Rabu, 23 Desember 2015

Diari Resepsi -in her eyes-


Aku pernah menjadi wanita paling egois di dunia. Memintanya datang dengan membawa banyak cinderamata dan menginginkannya jadi milikku tanpa aku harus membayar apa-apa sebagai gantinya.

Aku pernah menjadi angkuh, menyilangkan lengan di dada dan mengangkat dagu ketika dia mengetuk pintu. Aku tak membelanya ketika orang tuaku bertanya apa yang ia bawa. Dan ia menundukkanku ketika dengan menatapku, ia berkata hanya membawa hidupnya dan tidak akan memberikan apa yang tidak ia bawa. Di dalam matanya, aku menemukan jalan kepatuhan dan perlindungan.

Maka aku meminta maaf pada orang tuaku karena tidak bisa membela mereka dalam mempertahankanku. Aku dengan durhaka memilih meraih tangannya daripada bertahan dalam pelukan mereka. Dalam hingar-bingar ini, aku tak berani meminta mereka ikut berbahagia. Yang kuminta adalah pengertian dan mereka tidak pernah tidak memberikan apa yang kuminta. Dan demikianlah rantai kepatuhanku berpindah kuasa, dibeli dengan harga dirinya.

Aku ingin sekarang juga ia membawaku berlari pergi. Segera memutuskan rasa bersalah yang mengungkungi diri, berbenah untuk berlayar ke tempat yang tak seorang pun mengenali. Tetapi tangannya menggenggamku erat, memakunya untuk tetap di sini sampai semua orang merestui. Ia menyelamatkan aku dari pilihan yang akan membuatku menyesal nanti. Dan detik aku mengerti, aku bersumpah menjadi miliknya sampai mati.


Aku ingin menjadi baik, dalam segala hal yang ia anggap baik. Berpakaian dengan baik, bersolek dengan baik, berbicara dengan baik, mendengarkan dengan baik, bersabar dengan baik, bersyukur dengan baik, bersetia kepadanya dengan baik. Aku ingin waktuku tanpanya di sisiku adalah penantian dan waktuku bertemu dengannya adalah sebuah awal yang baru. Maka kuharap aku selalu menunggu datangnya kisah-kisah yang membuat pipiku bersemu setiap kali ia mengucapkan "sampai nanti" di pagi hari dan kembali dengan "aku pulang" sebelum petang menjelang. Karena petangku sudah kujanjikan menjadi miliknya dan petangnya sudah disumpah untuk diberikan kepadaku.

Ia tak hanya akan jadi labuhan tangis, tapi juga hulu semua bahagiaku. Aku takkan menangis tanpa izinnya dan berbahagia tanpa restunya. Untuk selamanya dalam hidupnya, kuharap aku menjadi satu-satunya definisi pulang dan tempat pertama yang ia tuju ketika segala di harinya selesai. Setiap membuka pintu, ia akan selalu menemukanku tersenyum menyambutnya dengan rambut yang wangi dan nasi hangat terhidang. Meski seringkali lauk akan sederhana, tapi pertemuan yang dijeda penantian tak akan pernah berakhir sederhana. 

Menjadi kuat dan lebih tangguh. Menjadi mandiri dan lebih tegap berdiri. Kelak jika ia datang padaku dengan segala bebannya di hari itu, jika punggungnya yang kokoh tertekuk lesu, aku tidak akan roboh. Kaki, punggung, dan tanganku akan tetap mampu menopangnya sama seperti ia selalu menopangku. Aku akan kuat membawanya sampai tempat peristirahatan kami dan menenteramkannya sampai segalanya menjadi baik lagi.

Aku bersumpah untuk memenuhi tugasku sebagai bagian penting yang menyempurnakan hidupnya. Lebih sempurna dari ia menyempurnakan hidupku.


24 Desember 2015

Diari Resepsi -in his eyes-


Hari ini ia adalah wanita yang paling bersedih hatinya. Tidak apa, karena setelah ini aku akan selalu membuatnya bahagia.

