah pekerjaannya: jurnalis
sebuah majalah berita yang sibuk.
Ada sesuatu yang menarikku ke dalam cerita itu begitu dalam.
Aku tak melepaskan buku itu hingga sampai titik terakhir. Kisahnya, alurnya,
bagaimana cerita berakhir, entahlah. Rasanya seperti dejavu.
Aku pernah mengimpikan memiliki kehidupan yang sama dengan kisah
novel itu.
Aku pernah menginginkan kehidupan seperti itu: drama,
ketegaran, tangisan, kekuatan untuk bertahan hidup, dan kepercayaan diri bahwa
aku tak membutuhkan orang lain. Tak ada yang pantas untuk membersamaiku
melewatkan waktu.
Seorang jurnalis yang gila kerja, menolak hampir semua pria,
menganggap cinta hanya dramatisasi dari hasrat seksual. Ia kokoh bagai gunung
dan tinggi tak tersentuh. Orang-orang yang mengaguminya tak berani mengulurkan
tangan lebih jauh. Di atas sana, ia memandang orang-orang dengan sinis, menolak
keberadaan yang lain dan hanya fokus untuk bekerja.
Aku pernah menginginkan itu.
Penulis novel itu tak menempatkannya sebagai karakter yang
antagonis, atau protagonis. Ia menempatkan tokoh sentralnya sebagai manusia. Ia
menjadikan pekerjaan sebagai tempat pelarian
dari kepahitan hidup. Dalam kegilaannya pada kerja, cinta menjadi hal
yang mengganggu. Ia memutuskan untuk melepaskan diri. Menjadi jurnalis adalah
melihat semua hal dengan dingin. Menjadi objektif dan hanya melihat fakta akan
menyelamatkannya dari kerepotan bercampurnya perasaan saat liputan. Menjauhkannya
dari kekecewaan. Tapi juga akan menghancurkan bagian dalam diri perlahan-lahan.
Bagiku, kehancuran yang manis, yang penuh kebanggaan.
Konflik yang terjadi barangkali terlalu didramatisasi, tapi
berhasil menangkapku dan mengurungku di dalam cerita, mungkin sampai
berbulan-bulan kedepan. Aku tak mudah lupa.
Aku masih ingin menjadi batu seperti Dovima.
11 September 2014
Pesta Keluarga
Apa kau menyebutku jahat dengan memintamu mengenakan topeng
terbaikmu dalam pestaku? Aku mengundangmu dalam pesta yang kuadakan. Sekalipun
sejak awal telah kau tolak, tetap kuantarkan undangan pengharapan ke depan
pintu rumahmu. Berharap kita jumpa lagi.
Kukatakan padamu, berkorbanlah demi pestaku.
Aku paham kau
tak suka lampu-lampu gemerlap dan bising dalam ruang pesta bundar dengan alunan
musik salsa. Aku paham barangkali tak hanya kau yang merasa gerah dengan semua
gaun dan sepatu yang membuat orang-orang seolah terlihat lebih baik. Bisa jadi
semua tamuku tak menyukai pestaku, tapi bukan peduliku. Aku adakan pesta,
mereka kuminta datang, dan semua tamuku wajib bersenang-senang. Berpesta dengan
gayaku. Tak terkecuali kau. Kuingin kau berbahagia dalam pestaku. Jika nyatanya
kau tak senang, berpura-puralah sampai tengah malam datang dan kau bisa pulang.
Aku pernah berpura-pura menikmati pesta orang lain. Rasanya
sangat buruk ketika tamu-tamu lain mengharapkanmu menampilkan sesuatu yang lucu
untuk menghibur mereka. Kau tahu, aku bukan orang yang lucu. Tapi pesta itu
adalah pesta sahabat baikku yang selalu hadir kapanpun kupanggil namanya. Aku
hanya merasa tak ingin jadi orang yang menghancurkan pesta.
Saat aku hadir dalam pesta itu dan mengenakan gaun
terbaikku, aku berulang kali jatuh karena tak terbiasa memakai sepatu hak
tinggi. Seorang sahabat lain bertanya, “Apa kau yakin bisa terus mengenakan
gaun pesta setahun ke depan jika kau terpilih jadi bintang pesta malam ini?”
Sejenak aku hendak berkata “ya”, sebelum melihat ke dalam matanya. Dan aku tak
bisa berbohong. Matanya menemukan titik ragu-ragu jauh di dalam hatiku. Maka
saat itu juga kupeluk ia dan menangis di pundaknya. Ia mengelusku dan
mengatakan semua akan baik-baik saja. Lalu ia menuntunku menuju ruang pesta.
