Jumat, 15 Januari 2016

Jalan Raya yang Kita Buat



Di sebuah kertas kosong, kudeskripsikan untukmu, gambaran sebuah jalan raya di antara rumah kita biar bisa kau buat jadi nyata. Meski awalnya hanya sedikit yang memakai, ternyata makin lama makin banyak orang berlalu-lalang melewati rumah kita. Jalanan itu jadi tempat orang-orang mencari kekasih. Atau jadi sarana para penyendiri yang menghabiskan waktu menikmati pemandangan dan merenungi pembenaran-pembenaran bagi kesendirian mereka. Karena di kanvas itu kugambarkan juga gerumbul-gerumbul pohon dan satu-dua sungai dengan jembatan di atasnya. Di bus yang berlalu di jalan raya itu, kita bertemu.

Kita sendiri jadi lebih sering berkirim surat. Dari surat-surat tentang gambar yang kubuat dan bagaimana jalan raya akhirnya semakin ramai, kita juga bicara tentang orang-orang yang melaluinya. Aku tidak tahu jenis kertas apa yang selalu kau gunakan untuk menulis surat, atau jenis pena apa. Atau mungkin masalahnya sama sekali bukan itu. Apakah karena tulisanmu begitu bagus atau ada kata-kata yang baik di dalamnya, aku menemukan diriku mulai menunggu surat-suratmu.

Tukang pos yang datang menjelang sore jadi orang yang paling kutunggu di dunia. Rutinitas berlanjut terus dengan aku yang makan malam dengan bergegas, masuk kamar dan mengunci pintunya, lalu membaca suratmu untuk puluhan kalinya dalam beberapa jam terakhir. Kemudian kuhabiskan berjam-jam berikutnya untuk menyusun surat balasan. 

Apakah guyonan ini akan cukup lucu bagimu? Apakah aku membahas hal yang membosankan? Apakah aku harus menulis tentang pertandingan badminton di kampung sebelah juga karena kau sepertinya menyukainya? Apakah aku harus juga bercerita tentang game baru yang belakangan digemari anak-anak lelaki sepertimu? Perlukah aku memainkannya juga?  Apakah tulisanku sudah cukup bagus untuk bisa kau baca? Apakah surat ini akan cukup menarik untuk kau balas?

Maka cemas adalah segala yang terkumpul ketika hendak kumasukkan surat ke dalam kotak pos pada esok harinya, dengan alamatmu tertera jelas. Kutumpuk bersama beberapa surat dari ibu dan tetangga belakang rumah yang menitip. Dan hari itu tanpa kutahu sebabnya tukang pos menjemput surat lebih cepat tepat saat aku membuka kotak.

“Istri saya mau melahirkan jadi saya ambil pagi, Mbak,” katanya seraya tersenyum sumringah. Ia mengecek surat-suratku satu per satu untuk memastikan alamat. Tiba di surat beramplop pink yang bertuliskan namamu, tukang pos kembali bicara. “Mbak dari dulu saya penasaran. Ini kan alamatnya tinggal nyebrang. Nggak diantar atau ketemu langsung aja?”

Pertanyaan itu menuntut penjelasan yang panjang. Barangkali jawabannya bisa dimulai dari cerita pertemuan pertama kita di bus sekolah. Lalu kecanggungan dan perasaan aneh ketika kita tahu hanya sejengkal jeda dan ruang kosong di antara waktu senggang yang memisahkan kita. Akhirnya kita sebut pertemuan di bus itu adalah takdir dan kita rajut kelanjutannya dengan papasan-papasan di sepanjang tepi-tepi jalan. Juga surat-surat singkat yang memancing kita mendekat. Hingga kita menemukan definisi tentang apa yang sedang kita lakukan, aku masih berada dalam angan suatu saat nanti bisa berjalan bersisian. Hanya saja aku tidak punya keberanian untuk menawarkan definisi lain dari sebuah harapan.

Aku membuka tiap harinya dengan rencana akan menyeberang jalan dan menutupnya kembali dengan kata-kata hiburan, “Besok saja... Besok saja menyeberangnya...”

Anda benar, Pak Pos. Tidak ada hal nyata yang menghalangiku untuk mengantarkan surat itu kepada seseorang di rumah seberang, atau bahkan untuk berkomunikasi tanpa surat sama sekali. Hanya perlu memberanikan diri menyeberang di jalan raya itu dan memencet bel di gerbang cokelat yang tiap hari kulihat. Tapi jalanan yang akan kuseberangi menawarkan banyak risiko dengan kendaraan berlalu lalang cepat. Memang sengaja ada yang tidak ada di jalan yang kami buat ini. Kami tidak membuat zebra cross yang jadi tanda kami boleh saling mengunjungi. Jika Anda kemudian nanti bertanya kenapa dulu tidak sekalian dibuat, maka jawabannya tetaplah sama. 

“Batasan diciptakan agar kami tetap menjadi teman,” kataku menyimpulkan, tidak peduli apakah tukang pos mengerti. Dan rutinitasku berlanjut terus dengan satu-satunya perubahan adalah semakin banyak surat kukirim semakin aku membenci diri sendiri.

Minggu, 03 Januari 2016

Surat Cinta untuk Niah

Assalamu'alaykum wr. wb.
Semoga Allah senantiasa mengiringi langkahmu dengan lindunganNya.

Kutulis surat kecil ini untuk sahabatku yang Insha Allah di dunia dan akhirat. Kita dipertemukan, aku yakin bukan dalam ketidaksengajaan. Yang kuyakini, segala yang terjadi telah dituliskanNya dengan sempurna hingga tiap detilnya. Kuyakini juga bahwa selalu ada pembelajaran bagi mereka yang berpikir dan mencari hikmah dalam setiap takdir yang disiapkan Allah. Termasuk kesempatan untuk mengenalmu, baik sebagai pribadi maupun partner yang membuatku mendapatkan pelajaran, disadari atau tidak.