Hari ini ia menekan segala perasaannya dan menyimpulkannya sebagai senyum yang dikembangkan ke siapa saja. Kugenggam saja erat tangannya, membantunya mempertahankan bendungan air mata yang ingin segera tumpah. Tidak apa, karena setelah ini aku akan menjadi tempat baginya untuk menangis sepuasnya.

Hari ini ia membunuh egonya dengan sempurna, menyingkirkan manja yang selamanya dihalangi harga diri dan ketangguhan prinsip hidup yang dijalaninya. Nanti, setelah ini, aku akan merengkuhnya dalam lenganku dan mengizinkannya bermanja-manja sampai ia merasa utuh.

Aku ingin segera memenuhinya dengan rasa-rasa yang kusimpan sejak lama. Aku ingin segera menjadi tempatnya merasa penuh. Merasa aman dan terlindungi sehingga ia tak perlu lagi lari atau sembunyi. Aku ingin menyampaikannya segera, bahwa ia tak perlu lagi meinta izin untuk tertawa, menangis, meminta, dan berbahagia. Ia tak perlu lagi merasa bersalah setiap kali hatinya berbunga-bunga.

Aku ingin mencintainya dengan seluruh energiku, menjadi tempatnya mengadu dan berkeluh, menjadi tempatnya mengikhlaskan diri patuh. Dengan seluruh hidupku, aku ingin setiap saatku tanpanya adalah rindu.

Bahagiaku adalah kemampuan untuk menghargainya, menghormati hak-haknya, perasaannya, dan menyayanginya. 

Tuhan pernah mengambilnya, menyamarkannya sebagai tulang rusuk yang tidak ada faedahnya jika terpasang sempurna, dan memisahkan kami dengan paksa. Kini ketika sudah Tuhan kembalikan, aku akan memastikan selainNya tidak akan ada yang bisa memisahkan.


24 Desember 2015

Rabu, 22 April 2015

Dramaturgi Dovima (Reflection)

Aku baru selesai membaca novel berjudul Dramaturgi Dovima. Jika boleh kuringkas, isinya tentang seorang wanita yang bekerja menjadi seorang jurnalis. Kesan yang ditampilkan dalam novel itu cenderung gelap. Tokoh wanitanya digambarkan sekeras batu dan penyendiri. Bukan karena malu, melainkan karena merasa bahwa dunia ini dan segala isinya bukan tempatnya seharusnya berada. Satu-satunya yang membuatnya merasa hidup dan tempat untuk melarikan diri dari segala kenyataan yang menyebalkan adalah pekerjaannya: jurnalis sebuah majalah berita yang sibuk.

Ada sesuatu yang menarikku ke dalam cerita itu begitu dalam. Aku tak melepaskan buku itu hingga sampai titik terakhir. Kisahnya, alurnya, bagaimana cerita berakhir, entahlah. Rasanya seperti dejavu.

Aku pernah mengimpikan memiliki kehidupan yang sama dengan kisah novel itu.
Aku pernah menginginkan kehidupan seperti itu: drama, ketegaran, tangisan, kekuatan untuk bertahan hidup, dan kepercayaan diri bahwa aku tak membutuhkan orang lain. Tak ada yang pantas untuk membersamaiku melewatkan waktu.

Seorang jurnalis yang gila kerja, menolak hampir semua pria, menganggap cinta hanya dramatisasi dari hasrat seksual. Ia kokoh bagai gunung dan tinggi tak tersentuh. Orang-orang yang mengaguminya tak berani mengulurkan tangan lebih jauh. Di atas sana, ia memandang orang-orang dengan sinis, menolak keberadaan yang lain dan hanya fokus untuk bekerja.

Aku pernah menginginkan itu.

