Minggu, 03 Januari 2016

Satu Bijak tentang Bunga

(There's a sudden feeling to post this after hearing your story. I wrote this more than a year ago, didn't mean to share it. Without a need to mention, hope you still read this)

Ada dua bunga yang disodorkan padamu tepat di hari kelulusanmu dari universitas. Keduanya bunga mawar yang merah mempesona. Tanpa duri, indah dipandang. Ia sangat cocok dengan gaun kebaya merah jambu yang kau pakai.

Bunga pertama dibawakan oleh laki-laki yang kau cintai. Bunga yang dibuat dengan tangan dan dipesan khusus untukmu. Kau tak perlu merawatnya. Tinggal masukkan ke vas dan pajang di meja ruang tamumu, atau di kamar agar kau bisa melihatnya setiap hari. Bunga itu tak akan pernah layu walau kau lupa menyiramnya.

Bunga kedua dibawa oleh seorang lelaki yang mencintaimu. Ia terburu-buru menemuimu setelah pulang bekerja dan tak sempat memesan bunga. Maka ia hanya membawakanmu bunga mawar yang baru saja ia petik di halaman rumah kita. Bunga yang akan segera layu begitu kau lupa memberinya air. Bunga yang hanya indah sementara waktu. Disiram tiap hari pun, ia akan mati karena terpisah dari tanah. Tapi pesona mawar itu tak kalah dari bunga mana pun.

Sayang, saat itu, bunga mana yang akan kau pilih? Kau tidak bisa mengambil keduanya. Keserakahan hanya akan membuatmu terluka pada akhirnya, setelah kau melukai perasaan-perasaan lainnya. Kau juga tak pantas menolak keduanya, karena siapakah dirimu yang merasa pantas menolak sebuah pemberian?

Sayangku, kita tak pernah mengetahui apa yang direncanakan Tuhan. Ia hanya memberi kita pilihan-pilihan. Keindahan yang sengaja dibuat dengan sempurna barangkali mempesonamu. Setiap orang bermimpi untuk hidup bersama orang yang ia cintai, begitu pula kau, aku juga. Maka tak ada salahnya kau mengambil bunga yang pertama. Kebahagiaan itu ada, sempurna, dan selamanya indah tanpa perlu kau susah payah merawatnya. Ia ada dalam dirimu yang kelak selalu tersenyum menyambutnya di depan pintu rumah, membawakan tas kerjanya, berharap ia mencium keningmu dan menggandeng tanganmu ke ruang makan, bahkan menggendongmu ke tempat tidur. Kau bahagia mencintainya, mengatakan I love you berkali-kali sehari dan membuncah hatimu saat ia menjawabnya dengan senyum.

Tapi, Sayang, benarkah kau menyukai bunga yang palsu?

Kau memikirkannya kembali. Kali ini kau coba membandingkannya dengan bunga yang dibawa lelaki kedua. Kau tahu ia mencintaimu sejak dulu. Ia telah melakukan semuanya untukmu. Semua hal yang tak pernah kau sukai. Ketika kau menginginkan sebuah jepit rambut, kau ingat lelaki pertama langsung membelikan jepit terbaik di toko mahal, sedangkan lelaki kedua malah mengatakan bahwa kau tak perlu memberatkan kepalamu dengan memasang jepitan atau bando di atasnya. Ketika kau menginginkan sepatu, pria pertama membungkuskan sepasang sepatu hak tinggi yang pas dengan gaunmu, keluaran terbaru.

Sedangkan pria kedua yang tak kau sukai memberimu sandalnya sendiri yang rata dan agak kebesaran untuk kaki indahmu karena ia pikir gadis tomboy sepertimu akan kapalan kakinya jika pakai hak tinggi. Dan saat kau bilang menyukai bunga mawar saat masih sekolah dulu, lelaki yang kau cintai memberimu buket bunga mawar besar dan memberikannya di depan gerbang sekolah. Ia membuatmu menjadi pusat perhatian murid-murid yang hendak pulang sekolah. Kau malu, tapi kau sangat senang karenanya. Kau pikir kaulah yang paling spesial, paling penting. Sesampainya di rumah, lelaki kedua kau lihat sedang melubangi halaman rumahmu dan menanam tanaman kecil yang kau tak tahu apa itu. Kau memarahinya, mengatakan padanya bahwa  ia merusak halaman rumah orang. Tapi ia hanya tertawa dan memberimu teka-teki. Ia bilang padamu kau akan mendapatkan apa yang paling kau inginkan jika kau bisa menebak apa yang ia tanam.