Pada momen-momen awal pertemuan yang berlangsung apa adanya dan tanpa ada dari kita yang bersikap dibuat-buat, kupikir semua biasa saja. Perkenalan normal, mengangguk dan sedikit menyapa saat bertemu di koridor-koridor kampus. Apakah kau pernah terpikir bahwa suatu ketika kita akan saling mendoakan hingga seperti ini? Apakah sudah ada rencana dalam hatimu bahwa akan kau sebut namaku dalam dzikir-dzikir panjangmu? Barangkali kita sama. Kita masih banyak dipisahkan oleh canggung yang menciptakan jarak, bahkan dalam doa.

Maka frekuensi pertemuan menjadi solusi kecanggungan dan ketidakdekatan. Kita disatukan dalam satu divisi, mengemban amanah yang sama. Kita berdiri sama tinggi, duduk sama datar di syuro-syuro yang Insha Allah penuh berkah. Satu, dua, rasa keberatan dan tidak suka pada tiap perdebatan antar dua sisi hijab adalah dinamika seru yang selalu terjadi. Normal kan? Senormal itu ukhuwah kita dibangun dalam batas-batas pagar yang dibuatNya. Maka mari biarkan ini mengalir juga apa adanya. Karena segala prosesnya begitu indah. Kita tidak akan merusaknya dengan kesegeraan dan sikap buru-buru.

Kemudian kau mulai berani bercerita tentang hatimu. Kau ingin perasaanmu didengar, ditanggapi. Ya, sepertinya aku gagal memposisikan diriku sebagai telinga yang mendengar dan dada yang lapang memahami. Kupikir saat itu, masalah dunia ini terlalu besar untuk ditinggalkan dan mendengarkanmu memuji orang lain. Barangkali saat itu aku menganggap diriku Power Ranger atau pahlawan penyelamat dunia yang punya kewajiban menyelesaikan masalah umat manusia. Atau terlalu sombong untuk mau menundukkan diri, melihatmu yang jelas membutuhkanku tepat di hadapan. Maka jika tak kudapatkan maaf darimu, biar Allah yang menghukumku dengan caraNya.

Tapi bukan itu yang ingin kusampaikan. Aku tak akan banyak meminta maaf. Sejujurnya aku tak suka minta maaf. Pembelaanku, sikapku di paragraf sebelumnya adalah agar kau mengerti. Hatimu terlalu berharga untuk diketahui isinya oleh dunia, oleh orang-orang yang tak berhak mendengarnya. Bahwa izzah dan iffahmu sebagai seorang muslimah adalah harga tak ternilai yang hanya berhak dimiliki olehNya dan orang-orang yang disiapkanNya untukmu. Ibarat pakaian, aku tak ingin kau menjadi bagian yang dipajang di etalase kaca dan bisa dilihat, disentuh orang-orang. Kau adalah ciptaanNya yang eksklusif, limited, berharga. Disimpan dalam kotak perhiasan yang indah. Hanya orang-orang yang benar-benar berniat mengenalmu, memilikimu, dan mempunyai modal iman yang cukup yang bisa membuka kotak dan melihat keindahanmu. Karena disanalah letak kehormatan dan harga dirimu. Percayalah, Ni, jadikan orang yang mengenalmu adalah orang-orang pilihan yang telah kau pilih sendiri dengan takaran yang telah ditetapkanNya.

Sahabatku yang Insha Allah diridhai Allah, tak ada maksudku di sini untuk menghalangimu bercerita atau sekadar mencurahkan perasaan yang meluap, sesak di dadamu. Berceritalah, mengeluhlah, bergembiralah. Aku akan selalu menjadi sahabat yang mendengar. Ingatkan saja ketika nantinya tak kupenuhi janji ini. Ingatkan dengan cara yang kau suka.

Tentang cinta, kedalaman perasaanmu, aku mana tahu. Aku hanya bisa menebak dan mengira, membuat persepsi. Betapa senang aku ketika melihatmu berbinar, bercerita tentang bunga-bunga yang bertumbuh dalam hatimu. Tapi seperti yang pernah kukatakan padamu dalam pesan di suatu malam. Perasaan yang indah, sejuk, dan berharga, akan menjadi sempurna jika tepat pada waktunya. Jangan jerumuskan dirimu ke dalam jilatan neraka yang panasnya tak akan tertahankan. Hati kita adalah milikNya. Hanya milikNya.

Mari kita jadikan kisah Ali dan Fatimah sebagai sumber belajar yang baik. Cinta mereka, bahkan setan pun tak tahu hingga Allah yang membuka rahasia melalui RasulNya. Sungguh mulia, terhormat, dan indah kisahnya. Mencintai dalam diam adalah sejatinya cinta, karena di dalamnya kita menyerahkan semuanya kepada Pemilik Hati. Banyak tantangannya, banyak hambatannya, tapi ujungnya sempurna, bukan? Kisah cinta paling indah sejagad raya, menurutku. Aku menangis jika membayangkan diriku yang sangat ingin seperti mereka. Kuingin kau juga demikian, Ni. Menyimpan rasa-rasa yang saat ini belum perlu, belum pantas. Menjadikan hanya Dia satu-satunya yang tahu, pusat orientasi, satu-satunya pusat gravitasi segala doa dan pikiran. Sungguh tidak pantas jika kita menduakanNya dengan hamba yang sama-sama tidak berdayanya dengan kita.

Ni, aku mencintaimu karena Allah. Memang tak akan kukatakan secara langsung padamu. Mungkin tak akan pernah. Tapi setiap orang punya cara masing-masing dalam mengungkapkan perasaannya. Kutegur kau dengan cinta, Insha Allah. Bukan aku tak suka, tapi karena sungguh aku ingin kau menempati tempat yang mulia di sisiNya. Perasaanmu begitu indah. Tak semua bisa mengungkapkan perasaan semudah kau menyatakannya. Itu bukannya memalukan, justru dengan demikian kau mempermudah orang lain untuk memahamimu. Tapi, sekali lagi, tak semua orang berhak untuk tahu sebesar apa mulianya hatimu.