Penulis novel itu tak menempatkannya sebagai karakter yang antagonis, atau protagonis. Ia menempatkan tokoh sentralnya sebagai manusia. Ia menjadikan pekerjaan sebagai tempat pelarian  dari kepahitan hidup. Dalam kegilaannya pada kerja, cinta menjadi hal yang mengganggu. Ia memutuskan untuk melepaskan diri. Menjadi jurnalis adalah melihat semua hal dengan dingin. Menjadi objektif dan hanya melihat fakta akan menyelamatkannya dari kerepotan bercampurnya perasaan saat liputan. Menjauhkannya dari kekecewaan. Tapi juga akan menghancurkan bagian dalam diri perlahan-lahan. Bagiku, kehancuran yang manis, yang penuh kebanggaan.

Konflik yang terjadi barangkali terlalu didramatisasi, tapi berhasil menangkapku dan mengurungku di dalam cerita, mungkin sampai berbulan-bulan kedepan. Aku tak mudah lupa.


Aku masih ingin menjadi batu seperti Dovima.



11 September 2014

Pesta Keluarga

Apa kau menyebutku jahat dengan memintamu mengenakan topeng terbaikmu dalam pestaku? Aku mengundangmu dalam pesta yang kuadakan. Sekalipun sejak awal telah kau tolak, tetap kuantarkan undangan pengharapan ke depan pintu rumahmu. Berharap kita jumpa lagi.
Kukatakan padamu, berkorbanlah demi pestaku. 

Aku paham kau tak suka lampu-lampu gemerlap dan bising dalam ruang pesta bundar dengan alunan musik salsa. Aku paham barangkali tak hanya kau yang merasa gerah dengan semua gaun dan sepatu yang membuat orang-orang seolah terlihat lebih baik. Bisa jadi semua tamuku tak menyukai pestaku, tapi bukan peduliku. Aku adakan pesta, mereka kuminta datang, dan semua tamuku wajib bersenang-senang. Berpesta dengan gayaku. Tak terkecuali kau. Kuingin kau berbahagia dalam pestaku. Jika nyatanya kau tak senang, berpura-puralah sampai tengah malam datang dan kau bisa pulang.

Aku pernah berpura-pura menikmati pesta orang lain. Rasanya sangat buruk ketika tamu-tamu lain mengharapkanmu menampilkan sesuatu yang lucu untuk menghibur mereka. Kau tahu, aku bukan orang yang lucu. Tapi pesta itu adalah pesta sahabat baikku yang selalu hadir kapanpun kupanggil namanya. Aku hanya merasa tak ingin jadi orang yang menghancurkan pesta.

Saat aku hadir dalam pesta itu dan mengenakan gaun terbaikku, aku berulang kali jatuh karena tak terbiasa memakai sepatu hak tinggi. Seorang sahabat lain bertanya, “Apa kau yakin bisa terus mengenakan gaun pesta setahun ke depan jika kau terpilih jadi bintang pesta malam ini?” Sejenak aku hendak berkata “ya”, sebelum melihat ke dalam matanya. Dan aku tak bisa berbohong. Matanya menemukan titik ragu-ragu jauh di dalam hatiku. Maka saat itu juga kupeluk ia dan menangis di pundaknya. Ia mengelusku dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Lalu ia menuntunku menuju ruang pesta.

Aku berdansa sendirian bersama kandidat bintang pesta yang lain. Sahabatku penyelenggara pesta puas dengan penampilanku yang hebat walau agak terseok-seok. Sahabatku yang lain melihat dari jauh. Tenang sekali rasanya melihatnya ada di sana. Akhirnya ia menyelamatkanku dari pemilihan bintang pesta. Ia membuatku terhindar dari gaun yang sempit dan sepatu yang membuat kaki sakit. Berkatnya, kini aku bebas berjalan-jalan pakai sandal atau sepatu roda jika aku mau.