Kisahmu selanjutnya dipenuhi dengan warna-warna kebahagiaan bersama lelaki yang kau cintai. Lelaki yang lain entah kemana. Tapi kau sendiri belum pernah memilih. Ia menjadi lelaki yang kau terbiasa dengan berada di sampingnya, mendapatkan perhatian darinya. Matamu hanya melihat kebaikannya, seperti anak kecil yang terus menempel pada orang yang memberinya permen, mainan, dan mengelus rambutnya jika ia melakukan hal hebat. Aku tak membencimu yang seperti itu, Sayang. Kau bahagia olehnya dan aku menyukai siapapun yang membuatmu bahagia.

Yang tak kusukai darimu, satu-satunya, adalah kau tidak pernah lupa menyiram tanaman yang dulu pernah ditanam seseorang di halaman rumah kita, tepat di bawah jendela kamarmu. Aku pernah berusaha mencabut tanaman yang sudah hampir setinggi pinggangku itu. Di saat yang sama kau datang dan memarahiku. Sayang, kau tahu? Sekalipun kau tak mencegahku saat itu, aku tak akan pernah bisa mencabutnya dengan tenagaku seorang. Kusadari akarnya sudah terlalu dalam dan duri-duri sudah muncul di batang dan ranting-rantingnya. Kau sendiri yang telah membuatnya sulit dicabut.

Tapi itu adalah keputusan yang paling kusesali. Mengapa aku menyerah mencabutnya hanya karena kau marahi? Justru karena kau marah, seharusnya aku lebih berusaha melenyapkan tanaman itu. Ia telah mengutukmu menjadi gadis yang palsu dan setengah-setengah. Aku tahu kau diam-diam bertanya-tanya, mawar seperti apakah yang akan tumbuh jika kau terus merawatnya? Seindah apakah? Sepuas apakah engkau saat melihat mawar itu mekar dengan amat mempesona? Kau berkali-kali meyakinkan dirimu bahwa kau merawatnya hanya karena tak ingin kalah dari lelaki penanamnya. Kau pikir kau kalah jika menyerah dan membiarkan pohon itu mati. Kau ingin, jika nanti bertemu pria itu lagi, kau bisa membanggakan dirimu yang telah berhasil tahu apa yang pernah ditanamnya.

Sayang, sadarkah kau? Ketika kau memutuskan untuk menyiramnya pertama kali, ketika pada akhirnya kau melarangku mencabutnya, kau sesungguhnya telah kalah. Kekalahan yang mengerikan, Sayang. Kalah itu membawamu pada situasi sekarang ini. Seandainya dulu kau biarkan saja semak itu mati layu, seandainya kau bakar hingga jadi abu, kau tak perlu bimbang. Kau pasti akan sudah memilih, atau bahkan tak perlu memilih samasekali.

Kau lama sekali berdiri di pelataran rumah. Togamu bergetar ditiup angin. Dua lelaki itu masih berdiri canggung satu sama lain, bertanya-tanya dan menyesal seandainya masing-masing datang lebih cepat. Kau juga ingin meneriaki lelaki yang kau cintai karena tak datang lebih awal sesuai janji. Jika saja ia datang semenit lebih awal dari lelaki kedua, maka hatimu tak perlu merasa begini tertekan.