Seperti perkenalan kita yang wajar, normal, dan mengalir apa adanya. Semoga dalam tiap langkah perjalanan kita ini selalu ada kesadaran-kesadaran lain yang tumbuh dalam pemahaman kita akan apa-apa yang Ia cintai dan tidak Ia cintai. Semoga kita bisa melewati semua tahapan proses yang ditetapkanNya dengan istiqamah dan lulus ujian kehidupanNya dengan khusnul khotimah.


Teriring doa terbaikku untukmu,Ni...
Semoga kau selalu sehat dan memberi dinamika tersendiri dalam proses belajarku.
Wassalamu'alaykum wr. wb...


Satu Musim

Bukan masalah besar seandainya gerimis mengetuk pintu sore itu
Suaramu menyisip-nyisip di antara celah setrip air yang tumpah perlahan

"Teruslah bertiup, memberi dingin semilir tanpa membasahi siapapun.."

begitu kudengar kau berkata pada angin
Begitu saja, luruh, lepas, bebas

Resah seperti vitamin dalam hujan terakhir dulu
Akankah tanah tetap basah?

Hujan tahun lalu itu hanyalah awal kisah yang kini tamat ditebas gersang

Ailsaku

Padanya mataku selalu tertuju. Di antara lautan manusia yang berlalu-lalang keluar-masuk pandangan, tatapku selalu bisa menangkapnya. Ya, aku selalu bisa menangkap geraknya dalam frame-frame­ ingatan otakku yang kecil. Jika tak terlihat, mataku gelisah, leherku sibuk menengak-nengok ke semua arah. Aku berharap bisa melihatmu muncul dari balik dinding, dari belokan koridor, dari tangga mushola, dari semua sudut yang bisa tertangkap pandangku. Aku tenang dengan keberadaanmu. Ailsa, aku sungguh mencintaimu.

Suatu hari Ailsaku menangis di selasar belakang mushola yang sepi. Mushola hanya ramai ketika jam istirahat, ketika semua orang shalat dan berisik. Tapi selalu kulihat Ailsa menjauh dari bising yang menggelisahkan hatinya. Ia lebih suka menyepi, bersamaku di selasar itu, bercerita banyak hal. Tentang cita, tentang mimpi, tentang cintanya pada Tuhan.

Ya, hari itu Ailsa menangis. Aku tak kuasa melihat betapa sendu ia siang itu. Kenapa, Ailsa?

“Aku gagal, Ni...” kudengar ia berbisik di antar isakan tangisnya.

Aku tidak mengerti. Apa di dunia ini yang Ailsa pernah merasa gagal? Ailsaku sempurna. Dari kesempurnaan akhlak, keutuhan pemahaman, dan kekuatan iman.

Kemudian aku menebak. Apakah Ailsaku jatuh cinta? Ailsa menggeleng. Aku tahu ia butuh waktu untuk menjelaskan. Maka aku menunggu. Aku menunggu hingga ia siap. Aku mencintainya, kan? Karenanya kudekap ia hingga air matanya membasahi jilbabku. Kutepuk-tepuk seperti kakak pada adik perempuannya.

Ailsa menunjukkan masalahnya padaku. Lalu aku tahu. Ailsa tidak jatuh cinta. Tentu saja. Ailsa yang kusukai tidak akan jatuh cinta sebelum waktunya, pada sembarang orang.

“Aku gagal menjaga hijabku, Ni...”

Ini bukan kisah galau tentang cinta semu manusia. Manusia pada umumnya hanya melihat cinta sebagai nafsu yang menggebu di awal namun terkikis oleh derasnya arus waktu. Manusia mengumbar cinta mereka ke semua orang, mengumumkannya ke seluruh dunia melalui teknologi yang mereka punya. Salah satunya berhasil melangkah masuk, menyisip ilegal ke dalam kehidupan Ailsa. Ailsa, Ailsaku yang malang...

“Aku malu, Ni... Bagaimana aku bisa menghadap Tuhanku?”

Ya, tentu kau malu, Ailsa. Aku mengenalmu setelah memberanikan diri menyusup melalui celah tembok yang kau bangun untuk menghijab dirimu dari dunia. Aku mengenalmu ketika kita beberapa kali melangkah di jalan-jalan yang sama, ketika berusaha mencari jalan terdekat menuju Tuhan. Aku tahu seberapa dalam cintamu padaNya. Aku tahu seberapa besar usahamu untuk menjaga diri dan menjadikan dirimu hanya milikNya.

“Ni, apakah Dia marah, Ni...? Apakah Dia menilaiku tidak menepati janji? Aku menunjukkan keindahan yang seharusnya hanya milikNya, Ni. Aku mengkhianatiNya...”

Ailsa, Ailsaku...

Rasanya aku ingin menyimpan tiap butiran air matamu. Kau selalu menangis untuk Tuhanmu. Bahagia karenaNya dan bersedih karenaNya. Bagaimanalah mungkin Dia membencimu?

“Kuberi kesempatan laki-laki itu untuk mendekat, Ni. Aku membiarkannya mengingatku di malam-malam setelah kami berbincang di bawah siang. Aku membiarkannya memperhatikan aku sama seperti aku membiarkan Tuhan memperhatikan aku. Aku membuatnya menyebut namaku dalam bincangnya pada Tuhan...”

Apa yang bisa kukatakan? Hatiku pun remuk dan diam-diam mengutuk laki-laki yang menyatakan cintanya pada Ailsa. Ingin kucabik dan...ah, kenapa ia begitu tega menyakiti Ailsa? Haruskah sebuah cinta pada manusia dinyatakan dalam sebaris kalimat? Haruskah cinta seorang laki-laki pada seorang perempuan menjadikan hati begini gelisah? Bagaimana sebuah cinta bisa menjerumuskan pemiliknya ke dalam jurang neraka?