Kau yang berdiri mematung di halaman rumahku saat ini terlihat seperti sosokku setahun lalu. Ragu melangkahkan kaki ke dalam karena tak yakin apa yang diinginkan. Kau barangkali bisa memilih untuk tidak datang, tapi tak bisa mengabaikan undangan yang kuantarkan padamu. Sementara kau berpikir di luar, dari balik jendela aku bertanya-tanya, akankah kau hadir dan merusak pestaku dengan berkata kau tidak menyukainya di hadapan semua orang? Ataukah kau akan melangkah ke dalam, menyembunyikan raut kesalmu dengan topeng indah dan gaun megah, berpura-pura menikmati hidangan dan musik sajianku?

Sebenarnya aku ingin menyelamatkanmu dari pestaku. Rasanya ingin kubawa kau ke atap ruang pesta dan kau bisa melepaskan topeng, meregangkan kaki, membuang kostum pesta konyol itu. Kita akan menertawakan bersama pesta di bawah dan mengasihani orang-orang bertopeng yang menari canggung di lantai dansa.

Sayangnya kau tak berkata apa-apa. Aku tak bisa membaca keinginan hatimu. Apakah kau akhirnya bisa menikmati pestanya? Apakah kau hanya sekedar datang sampai lonceng berbunyi dan pergi menghilang setelahnya? Apakah kau akan membuat dirimu tampak konyol agar orang tahu betapa kau tak menginginkan pesta ini, apalagi menjadi bintang di dalamnya? Kuharap bukan yang ketiga. Membuat dirimu tampak konyol hanya akan mengundang tertawaan, cemoohan yang menyakiti hatimu sendiri. Dan aku tak bisa membiarkanmu diperlakukan demikian di pestaku. Lebih baik aku tak melihatnya.

Hei, tak bisakah kau serahkan semua padaku dengan mengatakan apa yang kau inginkan? Jangan-jangan kau tak percaya padaku? Kau pikir aku wanita yang begitu dingin?

Aku tak bisa membaca hatimu. Selama ini kita hanya berpura-pura saling mengerti. Tapi sebenarnya seperti dugaanmu. Di pestaku aku tak memikirkan perasaan setiap tamu yang datang. Aku mengundang mereka untuk bahagia, maka mereka yang datang wajib berbahagia, tak terkecuali kau. Kelancaran pestaku adalah segala-galanya. Akan kubenci kau jika sampai menghancurkannya atau membuat tamu lain menyakitimu. Atau kalian semua menyakitiku: tak akan kumaafkan. Kau tahu bagaimana caraku tak memaafkan.


Putuskanlah segera. Yang bisa kutawarkan padamu adalah untuk memakai topeng terbaikmu dan berpura-pura menikmati pesta. Perihal keinginanmu untuk tak menjadi bintang pesta, serahkan saja padaku. 

Aku akan selalu bisa diandalkan, kau tahu? Seperti biasanya.




18 September 2014

Selasa, 31 Maret 2015

Kisah Sederhana tentang Media dan Kita

mpn.kominfo.go.id
Wartawan (W) 
Menteri (M)
W1      : Pak, bapak lebih suka ayam goreng apa gulai kambing?
M         : Ayam goreng
W1      : Pakai tepung atau tidak pak?
M         : Pakai tepung
W1      : Model ayam goreng KFC ya pak
M         : Ya kurang lebih mirip begitulah..
Headline : Menteri M lebih suka ayam goreng KFC model Amerika dan tidak suka gulai kambing tradisional Indonesia..


