(There's a sudden feeling to post this after hearing your story. I
wrote this more than a year ago, didn't mean to share it. Without a need
to mention, hope you still read this)
Ada dua bunga yang
disodorkan padamu tepat di hari kelulusanmu dari universitas. Keduanya
bunga mawar yang merah mempesona. Tanpa duri, indah dipandang. Ia sangat
cocok dengan gaun kebaya merah jambu yang kau pakai.
Bunga
pertama dibawakan oleh laki-laki yang kau cintai. Bunga yang dibuat
dengan tangan dan dipesan khusus untukmu. Kau tak perlu merawatnya.
Tinggal masukkan ke vas dan pajang di meja ruang tamumu, atau di kamar
agar kau bisa melihatnya setiap hari. Bunga itu tak akan pernah layu
walau kau lupa menyiramnya.
Bunga kedua dibawa oleh
seorang lelaki yang mencintaimu. Ia terburu-buru menemuimu setelah
pulang bekerja dan tak sempat memesan bunga. Maka ia hanya membawakanmu
bunga mawar yang baru saja ia petik di halaman rumah kita. Bunga yang
akan segera layu begitu kau lupa memberinya air. Bunga yang hanya indah
sementara waktu. Disiram tiap hari pun, ia akan mati karena terpisah
dari tanah. Tapi pesona mawar itu tak kalah dari bunga mana pun.
Sayang,
saat itu, bunga mana yang akan kau pilih? Kau tidak bisa mengambil
keduanya. Keserakahan hanya akan membuatmu terluka pada akhirnya,
setelah kau melukai perasaan-perasaan lainnya. Kau juga tak pantas
menolak keduanya, karena siapakah dirimu yang merasa pantas menolak
sebuah pemberian?
Sayangku, kita tak pernah mengetahui apa
yang direncanakan Tuhan. Ia hanya memberi kita pilihan-pilihan.
Keindahan yang sengaja dibuat dengan sempurna barangkali mempesonamu.
Setiap orang bermimpi untuk hidup bersama orang yang ia cintai, begitu
pula kau, aku juga. Maka tak ada salahnya kau mengambil bunga yang
pertama. Kebahagiaan itu ada, sempurna, dan selamanya indah tanpa perlu
kau susah payah merawatnya. Ia ada dalam dirimu yang kelak selalu
tersenyum menyambutnya di depan pintu rumah, membawakan tas kerjanya,
berharap ia mencium keningmu dan menggandeng tanganmu ke ruang makan,
bahkan menggendongmu ke tempat tidur. Kau bahagia mencintainya,
mengatakan I love you berkali-kali sehari dan membuncah hatimu saat ia menjawabnya dengan senyum.
Tapi, Sayang, benarkah kau menyukai bunga yang palsu?
Kau
memikirkannya kembali. Kali ini kau coba membandingkannya dengan bunga
yang dibawa lelaki kedua. Kau tahu ia mencintaimu sejak dulu. Ia telah
melakukan semuanya untukmu. Semua hal yang tak pernah kau sukai. Ketika
kau menginginkan sebuah jepit rambut, kau ingat lelaki pertama langsung
membelikan jepit terbaik di toko mahal, sedangkan lelaki kedua malah
mengatakan bahwa kau tak perlu memberatkan kepalamu dengan memasang
jepitan atau bando di atasnya. Ketika kau menginginkan sepatu, pria
pertama membungkuskan sepasang sepatu hak tinggi yang pas dengan gaunmu,
keluaran terbaru.
Sedangkan pria kedua yang tak kau sukai memberimu
sandalnya sendiri yang rata dan agak kebesaran untuk kaki indahmu karena
ia pikir gadis tomboy sepertimu akan kapalan kakinya jika pakai hak
tinggi. Dan saat kau bilang menyukai bunga mawar saat masih sekolah
dulu, lelaki yang kau cintai memberimu buket bunga mawar besar dan
memberikannya di depan gerbang sekolah. Ia membuatmu menjadi pusat
perhatian murid-murid yang hendak pulang sekolah. Kau malu, tapi kau
sangat senang karenanya. Kau pikir kaulah yang paling spesial, paling
penting. Sesampainya di rumah, lelaki kedua kau lihat sedang melubangi
halaman rumahmu dan menanam tanaman kecil yang kau tak tahu apa itu. Kau
memarahinya, mengatakan padanya bahwa ia merusak halaman rumah orang.