“Semalam aku bermimpi, Ni... Aku merasa panas dalam tidurku. Kucari bagian yang dingin di kamar. Di lantai, tembok, kunyalakan pendingin ruangan, tak bisa. Aku seperti terbakar dan perlahan-lahan melepuh, lalu utuh kembali, lalu melepuh lagi. Apakah Tuhan mengirimkan api nerakanya padaku, Ni...? Apakah jilatan apiNya sudah sampai sedekat itu pada urat nadiku??”

Kupeluk lagi Ailsa yang tangisnya mekin menjadi. Aku ikut menangis. Ailsa yang kucintai bahunya berguncang dan meremas pundakku keras. Setakut itukah kau pada Tuhanmu, Ailsa? Aku tahu, Tuhan tahu bukanlah kesalahanmu datangnya cinta itu. Bukankah sudah kau tutup rapat hijab itu? Kau hanya membukanya sedikit untukku dan aku senang karenanya.

Ailsa, Ailsa... Jangan menangis sepilu ini. Aku yakin Tuhan memahamimu sama seperti kau berusaha memahamiNya. Cintamu lebih berharga dari semua permata yang ada di dunia. Cintamu adalah hiasan terindah di surgaNya. Hentikan tangismu, Ailsa. Laki-laki itu tak pantas membuatmu seperti ini. Beri dia pelajaran sepantasnya, Ailsa. Dia yang membuatmu untuk pertama kalinya kulihat menangis bukan karena shalatmu yang tidak khusyuk, bacaan tilawahmu yang tidak mencapai target harian, shalat Duhamu yang terlewatkan, atau qiyyamul lailmu yang kurang dari delapan rakaat, atau bahkan haid yang membuatmu tidak bisa berpuasa dan bertilawah. Ya, beri dia pelajaran untuk tidak bermain-main dengan perasaanmu.

Ailsaku berhak mendapatkan yang lebih baik. Aku tahu sekali. Cara mencintai Ailsa adalah dengan membiarkannya mencintai hanya Tuhannya. Ailsa tak membutuhkan kata-kata manis dan rayu yang terlupakan seiring mengikisnya rasa cinta. Ailsa tak membutuhkan cinta dari manusia. Ia hanya membutuhkan cinta Tuhan yang akan abadi dan memberinya kehidupan. Ailsa juga tak memerlukan cintaku. Baginya cintaku hanyalah wujud dari cinta yang dikirimkan Tuhan padanya.

“Tuhan adalah pemilik semua cinta, Ni. DariNyalah cinta berasal dan sudah seharusnya semua cinta yang Ia tebar di dunia kelak kembali padaNya. Manusia hanya makhluk fana yang Ia ciptakan untuk bisa merasakan kedahsyatan cinta itu. Dia ingin kita bersyukur dan berbagi cinta itu dengan orang lain. Dengan orang tua, dengan teman, sahabat, guru, tetangga, dengan semua orang. Dengan semua, di waktu yang tepat. Karena Tuhan tidak suka ketergesaan...”

Ailsa telah mengajarkan aku banyak hal. Dia menyeretku ke dalam dunianya. Gadis itu melihat seluruh dunia dari selasar belakang mushola ini. Matanya menari-nari di atas tumpukan buku-buku ilmu. Kibaran jilbab lebarnya selalu terlihat di perbincangan-perbincangan sarat pengetahuan dan diskusi ilmu. Tangannya selalu aktif teracung di kelas-kelas, bertanya dan menyanggah banyak hal hingga membuat guru-guru berdecak antara kagum dan sebal. Dalam hati aku ingin menjadi seperti Ailsa. Ailsa yang mendasarkan segalanya pada aturan Tuhan. Ailsa yang sangat mencintai Tuhan dan Tuhan pun mencintainya.

Larilah, Ailsa. Lari saja yang kencang. Jauhi semua cinta manusia yang tidak pada tempatnya. Larilah, mendekat pada Tuhanmu. Bukankah hanya Tuhan yang bisa mencintaimu dengan benar?

Setelah hari itu aku tak melihat Ailsa muncul dimanapun. Selasar belakang mushola kosong dan suram tanpanya. Duniaku menjadi remang dan hati dipenuhi gelisah. Hei, Ailsa, dimana kau? Haruskah aku bertanya pada Tuhan? Apakah cinta dari lelaki itu telah melemahkanmu hingga kau menyembunyikan diri dari dunia?

Seminggu Ailsa tak tertangkap dalam pandanganku. Apa aku perlu mencarinya ke dalam bumi? Barangkali saking malunya pada Tuhan ia menyembunyikan diri ke dalam tanah? Tidak, Ailsaku tidak akan berpikir sesempit itu.

Dan hari berikutnya aku bertemu dengan laki-laki yang membuat Ailsaku merasakan sesak di dadanya. Dadaku bergemuruh marah. Kami bicara empat mata di salah satu koridor yang sepi. Beberapa temannya menunggu di ujung koridor, berbisik-bisik.

Laki-laki itu bilang ia juga tidak tahu dimana Ailsa. Air mataku tumpah saat ia meminta maaf. Ia bilang ia telah melakukan hal bodoh dengan menyatakan perasaannya pada Ailsaku. Aku memarahinya, beteriak-teriak di koridor. Ailsa! Ailsaku menghilang dan semua gara-gara dia! Bisa-bisanya dia tega pada Ailsa yang polos dan lugu dan tidak mengenal cinta kecuali milik Tuhannya? Kubilang aku kecewa. Kubilang saja selama ini hijabnya palsu, pandangannya menunduk tapi hatinya terbang dan hinggap dimana-mana. Kubilang padanya Ailsa pantas mendapatkan yang lebih baik. Aku tidak pernah melarang siapapun untuk mencintai Ailsa. Ailsaku memang pantas dicintai banyak orang. Tapi aku tak pernah mengizinkan laki-laki manapun untuk menyatakannya, membuat hatinya yang putih bersih ternoda oleh keraguan. Apakah setelah meminta maaf semua rasa itu hilang begitu saja? Apakah kalimat rayu itu menjadi kalimat tak bermakna setelah dibelakangnya tertulis kata maaf?