W2 menulis di berita online :
Terlaluu! Gaya Hidup Menteri M Kebarat-baratan
Si B bikin status FB :
Hati-hati Menteri M mendukung bisnis liberal kapitalis daripada pertumbuhan ekonomi kerakyatan
W3 menulis berita online abal-abal yang mencatut nama Islam.
Menteri M Benci Daging Kambing Makanan Kesukaan Rasulullah SAW
Si A tweeting :
Astagfirullah.. Ada upaya penyesatan akhlaq, Kambing yang disukai Rasulullah SAW dianggap tidak baik oleh Menteri M. Kita akan digiring ke cara pandang kafir
Si C menulis dalam blog
Seperti yang sudah kita duga, industri kecil dan menengah lokal akan segera disingkirkan karena tidak menguntungkan pemerintah
Kelompok X Merencanakan Demo Penyesatan Akhlaq
Kelompok Y Merencanakan Demo Membela UKM
Menteri M menerima summary berita hari ini dari sekretarisnya
"Pak ini rangkuman berita-berita tentang anda seminggu ini"
M : ##!??/
Penasehat      : Bagaimana kalau untuk meluruskan ini besok kita undang seluruh wartawan makan bersama dengan hidangan kambing Pak..
M                     : Budget-nya?
Penasehat      : Tentu dengan budget kementrian, kan untuk menjaga nama baik bapak..

Tetooot ... ..
Penasehat 2   : Sepertinya kita harus belajar teknik komunikasi yang paling meminimalisir peluang disesatkan wartawan Pak. Hemat tenaga, biaya dan aman
M                     : Sepertinya cuma anda yang mikirnya bener di jaman ini.


Kisah di atas bukan karangan saya. Sebuah broadcast message sampai ke sebuah grup tempat saya menjadi member didalamnya. Entah siapa yang membuat, tapi cukup menarik minat saya untuk berpikir dan menelaah lebih jauh. Pertanyaannya adalah, siapa yang menjadi tokoh antagonis?

Barangkali cuplikan kisah di atas hanya bentuk hiperbola dari sebuah gambaran keadaan yang saat ini kita rasakan sendiri. Anda tertawa setelah selesai membaca ceritanya? Ataukah geleng-geleng kepala? Atau beristighfar dalam-dalam karena bisa jadi menyadari diri Anda terepresentasikan dalam salah satu tokohnya?

Wartawan pertama dalam cerita membuat judul “Menteri M Lebih Suka Ayam Goreng KFC Model Amerika dan Tidak Suka Gulai Kambing Tradisional Indonesia”. Ia sedikit memelintir jawaban si menteri yang memilih ayam goreng daripada gulai kambing. Tapi pelintiran itu telah membengkokkan kebenaran jauh dari asalnya. Apakah “lebih memilih” bisa disamakan dengan “lebih suka”? “Lebih memilih” ayam goreng bisa saja disebabkan oleh berbagai alasan yang tak harus karena “suka”. Bisa jadi si menteri alergi daging kambing atau santan, atau punya darah tinggi, atau sekadar karena alasan harga (entah lebih murah atau lebih mahal). Berbeda dengan “lebih suka” yang memang alasannya karena “suka” atau karena pilihan lain “lebih tidak disukai”. Apakah Anda bisa memahami penjelasan saya?

Taruhlah “lebih suka” dalam judul wartawan pertama adalah benar digunakan. Lantas dalam kalimat Menteri M Lebih Suka Ayam Goreng KFC Model Amerika dan Tidak Suka Gulai Kambing Tradisional Indonesia” apakah bisa “lebih suka” dibandingkansetara dengan frasa “tidak suka”? Menurut saya, keduanya tidak bisa dibandingkan karena merupakan tingkatan. Tingkatan yang saya maksud adalah tidak suka, kurang suka, suka, lebih suka, sangat suka. Jadi penggunaan frasa “tidak suka” dalam judul kalimat tersebut tidaklah tepat.
Wartawan pertama sukses membuat penyimpangan penafsiran fakta yang menjadi fitnah pertama bagi si menteri.

Wartawan kedua yang notabene adalah wartawan online menulis “Terlaluu! Gaya Hidup Menteri M Kebarat-Baratan”. Sebelum membahas lebih lanjut, izinkan saya menjelaskan lebih dahulu sedikit hal tentang media online.