Aku berdansa sendirian bersama kandidat bintang pesta yang
lain. Sahabatku penyelenggara pesta puas dengan penampilanku yang hebat walau
agak terseok-seok. Sahabatku yang lain melihat dari jauh. Tenang sekali rasanya
melihatnya ada di sana. Akhirnya ia menyelamatkanku dari pemilihan bintang
pesta. Ia membuatku terhindar dari gaun yang sempit dan sepatu yang membuat
kaki sakit. Berkatnya, kini aku bebas berjalan-jalan pakai sandal atau sepatu
roda jika aku mau.
Kau yang berdiri mematung di halaman rumahku saat ini
terlihat seperti sosokku setahun lalu. Ragu melangkahkan kaki ke dalam karena
tak yakin apa yang diinginkan. Kau barangkali bisa memilih untuk tidak datang,
tapi tak bisa mengabaikan undangan yang kuantarkan padamu. Sementara kau
berpikir di luar, dari balik jendela aku bertanya-tanya, akankah kau hadir dan
merusak pestaku dengan berkata kau tidak menyukainya di hadapan semua orang?
Ataukah kau akan melangkah ke dalam, menyembunyikan raut kesalmu dengan topeng
indah dan gaun megah, berpura-pura menikmati hidangan dan musik sajianku?
Sebenarnya aku ingin menyelamatkanmu dari pestaku. Rasanya
ingin kubawa kau ke atap ruang pesta dan kau bisa melepaskan topeng,
meregangkan kaki, membuang kostum pesta konyol itu. Kita akan menertawakan
bersama pesta di bawah dan mengasihani orang-orang bertopeng yang menari
canggung di lantai dansa.
Sayangnya kau tak berkata apa-apa. Aku tak bisa membaca
keinginan hatimu. Apakah kau akhirnya bisa menikmati pestanya? Apakah kau hanya
sekedar datang sampai lonceng berbunyi dan pergi menghilang setelahnya? Apakah
kau akan membuat dirimu tampak konyol agar orang tahu betapa kau tak
menginginkan pesta ini, apalagi menjadi bintang di dalamnya? Kuharap bukan yang
ketiga. Membuat dirimu tampak konyol hanya akan mengundang tertawaan, cemoohan
yang menyakiti hatimu sendiri. Dan aku tak bisa membiarkanmu diperlakukan
demikian di pestaku. Lebih baik aku tak melihatnya.
Hei, tak bisakah kau serahkan semua padaku dengan mengatakan
apa yang kau inginkan? Jangan-jangan kau tak percaya padaku? Kau pikir aku
wanita yang begitu dingin?
Aku tak bisa membaca hatimu. Selama ini kita hanya
berpura-pura saling mengerti. Tapi sebenarnya seperti dugaanmu. Di pestaku aku
tak memikirkan perasaan setiap tamu yang datang. Aku mengundang mereka untuk
bahagia, maka mereka yang datang wajib berbahagia, tak terkecuali kau.
Kelancaran pestaku adalah segala-galanya. Akan kubenci kau jika sampai
menghancurkannya atau membuat tamu lain menyakitimu. Atau kalian semua
menyakitiku: tak akan kumaafkan. Kau tahu bagaimana caraku tak memaafkan.
Putuskanlah segera. Yang bisa kutawarkan padamu adalah untuk
memakai topeng terbaikmu dan berpura-pura menikmati pesta. Perihal keinginanmu
untuk tak menjadi bintang pesta, serahkan saja padaku.
Aku akan selalu bisa
diandalkan, kau tahu? Seperti biasanya.
18 September 2014
Selasa, 31 Maret 2015
Kisah Sederhana tentang Media dan Kita
![]() |
mpn.kominfo.go.id |
Wartawan (W)
Menteri (M)
W1 : Pak, bapak lebih suka ayam goreng apa
gulai kambing?
M : Ayam goreng
W1 : Pakai tepung atau tidak pak?
M : Pakai tepung
W1 : Model ayam goreng KFC ya pak
M : Ya kurang lebih mirip begitulah..
M : Ayam goreng
W1 : Pakai tepung atau tidak pak?
M : Pakai tepung
W1 : Model ayam goreng KFC ya pak
M : Ya kurang lebih mirip begitulah..
Headline : Menteri M
lebih suka ayam goreng KFC model Amerika dan tidak suka gulai kambing
tradisional Indonesia..