Ailsa... Ailsaku...

“Tuhan mencintaiku lebih dari cinta siapapun, Ni. Ia mencintaiku melalui ayah dan ibu, melalui adik-adik, teman-teman, dan tentu saja melalui dirimu. Begitu juga aku. Kuharap Tuhan mencintaimu melaluiku. Sungguh, Ni, aku senang kau ada disini. Aku senang bahwa kaulah orangnya yang berhasil melihat diriku di balik tembok yang kupasang untuk menghindari cinta yang belum kuperlukan. Aku senang Tuhan mempertemukan kita di selasar belakang mushola ini...”

Aku pun mencintaimu, Ailsa. Sebagai apapun bagimu. Teman, sahabat, kakak, adik, atau sekedar tempatmu membuang rasa gelisah sementara ketika kau menunggu waktu untuk dapat berdua bermesraan dengan Tuhanmu. Bukankah tiap manusia memiliki definisi sendiri tentang cinta? Aku senang menjadi orang yang kau izinkan untuk mengenalmu lebih jauh. Sungguh...

Dan Ailsa tidak kembali sampai sebulan lamanya. Saat kembali, ia membawa sebuah undangan cantik pernikahannya. Ia mengabariku dengan bahagia. Kulihat kembali matanya yang menari-nari dan wajahnya yang bercahaya. Ailsa cantik sekali.

“Aku sudah memutuskannya, Ni. Aku tidak ingin hal ini terulang. Dengan pernikahan ini, kuharap aku tidak memberi kesempatan siapa pun untuk melanggar batas yang sudah digariskan Tuhan. Aku takut sekali lagi mengkhianati Tuhanku dengan membiarkan perasaan cinta selain padaNya tumbuh berkembang di waktu dann tempat yang tidak seharusnya...”

Aku hanya diam saja mendengarnya bicara. Aku sangat rindu celoteh cerdasnya tentang prinsip yang mati-matian ia jaga. Perasaan lega menyelimutiku sama seperti tiap kali aku melihatnya muncul dari belokan-belokan koridor atau turun dari tangga mushola.

“Bukan dengan laki-laki itu, Ni. Dengan orang lain yang jauh lebih mengerti. Barangkali memang kami belum saling mengenal banyak, tapi kami bisa mulai dari awal. Tuhan akan menyatukan kami dalam rengkuhanNya... Dan semalam aku bermimpi. Aku merasakan sejuk dalam tidurku, Ni. Aku merasa nyaman dan bahagia. Aku rasa api neraka yang dikirimkan Tuhan menjauh dan digantikan angin surga yang sejuk merengkuh tubuhku. Apa kau akan bahagia untukku, Ni?”

Aku langsung memeluknya. Kami menangis bersama. Bukan tangis sedih seperti sebelumnya. Aku harus bilang apa? Orang yang kucintai ini sedang berbahagia dengan keputusan yang telah dibuatnya. Adakah perasaan lain yang mungkin tersisip ketika sebuah harapan baik berkembang dalam hati sahabatku?

Aku melepaskan pelukannya. Wajah kami merah dan selasar belakang mushola itu terasa hangat dengan kebahagiaan Ailsa. Aku mengangguk-angguk sambil menangis dan tersenyum.

Iya, Ailsa. Tentu saja aku bahagia. Dan Tuhan juga pasti sedang berbahagia juga untukmu. Bukankah Dia mencintaimu salah satunya melaluiku? Tentu saja, Ailsa. Aku akan selalu bahagia untukmu...Selalu...


Depok, 7 November 2012.
Untuk sahabatku yang begitu mencintai Allah. Semoga cintamu kelak dipertemukan dengan hati yang tepat, yang bisa memahami bahkan mencintai Allah sama besarnya dengan cintamu padaNya...

Satu Bijak tentang Bunga

(There's a sudden feeling to post this after hearing your story. I wrote this more than a year ago, didn't mean to share it. Without a need to mention, hope you still read this)

Ada dua bunga yang disodorkan padamu tepat di hari kelulusanmu dari universitas. Keduanya bunga mawar yang merah mempesona. Tanpa duri, indah dipandang. Ia sangat cocok dengan gaun kebaya merah jambu yang kau pakai.

Bunga pertama dibawakan oleh laki-laki yang kau cintai. Bunga yang dibuat dengan tangan dan dipesan khusus untukmu. Kau tak perlu merawatnya. Tinggal masukkan ke vas dan pajang di meja ruang tamumu, atau di kamar agar kau bisa melihatnya setiap hari. Bunga itu tak akan pernah layu walau kau lupa menyiramnya.

Bunga kedua dibawa oleh seorang lelaki yang mencintaimu. Ia terburu-buru menemuimu setelah pulang bekerja dan tak sempat memesan bunga. Maka ia hanya membawakanmu bunga mawar yang baru saja ia petik di halaman rumah kita. Bunga yang akan segera layu begitu kau lupa memberinya air. Bunga yang hanya indah sementara waktu. Disiram tiap hari pun, ia akan mati karena terpisah dari tanah. Tapi pesona mawar itu tak kalah dari bunga mana pun.

Sayang, saat itu, bunga mana yang akan kau pilih? Kau tidak bisa mengambil keduanya. Keserakahan hanya akan membuatmu terluka pada akhirnya, setelah kau melukai perasaan-perasaan lainnya. Kau juga tak pantas menolak keduanya, karena siapakah dirimu yang merasa pantas menolak sebuah pemberian?