Teknologi internet telah membuat segalanya menjadi super cepat. Dunia berubah tidak lagi yang besar mengalahkan yang kecil, tapi yang tercepat mengalahkan segalanya. Demikian juga perspektif yang kebanyakan dipahami di dunia media. Media manapun yang menyiarkan berita dengan cepat, ia akan menjadi pemenang. Akan tetapi ketika sekarang kecepatan dapat disaingi dan produksi berita antar media nyaris serentak, akhirnya untuk menarik rating dan share, media butuh sesuatu untuk menarik orang-orang untuk memilih suatu media dianding media lainnya. Maka dibuatlah judul yang sensasional, yang menggelegar, yang tidak biasa, untuk menarik rasa penasaran orang-orang dan membaca berita mereka (atau minimal mengeklik link beritanya).

Demikian juga dengan wartawan kedua. Ia dikerjar deadline sehari harus setor minimal lima berita. Ia bersaing untuk bisa lebih cepat daripada wartawan media lain. Ia akan jadi bahan tertawaan wartawan lain dan jajaran redaksinya jika ia tidak mampu menyetor berita dengan cepat. Medianya pun menuntut bagi para wartawan online agar membuat judul berita yang menarik. Maka lancarlah jarinya mengetik di handphone blackberry-nya “Terlaluu! Gaya Hidup Menteri M Kebarat-Baratan.” Tambahkan dua sampai lima paragraf pendek, lalu kirim ke email redaksi. Beres.

smartbisnis123.files.wordpress.com


Wartawan ketiga lain lagi. Orang yang baik ini adalah seorang pendakwah ulung, seorang Islam yang baik. Ia dan medianya yang mencatut nama Islam memiliki visi untuk menjadikan medianya sebagai sumber referensi utama umat muslim. Berita-beritanya haruslah memihak kepentingan umat muslim. Dengan semangat, dia menulis judul “Menteri M Benci Daging Kambing Makanan Kesukaan Rasulullah SAW”. 
Jika demikian, saya hanya bisa mendoakan: ya akhi, ya ukhti, semoga Allah tak mencatat perbuatanmu sebagai dosa fitnah, tapi dosa atas kurangnya pengetahuan. Semoga Allah membukakan kesempatan bagimu untuk belajar ilmu jurnalistik lebih jauh...

Tokoh-tokoh berikutnya yang tercantum dalam kisah adalah contoh tokoh-tokoh yang begitu mulianya sehingga ingin menyebarkan berita dan opini mereka ke penjuru dunia secepat mungkin. Lagi-lagi soal kecepatan.

Si A yang sedang main twitter tertangkap pandangannya pada judul berita media Islam yang jadi langganannya yang juga dipublikasikan via twitter. Setelah si A yang muslim membaca berita hasil tulisan wartawan ketiga, ia terbakar hatinya, tergugah nuraninya untuk mendoakan si menteri dan berusaha mengingatkan si menteri dan masyarakat sedunia.

Maka menulislah ia, “Astagfirullah.. Ada upaya penyesatan akhlaq, kambing yang disukai Rasulullah SAW dianggap tidak baik oleh Menteri M. Kita akan digiring ke cara pandang kafir.”
Orang lain retweet, capture, share.

Si B dan C begitu kritisnya. Ia yang begitu mencintai negeri ini, prihatin dengan nasib rakyat kecil, menggebu-gebu mencari teori, landasan hukum, dan cela-cela pada kebijakan pemerintah. Si B yang aktif di Facebook membuat status “Hati-hati Menteri M mendukung bisnis liberal kapitalis daripada pertumbuhan ekonomi kerakyatan.” Sungguh si B berpikiran jauh ke depan.

Like. Comment. Share.

cbs-bogor.net

Si C lebih suka membuat opini yang panjang dan berbobot. Menulislah ia tentang opininya menanggapi berita yang ditulis wartawan pertama dan kedua. Dirangkumlah dalam sebuah tulisan yang didalamnya ia berkata dengan pintarnya, “Seperti yang sudah kita duga, industri kecil dan menengah lokal akan segera disingkirkan karena tidak menguntungkan pemerintah.”