W2 menulis di
berita online :
Terlaluu! Gaya Hidup Menteri M Kebarat-baratan
Si B bikin
status FB :
Hati-hati Menteri M mendukung bisnis liberal kapitalis daripada pertumbuhan ekonomi kerakyatan
Hati-hati Menteri M mendukung bisnis liberal kapitalis daripada pertumbuhan ekonomi kerakyatan
W3 menulis
berita online abal-abal yang mencatut nama Islam.
Menteri M Benci Daging Kambing Makanan Kesukaan Rasulullah SAW
Menteri M Benci Daging Kambing Makanan Kesukaan Rasulullah SAW
Si A tweeting :
Astagfirullah.. Ada upaya penyesatan akhlaq, Kambing yang disukai Rasulullah SAW dianggap tidak baik oleh Menteri M. Kita akan digiring ke cara pandang kafir
Astagfirullah.. Ada upaya penyesatan akhlaq, Kambing yang disukai Rasulullah SAW dianggap tidak baik oleh Menteri M. Kita akan digiring ke cara pandang kafir
Si C menulis
dalam blog
Seperti yang sudah kita duga, industri kecil dan menengah lokal akan segera disingkirkan karena tidak menguntungkan pemerintah
Seperti yang sudah kita duga, industri kecil dan menengah lokal akan segera disingkirkan karena tidak menguntungkan pemerintah
Kelompok X
Merencanakan Demo Penyesatan Akhlaq
Kelompok Y Merencanakan Demo Membela UKM
Kelompok Y Merencanakan Demo Membela UKM
Menteri M
menerima summary berita hari ini dari sekretarisnya
"Pak ini rangkuman berita-berita tentang anda seminggu ini"
M : ##!??/
"Pak ini rangkuman berita-berita tentang anda seminggu ini"
M : ##!??/
Penasehat : Bagaimana kalau untuk meluruskan ini
besok kita undang seluruh wartawan makan bersama dengan hidangan kambing Pak..
M : Budget-nya?
Penasehat : Tentu dengan budget kementrian, kan untuk menjaga nama baik bapak..
M : Budget-nya?
Penasehat : Tentu dengan budget kementrian, kan untuk menjaga nama baik bapak..
Tetooot ... ..
Penasehat 2 : Sepertinya kita harus belajar teknik
komunikasi yang paling meminimalisir peluang disesatkan wartawan Pak. Hemat
tenaga, biaya dan aman
M : Sepertinya cuma anda yang
mikirnya bener di jaman ini.
Kisah di atas bukan
karangan saya. Sebuah broadcast message
sampai ke sebuah grup tempat saya menjadi member didalamnya. Entah siapa yang
membuat, tapi cukup menarik minat saya untuk berpikir dan menelaah lebih jauh. Pertanyaannya adalah, siapa yang menjadi tokoh antagonis?
Barangkali cuplikan kisah
di atas hanya bentuk hiperbola dari sebuah gambaran keadaan yang saat ini kita
rasakan sendiri. Anda tertawa setelah selesai membaca ceritanya? Ataukah
geleng-geleng kepala? Atau beristighfar dalam-dalam karena bisa jadi menyadari
diri Anda terepresentasikan dalam salah satu tokohnya?
Wartawan pertama dalam
cerita membuat judul “Menteri M Lebih Suka Ayam Goreng KFC Model Amerika dan
Tidak Suka Gulai Kambing Tradisional Indonesia”. Ia sedikit memelintir jawaban
si menteri yang memilih ayam goreng daripada gulai kambing. Tapi pelintiran itu
telah membengkokkan kebenaran jauh dari asalnya. Apakah “lebih memilih” bisa
disamakan dengan “lebih suka”? “Lebih memilih” ayam goreng bisa saja disebabkan
oleh berbagai alasan yang tak harus karena “suka”. Bisa jadi si menteri alergi
daging kambing atau santan, atau punya darah tinggi, atau sekadar karena alasan
harga (entah lebih murah atau lebih mahal). Berbeda dengan “lebih suka” yang
memang alasannya karena “suka” atau karena pilihan lain “lebih tidak disukai”.
Apakah Anda bisa memahami penjelasan saya?
Taruhlah “lebih suka” dalam judul wartawan pertama adalah benar
digunakan. Lantas dalam kalimat “Menteri M
Lebih Suka Ayam Goreng KFC Model Amerika dan Tidak Suka Gulai Kambing
Tradisional Indonesia” apakah bisa “lebih suka” dibandingkansetara dengan frasa
“tidak suka”? Menurut saya, keduanya tidak bisa dibandingkan karena merupakan
tingkatan. Tingkatan yang saya maksud adalah tidak suka, kurang suka, suka,
lebih suka, sangat suka. Jadi penggunaan frasa “tidak suka” dalam judul kalimat
tersebut tidaklah tepat.