Sayangku, kita tak pernah mengetahui apa yang direncanakan Tuhan. Ia hanya memberi kita pilihan-pilihan. Keindahan yang sengaja dibuat dengan sempurna barangkali mempesonamu. Setiap orang bermimpi untuk hidup bersama orang yang ia cintai, begitu pula kau, aku juga. Maka tak ada salahnya kau mengambil bunga yang pertama. Kebahagiaan itu ada, sempurna, dan selamanya indah tanpa perlu kau susah payah merawatnya. Ia ada dalam dirimu yang kelak selalu tersenyum menyambutnya di depan pintu rumah, membawakan tas kerjanya, berharap ia mencium keningmu dan menggandeng tanganmu ke ruang makan, bahkan menggendongmu ke tempat tidur. Kau bahagia mencintainya, mengatakan I love you berkali-kali sehari dan membuncah hatimu saat ia menjawabnya dengan senyum.

Tapi, Sayang, benarkah kau menyukai bunga yang palsu?

Kau memikirkannya kembali. Kali ini kau coba membandingkannya dengan bunga yang dibawa lelaki kedua. Kau tahu ia mencintaimu sejak dulu. Ia telah melakukan semuanya untukmu. Semua hal yang tak pernah kau sukai. Ketika kau menginginkan sebuah jepit rambut, kau ingat lelaki pertama langsung membelikan jepit terbaik di toko mahal, sedangkan lelaki kedua malah mengatakan bahwa kau tak perlu memberatkan kepalamu dengan memasang jepitan atau bando di atasnya. Ketika kau menginginkan sepatu, pria pertama membungkuskan sepasang sepatu hak tinggi yang pas dengan gaunmu, keluaran terbaru.

Sedangkan pria kedua yang tak kau sukai memberimu sandalnya sendiri yang rata dan agak kebesaran untuk kaki indahmu karena ia pikir gadis tomboy sepertimu akan kapalan kakinya jika pakai hak tinggi. Dan saat kau bilang menyukai bunga mawar saat masih sekolah dulu, lelaki yang kau cintai memberimu buket bunga mawar besar dan memberikannya di depan gerbang sekolah. Ia membuatmu menjadi pusat perhatian murid-murid yang hendak pulang sekolah. Kau malu, tapi kau sangat senang karenanya. Kau pikir kaulah yang paling spesial, paling penting. Sesampainya di rumah, lelaki kedua kau lihat sedang melubangi halaman rumahmu dan menanam tanaman kecil yang kau tak tahu apa itu. Kau memarahinya, mengatakan padanya bahwa  ia merusak halaman rumah orang. Tapi ia hanya tertawa dan memberimu teka-teki. Ia bilang padamu kau akan mendapatkan apa yang paling kau inginkan jika kau bisa menebak apa yang ia tanam.

Kisahmu selanjutnya dipenuhi dengan warna-warna kebahagiaan bersama lelaki yang kau cintai. Lelaki yang lain entah kemana. Tapi kau sendiri belum pernah memilih. Ia menjadi lelaki yang kau terbiasa dengan berada di sampingnya, mendapatkan perhatian darinya. Matamu hanya melihat kebaikannya, seperti anak kecil yang terus menempel pada orang yang memberinya permen, mainan, dan mengelus rambutnya jika ia melakukan hal hebat. Aku tak membencimu yang seperti itu, Sayang. Kau bahagia olehnya dan aku menyukai siapapun yang membuatmu bahagia.

Yang tak kusukai darimu, satu-satunya, adalah kau tidak pernah lupa menyiram tanaman yang dulu pernah ditanam seseorang di halaman rumah kita, tepat di bawah jendela kamarmu. Aku pernah berusaha mencabut tanaman yang sudah hampir setinggi pinggangku itu. Di saat yang sama kau datang dan memarahiku. Sayang, kau tahu? Sekalipun kau tak mencegahku saat itu, aku tak akan pernah bisa mencabutnya dengan tenagaku seorang. Kusadari akarnya sudah terlalu dalam dan duri-duri sudah muncul di batang dan ranting-rantingnya. Kau sendiri yang telah membuatnya sulit dicabut.

Tapi itu adalah keputusan yang paling kusesali. Mengapa aku menyerah mencabutnya hanya karena kau marahi? Justru karena kau marah, seharusnya aku lebih berusaha melenyapkan tanaman itu. Ia telah mengutukmu menjadi gadis yang palsu dan setengah-setengah. Aku tahu kau diam-diam bertanya-tanya, mawar seperti apakah yang akan tumbuh jika kau terus merawatnya? Seindah apakah? Sepuas apakah engkau saat melihat mawar itu mekar dengan amat mempesona? Kau berkali-kali meyakinkan dirimu bahwa kau merawatnya hanya karena tak ingin kalah dari lelaki penanamnya. Kau pikir kau kalah jika menyerah dan membiarkan pohon itu mati. Kau ingin, jika nanti bertemu pria itu lagi, kau bisa membanggakan dirimu yang telah berhasil tahu apa yang pernah ditanamnya.

Sayang, sadarkah kau? Ketika kau memutuskan untuk menyiramnya pertama kali, ketika pada akhirnya kau melarangku mencabutnya, kau sesungguhnya telah kalah. Kekalahan yang mengerikan, Sayang. Kalah itu membawamu pada situasi sekarang ini. Seandainya dulu kau biarkan saja semak itu mati layu, seandainya kau bakar hingga jadi abu, kau tak perlu bimbang. Kau pasti akan sudah memilih, atau bahkan tak perlu memilih samasekali.

Kau lama sekali berdiri di pelataran rumah. Togamu bergetar ditiup angin. Dua lelaki itu masih berdiri canggung satu sama lain, bertanya-tanya dan menyesal seandainya masing-masing datang lebih cepat. Kau juga ingin meneriaki lelaki yang kau cintai karena tak datang lebih awal sesuai janji. Jika saja ia datang semenit lebih awal dari lelaki kedua, maka hatimu tak perlu merasa begini tertekan.