Share. Share. Share.

Kelompok-kelompok masyarakat yang terlampau kritis dan mencintai negeri ini bersegera membuat gerakan.

“Kita tidak bisa diam jika ada penyesatan akhlaq!” seru kelompok X.
“Kita harus bergerak jika UKM akan tersingkir oleh produk asing!” teriak kelompok Y.

Sungguh bahagia negeri ini memiliki masyarakat yang begitu reaktif dan aktifnya membela kepentingan masing-masing.

Si menteri begitu kagetnya membaca rangkuman berita tentang dirinya dalam dua puluh empat jam terakhir. Kepalanya hanya bisa geleng-geleng. Apakah ia tanpa sengaja kelepasan bicara tentang sesuatu? Apakah ada orang dekatnya yang membocorkan isi pertemuan-pertemuan rahasia mereka? Benarkah percakapannya dengan seorang wartawan bisa menyetir pergolakan negeri sejauh ini?

Benarkah kata penasihat pertama, ajak para wartawan makan-makan dan buat mereka menjadi teman agar tak lagi membuat berita miring tentangnya? Dananya pakai dana kementerian. Ia tak rugi. Wartawan pun enak. Ataukah penasihat kedua? Ia menyarankan untuk belajar cara berkomunikasi dengan wartawan dan media. Belajar berdiplomasi dengan mereka. Memastikan kata-katanya tidak dipelintir. Butuh waktu lama. Ia mesti banyak membaca buku. Menyewa ahli untuk mengajarinya. Sementara ia belajar, wartawan bebas bicara apa saja.
Kecepatan dan akses informasi memang mempermudah banyak hal. Akan tetapi, tidakkah kita ingin menjadi masyarakat cerdas yang tak terburu-buru dalam melakukan berbagai hal? Informasi bagaikan senjata sekaligus perisai. Dengannya kita bisa melawan orang-orang yang kita anggap lawan. Dengannya kita bisa berlindung. Dengannya kita memiliki landasan dalam melangkah dan memiliki tujuan. Apa jadinya jika kita hanya menerima informasi yang tak jelas kebenarannya, atau belum jelas? Ada objek dalam pemberitaan. Ada yang terkorban jika kita seenaknya menyebarkan informasi yang baru sebagian kecil, baru segelintir, terpotong-potong, apalagi tidak valid. Ada nasib seseorang yang diikatkan dalam setiap ucap dan broadcast yang kita sebarkan. Ada kemungkinan fitnah yang tidak kecil.

kurniawansatria.blogdetik.com

Jika Anda wartawan, tulislah sesuai faktanya, huruf per huruf, jeda per jeda, kata per kata. Bukankah kewajiban pertama seorang wartawan adalah pada kebenaran? Sabar, tunggulah sejenak barangkali setan menutupi pikiran Anda dari kebenaran di depan mata. Ucaplah basmallah, lalu kirimkan ke redaksi dengan doa semoga berita Anda menjadi manfaat dan terlepas dari fitnah.




Jika Anda masyarakat pada umumnya, tak perlu berusaha menjadi wartawan dadakan dan menyebarkan berita apa saja. Jangan jadi orang latah yang refleks mencopy-paste apa saja. Kebebasan bicara dan berpendapat sudah dijamin memang, ya, tapi bukankah seharusnya itu tak mengecilkan kebijaksanaan? Kebijaksanaan dalam mencerna informasi, kebijakan dalam menilai apakah suatu berita layak disebarkan atau tidak. Bukankah masih ada sisa nurani adan akal sehat dalam diri kita sebagai manusia? Belajarlah sedikit menjadi lebih pendiam. Lebih bersabar. Lebih kritis mencerna informasi.



31 Maret 2015

Tulisan keprihatinan atas berbagai grup chat yang belakangan terlalu informatif.

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...