Wartawan pertama sukses membuat penyimpangan penafsiran fakta yang
menjadi fitnah pertama bagi si menteri.
Wartawan kedua yang notabene adalah wartawan online menulis “Terlaluu!
Gaya Hidup Menteri M Kebarat-Baratan”. Sebelum membahas lebih lanjut, izinkan
saya menjelaskan lebih dahulu sedikit hal tentang media online.
Teknologi internet telah
membuat segalanya menjadi super cepat. Dunia berubah tidak lagi yang besar
mengalahkan yang kecil, tapi yang tercepat mengalahkan segalanya. Demikian juga
perspektif yang kebanyakan dipahami di dunia media. Media manapun yang
menyiarkan berita dengan cepat, ia akan menjadi pemenang. Akan tetapi ketika
sekarang kecepatan dapat disaingi dan produksi berita antar media nyaris
serentak, akhirnya untuk menarik rating dan share, media butuh sesuatu untuk
menarik orang-orang untuk memilih suatu media dianding media lainnya. Maka
dibuatlah judul yang sensasional, yang menggelegar, yang tidak biasa, untuk
menarik rasa penasaran orang-orang dan membaca berita mereka (atau minimal
mengeklik link beritanya).
Demikian juga dengan
wartawan kedua. Ia dikerjar deadline sehari harus setor minimal lima berita. Ia
bersaing untuk bisa lebih cepat daripada wartawan media lain. Ia akan jadi
bahan tertawaan wartawan lain dan jajaran redaksinya jika ia tidak mampu
menyetor berita dengan cepat. Medianya pun menuntut bagi para wartawan online
agar membuat judul berita yang menarik. Maka lancarlah jarinya mengetik di
handphone blackberry-nya “Terlaluu! Gaya Hidup Menteri M Kebarat-Baratan.”
Tambahkan dua sampai lima paragraf pendek, lalu kirim ke email redaksi. Beres.
![]() |
smartbisnis123.files.wordpress.com |
Wartawan ketiga lain lagi. Orang yang baik ini adalah seorang pendakwah
ulung, seorang Islam yang baik. Ia dan medianya yang mencatut nama Islam
memiliki visi untuk menjadikan medianya sebagai sumber referensi utama umat
muslim. Berita-beritanya haruslah memihak kepentingan umat muslim. Dengan
semangat, dia menulis judul “Menteri M Benci Daging Kambing Makanan Kesukaan
Rasulullah SAW”.
Jika demikian, saya hanya bisa mendoakan: ya akhi, ya ukhti,
semoga Allah tak mencatat perbuatanmu sebagai dosa fitnah, tapi dosa atas
kurangnya pengetahuan. Semoga Allah membukakan kesempatan bagimu untuk belajar
ilmu jurnalistik lebih jauh...
Tokoh-tokoh berikutnya yang
tercantum dalam kisah adalah contoh tokoh-tokoh yang begitu mulianya sehingga
ingin menyebarkan berita dan opini mereka ke penjuru dunia secepat mungkin.
Lagi-lagi soal kecepatan.
Si A yang sedang main
twitter tertangkap pandangannya pada judul berita media Islam yang jadi langganannya
yang juga dipublikasikan via twitter. Setelah si A yang muslim membaca berita
hasil tulisan wartawan ketiga, ia terbakar hatinya, tergugah nuraninya untuk
mendoakan si menteri dan berusaha mengingatkan si menteri dan masyarakat
sedunia.
Maka menulislah ia, “Astagfirullah..
Ada upaya penyesatan akhlaq, kambing yang disukai Rasulullah SAW dianggap tidak
baik oleh Menteri M. Kita akan digiring ke cara pandang kafir.”
Orang lain retweet,
capture, share.
Si B dan C begitu
kritisnya. Ia yang begitu mencintai negeri ini, prihatin dengan nasib rakyat
kecil, menggebu-gebu mencari teori, landasan hukum, dan cela-cela pada
kebijakan pemerintah. Si B yang aktif di Facebook membuat status “Hati-hati
Menteri M mendukung bisnis liberal kapitalis daripada pertumbuhan ekonomi
kerakyatan.” Sungguh si B berpikiran
jauh ke depan.
Like. Comment. Share.