Kau mengutuk marah pada lelaki pertama. Lelaki pertama gentar oleh keberadaan lelaki kedua. Lelaki kedua dadanya seperti gunung yang hendak meletus menunggu keputusanmu. Dan aku mengutuk kalian bertiga yang membuatku tak berhak mengatakan apa-apa padahal tahu persis situasinya.
Sayang, kau tak bisa selamanya membiarkan mereka. Tidak adil namanya. Kau bisa mendengarnya? Suara degup terancam dari hati lelaki pembawa bunga yang tak akan pernah layu dan suara degupan gugup dari jantung lelaki lainnya. Barangkali ia cemas kau sudah melupakannya karena tak menghubungimu lagi setelah lulusan sekolah dulu. Barangkali ia cemas kau tak menyukai penampilannya yang berantakan karena berlari dari tampat kerja dan serampangan memetik mawar sehingga tangannya tergores duri dan sedikit berdarah. Ia cemas mungkin kau jijik atau kesal karena tak menyiapkan bunga spesial untuk memberi selamat atas kelulusanmu. Dan lebih dari semua itu, ia cemas bunga di tangannya akan segera layu oleh matahari sebelum kau sempat mencium harumnya.

Aku melihat bola matamu bergerak dari satu bunga ke bunga lain, dari satu wajah ke wajah lain di hadapanmu. Dan tanganmu bergerak perlahan. Aku bisa melihat getaran di tanganmu. Kutepuk punggungmu dan memberimu sebuah senyuman. Kukatakan melalui mataku bahwa aku akan mendukung apapun pilihanmu dan bersiap bahagia karenanya. Pilihan itu sepenuhnya hakmu. Pejamkan matamu, Sayang, dan jangan memilih karena ia adalah yang terbaik. Jangan memilihnya dengan alasan-alasan. Pilihlah ia karena kau memang memilihnya. Jangan ragu, jangan pikirkan konsekuensi atau risiko. Bahagia adalah satu-satunya risiko yang menantimu di hadapan.

Aku berbalik. Apakah saat itu aku tak tega melihat salah satu lelaki itu bahagia dan yang lain tidak? Apakah aku berbalik karena tak peduli siapa yang engkau pilih? Apakah aku berbalik justru karena sudah tahu? Aku tak memikirkan alasannya. Mungkin lebih pada aku tak ingin mencampuri hatimu.
Sayang, jika kau memilih lelaki pertama yang memberimu bunga  dari lilin dan kain, kau akan selamanya bahagia tanpa susah payah menjaganya. Cukup mencintainya dengan sempurna dan tak mengharapkan apa-apa sebagai gantinya. Kau akan bahagia selamanya.

Jika kau menjatuhkan pilihan pada lelaki kedua, kebahagiaanmu mungkin hanya sementara seperti keindahan bunga yang dibawanya. Kau tak mencintainya sekalipun ia amat mencintaimu. Kau harus bertahan merawat hatimu jika ingin bertahan lama. Kau harus menyiramnya, memberinya pupuk, memotong daun yang menguning, mematahkan ranting yang mengganggu pertumbuhan bunga. Kau akan bersusah payah merawat hatimu sendiri dan beberapa kali kau akan terluka oleh duri-durinya. Kau mungkin tidak akan betah dan bersabar, lalu memutuskan berhenti di tengah jalan sekaligus menyakitinya di saat yang sama. Tapi, Sayang, di atas semua itu jika kau bertahan kau akan belajar bertahan hidup. Kau akan belajar merawat perasaan, mengendalikan hatimu, memenangkan egomu. Jika kau berhasil, ia akan berbunga dengan sangat indah. Kau akan menghargainya sebagai yang paling berharga dalam hidupmu. Dan kau akan menemukan lelaki pilihanmu tersenyum bahagia karena akhirnya cintanya telah kau sambut. Kau akan berterima kasih padanya yang telah mengajarkanmu bersabar. Ia dulu mengajarimu merawat tanaman induk dari bunga yang kau sukai, kelak ia akan mengajarkanmu merawat perasaan dan menjaganya sampai mati.

Sayangku, pilihlah sesuai keinginanmu. Kebahagiaan yang mudah tapi palsu, atau kebahagiaan sejati tapi entah bisa kau temukan atau tidak. Aku selamanya tak keberatan akan keduanya.

Depok, 31 Agustus 2013
Pilihan apapun, Mbak, kita akan menanggung konsekuensi dan perlahan belajar menerimanya.

The Girl who Lets Him Go

Once, a girl and a boy met up under a tree near a river. It would be more romantic to story-telling if the tree was a willow or cherry. But they only found a mango tree by the river, so it was nevermind. Who would care about the tree when the one who always filled your dreams sitting beside you?

The boy didn't say anything, so did the girl. Sometimes they would just glance to each other ("Is that a rainbow in her eyes?" said the boy, deep in his heart), too shy to start a conversation. Was that around 30 minutes? An hour, or even more? They both never counted. As the time flied and days passed, they finally knew each other names and addresses.

Listening to their story, maybe modern-couples like you would laugh out loud. How come a couple didn't do anything except glancing at each other in a date? Was that even called a date, without going to cinema, holding hands, chatting about each other feelings, or perhaps a kiss?

But that was how their story began. That was how they put their first foundation of their trusts. They built it slowly, stone by stone. But it would be stronger, it last longer.

With his knowledge about the girl's name and address, the boy gained his courages. By an old bycicle, he went to the girl's house that was far away from his house. He knew not about her parents, he knew not about the awaiting destiny that would stirr-up his entire life.

With sweats and stupid courage, he knocked the girl's door. A man showed up and his presence was like a huge mountain blocking the boy's steps to his destined girl.

"Let me have your oldest," he said, and, "please..."

You might be reminded to a song that almost all the girl had in their gadget these days, about marrying a daughter. Maybe that was a template used by most of guys when the time came for them to lower their pride in front of a man with a daughter. That was a simple sentence, but could make all the girl's hearts pounding. The girl behind the door waited for his father's respond while cursing the boy for being stupid enough to come without even wearing proper clothes.

The man in front of the boy didn't say anything. Many thoughts stroke his head like bullets. He felt like being betrayed by the world, seeing the poor and pitiful boy in front of his door asked for his precious. Until their humble wedding that only close relatives came (not because they wanted a private wedding, but because both of the family couldn't afford more money for more people), the girl's father didn't say a word except "It's your choice. Don't dare you regret, ever!" to his beloved daughter.

The boy wore a black suit like a midnight without stars. The girl wore a very humble white dress. That was just a dress she usually used for a formal meeting, but in the boy's eyes, she looked like a blossom jasmine.

So did they, like other couples, living their lifes with some quarrells, laughs, and tears of joy and despair, and of course some financial problems, till He gave them three joyful chances of having children. They never said about love or about forever. Being together while waiting for His call was wonderful enough.

So did the boy and the girl promised to be together till the end of their time. So did the girl had fulfilled the promise. She was there, holding her closed-eyes-husband's hands, praying so that after years of his life, her husband would end up in a better place. Much better than the life by her side.

Written in Depok, June 2015
Annisa Qurani

After D(e)ad Scenario

9 January 2015, 2.00 pm
Let me tell you one thing. This piece of paper is not a kind of confession. No one will ever read this and everything’s better being buried along with that crushed body.

I didn’t find anyone else who can hold himself from telling others what I was about to tell. People just a broken piece of glass that can’t have any water filled into. As soon after I told them, they would whisper it throughout the world. I trust no one.

But I find myself being crazy not to able to tell anyone about this frustrating thing. So then I find myself a piece of paper and pen instead of a couple of ears. So that at least I can talk to myself silently.

I might have killed someone this morning.

9 January 2015, 9.00 pm
I have gathered informations from the accident location. A man who claimed himself being around when the accident occured said that he neither saw the identity number of the car nor remember what color the troubled car was.

He said that the man I killed... no, no, precisely, the man who bumped his motorcycle to my beloved car is still alive and has been brought to hospital.
With this kind of situation, logically I should be relieved. But I can’t deny myself that I wish him not to.

9 January 2015, 3.150 am
I can’t sleep. Should I tell someone? Maybe someone can help.

But I’m scared to hear questions.

10 January 2015, 11.05 am
I came to the hospital. Seems like he has been brought to ICU. I heard people talking that he is no longer awake, but still breathing. He is in a comma.
I saw many people came. The brown-dressed woman in the corner outside the ICU room kept received handshakes from people. Was that his wife? Her face was swollen. And red. And tired. I saw a boy held her hands while they were alone. Some people got in and out from ICU.

The hospital is stink, even this cafetaria. I still wonder why did I have an eager to come? To visit him and ask for forgiveness?
Or just make sure I know exactly that he will never be able to tell others anything anymore?

The soup in my mouth tastes bitter.

10 January 2015, 1.20 pm
I wonder why, I still sit in lines of chair not far from ICU, observing. The wife is still in the same spot she sat before. I can’t see the boy around. But I see two girls bringing some food for the wife. Are they his daughters?

Those two feeds her. They seem alright. A little quarrel when the wife refuses to eat more. The boy comes out, and the shorter girl enters the ICU. She brings a book with her. Alquran.

My heart felt like jumping out and then dropping.
Suddenly I remember about sin.
Just a little.

Being escorted to jail is more frightening.

10 January 2015, 4.00 pm
I bumped unconciously to the shorter girl when I rushed to the toilet. I think she was in a hurry too, with fast steps to the main corridor while calling someone.

I was scared to death. Don’t look at my face, don’t look at my face, I mumbled.
She stopped. And bowed to me. She apologized for bumping me.

From the first place, why should she apologize?

10 January 2015, 00.43 am
It’s quiet. There are people outside the ICU. Two of them have been my interest for these 24 hours. The wife lays on the chair with a blanket. The other, the shorter girl, reads Alquran and sometimes checks her handphone. Receiving some calls. Few minutes later the boy comes out from ICU. They talk for awhile and then he sits on chair in the opposite corner.

They must be tired.
I am also tired. When will this end?

11 January 2015, 9.17 am
More people are coming. Seems like the man in ICU is a good man. People don’t stop visiting him. I hear their consolations. Some of them hug the wife and cry. Most of them are middle age women. The men are shaking hands with the boy and some other people that I think maybe they are his family.
A thought comes to my mind: I might have killed a descent man. From 24 hours observing, seems like the man comma in ICU is a family man, loving and caring for people. This family has so many people care for them.

A nice man, he was, not a coward like me.

Hey, if I come to your family and tell them about our bloody meeting yesterday on the bloody road, will they forgive me?

11 January 2015, 1.11 pm
It’s a real frustating to see people crying over a body. People in cars, motorcycles, keep coming and make the hospital corridor full. They hug each other, they wipe each other’s tears.

It’s not like the first time I see death.

15 January 2015, 2.52 am
Go away, damn you! You have died, so behave like one!

I saw you days ago being buried with white covering your entire body. Some weeks later your body will just be worm’s living source. You are no longer alive. You are no longer exist. So stop messing up my dreams!

You must be suffering, right? It must be a lot of pain. You have the every right to hate me, curse me. Do it, then!
Stop smiling and saying that you are alright. Stop behaving like you forgive me!

16 January 2015, 11.48 pm
This apple tastes the best. How could this apple be so sweet?

I should stop writing before it being a habit. While writing my last words, I keep peeling the apples with a knife. The fresh red apples look beautiful. Do I remember something? Ah, the red is just like.... what is it?

He comes again. AGAIN. Stop smiling, you have died!!
Okay then. Since you are so annoying, let me settle the things.

It’s a very pleasure feeling, having my knife stab you in the chest, repeatedly, destroying your smiling annoying face. Again! Again! Again! You must be surprised know, heh? I might coincidentally kill you last time, but I can freely kill you again.

The red covering my papers. It’s not the red from the apples... Is that?


Written in Depok, May 2015
Annisa Qurani

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...