Tapi ia hanya tertawa dan memberimu teka-teki. Ia bilang padamu kau akan
mendapatkan apa yang paling kau inginkan jika kau bisa menebak apa yang
ia tanam.
Kisahmu selanjutnya dipenuhi dengan warna-warna
kebahagiaan bersama lelaki yang kau cintai. Lelaki yang lain entah
kemana. Tapi kau sendiri belum pernah memilih. Ia menjadi lelaki yang
kau terbiasa dengan berada di sampingnya, mendapatkan perhatian darinya.
Matamu hanya melihat kebaikannya, seperti anak kecil yang terus
menempel pada orang yang memberinya permen, mainan, dan mengelus
rambutnya jika ia melakukan hal hebat. Aku tak membencimu yang seperti
itu, Sayang. Kau bahagia olehnya dan aku menyukai siapapun yang
membuatmu bahagia.
Yang tak kusukai darimu, satu-satunya,
adalah kau tidak pernah lupa menyiram tanaman yang dulu pernah ditanam
seseorang di halaman rumah kita, tepat di bawah jendela kamarmu. Aku
pernah berusaha mencabut tanaman yang sudah hampir setinggi pinggangku
itu. Di saat yang sama kau datang dan memarahiku. Sayang, kau tahu?
Sekalipun kau tak mencegahku saat itu, aku tak akan pernah bisa
mencabutnya dengan tenagaku seorang. Kusadari akarnya sudah terlalu
dalam dan duri-duri sudah muncul di batang dan ranting-rantingnya. Kau
sendiri yang telah membuatnya sulit dicabut.
Tapi itu adalah
keputusan yang paling kusesali. Mengapa aku menyerah mencabutnya hanya
karena kau marahi? Justru karena kau marah, seharusnya aku lebih
berusaha melenyapkan tanaman itu. Ia telah mengutukmu menjadi gadis yang
palsu dan setengah-setengah. Aku tahu kau diam-diam bertanya-tanya,
mawar seperti apakah yang akan tumbuh jika kau terus merawatnya? Seindah
apakah? Sepuas apakah engkau saat melihat mawar itu mekar dengan amat
mempesona? Kau berkali-kali meyakinkan dirimu bahwa kau merawatnya hanya
karena tak ingin kalah dari lelaki penanamnya. Kau pikir kau kalah jika
menyerah dan membiarkan pohon itu mati. Kau ingin, jika nanti bertemu
pria itu lagi, kau bisa membanggakan dirimu yang telah berhasil tahu apa
yang pernah ditanamnya.
Sayang, sadarkah kau? Ketika kau
memutuskan untuk menyiramnya pertama kali, ketika pada akhirnya kau
melarangku mencabutnya, kau sesungguhnya telah kalah. Kekalahan yang
mengerikan, Sayang. Kalah itu membawamu pada situasi sekarang ini.
Seandainya dulu kau biarkan saja semak itu mati layu, seandainya kau
bakar hingga jadi abu, kau tak perlu bimbang. Kau pasti akan sudah
memilih, atau bahkan tak perlu memilih samasekali.
Kau
lama sekali berdiri di pelataran rumah. Togamu bergetar ditiup angin.
Dua lelaki itu masih berdiri canggung satu sama lain, bertanya-tanya dan
menyesal seandainya masing-masing datang lebih cepat. Kau juga ingin
meneriaki lelaki yang kau cintai karena tak datang lebih awal sesuai
janji. Jika saja ia datang semenit lebih awal dari lelaki kedua, maka
hatimu tak perlu merasa begini tertekan.
Kau mengutuk
marah pada lelaki pertama. Lelaki pertama gentar oleh keberadaan lelaki
kedua. Lelaki kedua dadanya seperti gunung yang hendak meletus menunggu
keputusanmu. Dan aku mengutuk kalian bertiga yang membuatku tak berhak
mengatakan apa-apa padahal tahu persis situasinya.