![]() |
cbs-bogor.net |
Si C lebih suka membuat
opini yang panjang dan berbobot. Menulislah ia tentang opininya menanggapi
berita yang ditulis wartawan pertama dan kedua. Dirangkumlah dalam sebuah
tulisan yang didalamnya ia berkata dengan pintarnya, “Seperti yang
sudah kita duga, industri kecil dan menengah lokal akan segera disingkirkan
karena tidak menguntungkan pemerintah.”
Share. Share. Share.
Kelompok-kelompok
masyarakat yang terlampau kritis dan mencintai negeri ini bersegera membuat
gerakan.
“Kita tidak bisa diam jika
ada penyesatan akhlaq!” seru kelompok X.
“Kita harus bergerak jika
UKM akan tersingkir oleh produk asing!” teriak kelompok Y.
Sungguh bahagia negeri ini
memiliki masyarakat yang begitu reaktif dan aktifnya membela kepentingan
masing-masing.
Si menteri begitu kagetnya
membaca rangkuman berita tentang dirinya dalam dua puluh empat jam terakhir.
Kepalanya hanya bisa geleng-geleng. Apakah ia tanpa sengaja kelepasan bicara
tentang sesuatu? Apakah ada orang dekatnya yang membocorkan isi
pertemuan-pertemuan rahasia mereka? Benarkah percakapannya dengan seorang
wartawan bisa menyetir pergolakan negeri sejauh ini?
Benarkah kata penasihat
pertama, ajak para wartawan makan-makan dan buat mereka menjadi teman agar tak
lagi membuat berita miring tentangnya? Dananya pakai dana kementerian. Ia tak
rugi. Wartawan pun enak. Ataukah penasihat kedua? Ia menyarankan untuk belajar
cara berkomunikasi dengan wartawan dan media. Belajar berdiplomasi dengan
mereka. Memastikan kata-katanya tidak dipelintir. Butuh waktu lama. Ia mesti
banyak membaca buku. Menyewa ahli untuk mengajarinya. Sementara ia belajar,
wartawan bebas bicara apa saja.
Kecepatan dan akses
informasi memang mempermudah banyak hal. Akan tetapi, tidakkah kita ingin
menjadi masyarakat cerdas yang tak terburu-buru dalam melakukan berbagai hal?
Informasi bagaikan senjata sekaligus perisai. Dengannya kita bisa melawan
orang-orang yang kita anggap lawan. Dengannya kita bisa berlindung. Dengannya
kita memiliki landasan dalam melangkah dan memiliki tujuan. Apa jadinya jika
kita hanya menerima informasi yang tak jelas kebenarannya, atau belum jelas?
Ada objek dalam pemberitaan. Ada yang terkorban jika kita seenaknya menyebarkan
informasi yang baru sebagian kecil, baru segelintir, terpotong-potong, apalagi
tidak valid. Ada nasib seseorang yang diikatkan dalam setiap ucap dan broadcast
yang kita sebarkan. Ada kemungkinan fitnah yang tidak kecil.
![]() |
kurniawansatria.blogdetik.com |
Jika Anda wartawan,
tulislah sesuai faktanya, huruf per huruf, jeda per jeda, kata per kata.
Bukankah kewajiban pertama seorang wartawan adalah pada kebenaran? Sabar,
tunggulah sejenak barangkali setan menutupi pikiran Anda dari kebenaran di
depan mata. Ucaplah basmallah, lalu kirimkan ke redaksi dengan doa semoga
berita Anda menjadi manfaat dan terlepas dari fitnah.
Jika Anda masyarakat pada
umumnya, tak perlu berusaha menjadi wartawan dadakan dan menyebarkan berita apa
saja. Jangan jadi orang latah yang refleks mencopy-paste apa saja. Kebebasan
bicara dan berpendapat sudah dijamin memang, ya, tapi bukankah seharusnya itu
tak mengecilkan kebijaksanaan? Kebijaksanaan dalam mencerna informasi,
kebijakan dalam menilai apakah suatu berita layak disebarkan atau tidak.
Bukankah masih ada sisa nurani adan akal sehat dalam diri kita sebagai manusia?
Belajarlah sedikit menjadi lebih pendiam. Lebih bersabar. Lebih kritis mencerna
informasi.
31 Maret 2015
Tulisan keprihatinan atas
berbagai grup chat yang belakangan terlalu informatif.
Langganan:
Postingan (Atom)
Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea
Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...

-
Jadi, mulai dari mana ya. Kalau blog ini rumah, pasti sudah penuh sawang (sarang laba-laba). Dulu waktu membuat blog ini, sepertinya tujua...
-
(first published in https://digitalsenior.sg/working-in-a-local-ngo/ ) Working in an NGO offers many challenges and priceless lifetime...