Kau mengutuk marah pada lelaki pertama. Lelaki pertama gentar oleh keberadaan lelaki kedua. Lelaki kedua dadanya seperti gunung yang hendak meletus menunggu keputusanmu. Dan aku mengutuk kalian bertiga yang membuatku tak berhak mengatakan apa-apa padahal tahu persis situasinya.
Sayang, kau tak bisa selamanya membiarkan mereka. Tidak adil namanya. Kau bisa mendengarnya? Suara degup terancam dari hati lelaki pembawa bunga yang tak akan pernah layu dan suara degupan gugup dari jantung lelaki lainnya. Barangkali ia cemas kau sudah melupakannya karena tak menghubungimu lagi setelah lulusan sekolah dulu. Barangkali ia cemas kau tak menyukai penampilannya yang berantakan karena berlari dari tampat kerja dan serampangan memetik mawar sehingga tangannya tergores duri dan sedikit berdarah. Ia cemas mungkin kau jijik atau kesal karena tak menyiapkan bunga spesial untuk memberi selamat atas kelulusanmu. Dan lebih dari semua itu, ia cemas bunga di tangannya akan segera layu oleh matahari sebelum kau sempat mencium harumnya.

Aku melihat bola matamu bergerak dari satu bunga ke bunga lain, dari satu wajah ke wajah lain di hadapanmu. Dan tanganmu bergerak perlahan. Aku bisa melihat getaran di tanganmu. Kutepuk punggungmu dan memberimu sebuah senyuman. Kukatakan melalui mataku bahwa aku akan mendukung apapun pilihanmu dan bersiap bahagia karenanya. Pilihan itu sepenuhnya hakmu. Pejamkan matamu, Sayang, dan jangan memilih karena ia adalah yang terbaik. Jangan memilihnya dengan alasan-alasan. Pilihlah ia karena kau memang memilihnya. Jangan ragu, jangan pikirkan konsekuensi atau risiko. Bahagia adalah satu-satunya risiko yang menantimu di hadapan.

Aku berbalik. Apakah saat itu aku tak tega melihat salah satu lelaki itu bahagia dan yang lain tidak? Apakah aku berbalik karena tak peduli siapa yang engkau pilih? Apakah aku berbalik justru karena sudah tahu? Aku tak memikirkan alasannya. Mungkin lebih pada aku tak ingin mencampuri hatimu.
Sayang, jika kau memilih lelaki pertama yang memberimu bunga  dari lilin dan kain, kau akan selamanya bahagia tanpa susah payah menjaganya. Cukup mencintainya dengan sempurna dan tak mengharapkan apa-apa sebagai gantinya. Kau akan bahagia selamanya.

Jika kau menjatuhkan pilihan pada lelaki kedua, kebahagiaanmu mungkin hanya sementara seperti keindahan bunga yang dibawanya. Kau tak mencintainya sekalipun ia amat mencintaimu. Kau harus bertahan merawat hatimu jika ingin bertahan lama. Kau harus menyiramnya, memberinya pupuk, memotong daun yang menguning, mematahkan ranting yang mengganggu pertumbuhan bunga. Kau akan bersusah payah merawat hatimu sendiri dan beberapa kali kau akan terluka oleh duri-durinya. Kau mungkin tidak akan betah dan bersabar, lalu memutuskan berhenti di tengah jalan sekaligus menyakitinya di saat yang sama. Tapi, Sayang, di atas semua itu jika kau bertahan kau akan belajar bertahan hidup. Kau akan belajar merawat perasaan, mengendalikan hatimu, memenangkan egomu. Jika kau berhasil, ia akan berbunga dengan sangat indah. Kau akan menghargainya sebagai yang paling berharga dalam hidupmu. Dan kau akan menemukan lelaki pilihanmu tersenyum bahagia karena akhirnya cintanya telah kau sambut. Kau akan berterima kasih padanya yang telah mengajarkanmu bersabar. Ia dulu mengajarimu merawat tanaman induk dari bunga yang kau sukai, kelak ia akan mengajarkanmu merawat perasaan dan menjaganya sampai mati.

Sayangku, pilihlah sesuai keinginanmu. Kebahagiaan yang mudah tapi palsu, atau kebahagiaan sejati tapi entah bisa kau temukan atau tidak. Aku selamanya tak keberatan akan keduanya.

Depok, 31 Agustus 2013
Pilihan apapun, Mbak, kita akan menanggung konsekuensi dan perlahan belajar menerimanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...