Sayang, kau tak
bisa selamanya membiarkan mereka. Tidak adil namanya. Kau bisa
mendengarnya? Suara degup terancam dari hati lelaki pembawa bunga yang
tak akan pernah layu dan suara degupan gugup dari jantung lelaki
lainnya. Barangkali ia cemas kau sudah melupakannya karena tak
menghubungimu lagi setelah lulusan sekolah dulu. Barangkali ia cemas kau
tak menyukai penampilannya yang berantakan karena berlari dari tampat
kerja dan serampangan memetik mawar sehingga tangannya tergores duri dan
sedikit berdarah. Ia cemas mungkin kau jijik atau kesal karena tak
menyiapkan bunga spesial untuk memberi selamat atas kelulusanmu. Dan
lebih dari semua itu, ia cemas bunga di tangannya akan segera layu oleh
matahari sebelum kau sempat mencium harumnya.
Aku melihat
bola matamu bergerak dari satu bunga ke bunga lain, dari satu wajah ke
wajah lain di hadapanmu. Dan tanganmu bergerak perlahan. Aku bisa
melihat getaran di tanganmu. Kutepuk punggungmu dan memberimu sebuah
senyuman. Kukatakan melalui mataku bahwa aku akan mendukung apapun
pilihanmu dan bersiap bahagia karenanya. Pilihan itu sepenuhnya hakmu.
Pejamkan matamu, Sayang, dan jangan memilih karena ia adalah yang
terbaik. Jangan memilihnya dengan alasan-alasan. Pilihlah ia karena kau
memang memilihnya. Jangan ragu, jangan pikirkan konsekuensi atau risiko.
Bahagia adalah satu-satunya risiko yang menantimu di hadapan.
Aku
berbalik. Apakah saat itu aku tak tega melihat salah satu lelaki itu
bahagia dan yang lain tidak? Apakah aku berbalik karena tak peduli siapa
yang engkau pilih? Apakah aku berbalik justru karena sudah tahu? Aku
tak memikirkan alasannya. Mungkin lebih pada aku tak ingin mencampuri
hatimu.
Sayang, jika kau memilih lelaki pertama yang memberimu
bunga dari lilin dan kain, kau akan selamanya bahagia tanpa susah payah
menjaganya. Cukup mencintainya dengan sempurna dan tak mengharapkan
apa-apa sebagai gantinya. Kau akan bahagia selamanya.
Jika
kau menjatuhkan pilihan pada lelaki kedua, kebahagiaanmu mungkin hanya
sementara seperti keindahan bunga yang dibawanya. Kau tak mencintainya
sekalipun ia amat mencintaimu. Kau harus bertahan merawat hatimu jika
ingin bertahan lama. Kau harus menyiramnya, memberinya pupuk, memotong
daun yang menguning, mematahkan ranting yang mengganggu pertumbuhan
bunga. Kau akan bersusah payah merawat hatimu sendiri dan beberapa kali
kau akan terluka oleh duri-durinya. Kau mungkin tidak akan betah dan
bersabar, lalu memutuskan berhenti di tengah jalan sekaligus
menyakitinya di saat yang sama. Tapi, Sayang, di atas semua itu jika kau
bertahan kau akan belajar bertahan hidup. Kau akan belajar merawat
perasaan, mengendalikan hatimu, memenangkan egomu. Jika kau berhasil, ia
akan berbunga dengan sangat indah. Kau akan menghargainya sebagai yang
paling berharga dalam hidupmu. Dan kau akan menemukan lelaki pilihanmu
tersenyum bahagia karena akhirnya cintanya telah kau sambut. Kau akan
berterima kasih padanya yang telah mengajarkanmu bersabar. Ia dulu
mengajarimu merawat tanaman induk dari bunga yang kau sukai, kelak ia
akan mengajarkanmu merawat perasaan dan menjaganya sampai mati.
Sayangku,
pilihlah sesuai keinginanmu. Kebahagiaan yang mudah tapi palsu, atau
kebahagiaan sejati tapi entah bisa kau temukan atau tidak. Aku selamanya
tak keberatan akan keduanya.
Depok, 31 Agustus 2013
Pilihan apapun, Mbak, kita akan menanggung konsekuensi dan perlahan belajar menerimanya.
Mostly about social, books, and personal development. No I don't talk about physics and math, but will still come if you offer me a cup of cappuccino. Thank you for visiting my page!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea
Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...

-
Jadi, mulai dari mana ya. Kalau blog ini rumah, pasti sudah penuh sawang (sarang laba-laba). Dulu waktu membuat blog ini, sepertinya tujua...
-
(first published in https://digitalsenior.sg/working-in-a-local-ngo/ ) Working in an NGO offers many challenges and priceless lifetime...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar