Minggu, 03 Januari 2016

Ailsaku

Padanya mataku selalu tertuju. Di antara lautan manusia yang berlalu-lalang keluar-masuk pandangan, tatapku selalu bisa menangkapnya. Ya, aku selalu bisa menangkap geraknya dalam frame-frame­ ingatan otakku yang kecil. Jika tak terlihat, mataku gelisah, leherku sibuk menengak-nengok ke semua arah. Aku berharap bisa melihatmu muncul dari balik dinding, dari belokan koridor, dari tangga mushola, dari semua sudut yang bisa tertangkap pandangku. Aku tenang dengan keberadaanmu. Ailsa, aku sungguh mencintaimu.

Suatu hari Ailsaku menangis di selasar belakang mushola yang sepi. Mushola hanya ramai ketika jam istirahat, ketika semua orang shalat dan berisik. Tapi selalu kulihat Ailsa menjauh dari bising yang menggelisahkan hatinya. Ia lebih suka menyepi, bersamaku di selasar itu, bercerita banyak hal. Tentang cita, tentang mimpi, tentang cintanya pada Tuhan.

Ya, hari itu Ailsa menangis. Aku tak kuasa melihat betapa sendu ia siang itu. Kenapa, Ailsa?

“Aku gagal, Ni...” kudengar ia berbisik di antar isakan tangisnya.

Aku tidak mengerti. Apa di dunia ini yang Ailsa pernah merasa gagal? Ailsaku sempurna. Dari kesempurnaan akhlak, keutuhan pemahaman, dan kekuatan iman.

Kemudian aku menebak. Apakah Ailsaku jatuh cinta? Ailsa menggeleng. Aku tahu ia butuh waktu untuk menjelaskan. Maka aku menunggu. Aku menunggu hingga ia siap. Aku mencintainya, kan? Karenanya kudekap ia hingga air matanya membasahi jilbabku. Kutepuk-tepuk seperti kakak pada adik perempuannya.

Ailsa menunjukkan masalahnya padaku. Lalu aku tahu. Ailsa tidak jatuh cinta. Tentu saja. Ailsa yang kusukai tidak akan jatuh cinta sebelum waktunya, pada sembarang orang.

“Aku gagal menjaga hijabku, Ni...”

Ini bukan kisah galau tentang cinta semu manusia. Manusia pada umumnya hanya melihat cinta sebagai nafsu yang menggebu di awal namun terkikis oleh derasnya arus waktu. Manusia mengumbar cinta mereka ke semua orang, mengumumkannya ke seluruh dunia melalui teknologi yang mereka punya. Salah satunya berhasil melangkah masuk, menyisip ilegal ke dalam kehidupan Ailsa. Ailsa, Ailsaku yang malang...

“Aku malu, Ni... Bagaimana aku bisa menghadap Tuhanku?”

Ya, tentu kau malu, Ailsa. Aku mengenalmu setelah memberanikan diri menyusup melalui celah tembok yang kau bangun untuk menghijab dirimu dari dunia. Aku mengenalmu ketika kita beberapa kali melangkah di jalan-jalan yang sama, ketika berusaha mencari jalan terdekat menuju Tuhan. Aku tahu seberapa dalam cintamu padaNya. Aku tahu seberapa besar usahamu untuk menjaga diri dan menjadikan dirimu hanya milikNya.

“Ni, apakah Dia marah, Ni...? Apakah Dia menilaiku tidak menepati janji? Aku menunjukkan keindahan yang seharusnya hanya milikNya, Ni. Aku mengkhianatiNya...”

Ailsa, Ailsaku...

Rasanya aku ingin menyimpan tiap butiran air matamu. Kau selalu menangis untuk Tuhanmu. Bahagia karenaNya dan bersedih karenaNya. Bagaimanalah mungkin Dia membencimu?

“Kuberi kesempatan laki-laki itu untuk mendekat, Ni. Aku membiarkannya mengingatku di malam-malam setelah kami berbincang di bawah siang. Aku membiarkannya memperhatikan aku sama seperti aku membiarkan Tuhan memperhatikan aku. Aku membuatnya menyebut namaku dalam bincangnya pada Tuhan...”

Apa yang bisa kukatakan? Hatiku pun remuk dan diam-diam mengutuk laki-laki yang menyatakan cintanya pada Ailsa. Ingin kucabik dan...ah, kenapa ia begitu tega menyakiti Ailsa? Haruskah sebuah cinta pada manusia dinyatakan dalam sebaris kalimat? Haruskah cinta seorang laki-laki pada seorang perempuan menjadikan hati begini gelisah? Bagaimana sebuah cinta bisa menjerumuskan pemiliknya ke dalam jurang neraka?

“Semalam aku bermimpi, Ni... Aku merasa panas dalam tidurku. Kucari bagian yang dingin di kamar. Di lantai, tembok, kunyalakan pendingin ruangan, tak bisa. Aku seperti terbakar dan perlahan-lahan melepuh, lalu utuh kembali, lalu melepuh lagi. Apakah Tuhan mengirimkan api nerakanya padaku, Ni...? Apakah jilatan apiNya sudah sampai sedekat itu pada urat nadiku??”

Kupeluk lagi Ailsa yang tangisnya mekin menjadi. Aku ikut menangis. Ailsa yang kucintai bahunya berguncang dan meremas pundakku keras. Setakut itukah kau pada Tuhanmu, Ailsa? Aku tahu, Tuhan tahu bukanlah kesalahanmu datangnya cinta itu. Bukankah sudah kau tutup rapat hijab itu? Kau hanya membukanya sedikit untukku dan aku senang karenanya.

Ailsa, Ailsa... Jangan menangis sepilu ini. Aku yakin Tuhan memahamimu sama seperti kau berusaha memahamiNya. Cintamu lebih berharga dari semua permata yang ada di dunia. Cintamu adalah hiasan terindah di surgaNya. Hentikan tangismu, Ailsa. Laki-laki itu tak pantas membuatmu seperti ini. Beri dia pelajaran sepantasnya, Ailsa. Dia yang membuatmu untuk pertama kalinya kulihat menangis bukan karena shalatmu yang tidak khusyuk, bacaan tilawahmu yang tidak mencapai target harian, shalat Duhamu yang terlewatkan, atau qiyyamul lailmu yang kurang dari delapan rakaat, atau bahkan haid yang membuatmu tidak bisa berpuasa dan bertilawah. Ya, beri dia pelajaran untuk tidak bermain-main dengan perasaanmu.

Ailsaku berhak mendapatkan yang lebih baik. Aku tahu sekali. Cara mencintai Ailsa adalah dengan membiarkannya mencintai hanya Tuhannya. Ailsa tak membutuhkan kata-kata manis dan rayu yang terlupakan seiring mengikisnya rasa cinta. Ailsa tak membutuhkan cinta dari manusia. Ia hanya membutuhkan cinta Tuhan yang akan abadi dan memberinya kehidupan. Ailsa juga tak memerlukan cintaku. Baginya cintaku hanyalah wujud dari cinta yang dikirimkan Tuhan padanya.

“Tuhan adalah pemilik semua cinta, Ni. DariNyalah cinta berasal dan sudah seharusnya semua cinta yang Ia tebar di dunia kelak kembali padaNya. Manusia hanya makhluk fana yang Ia ciptakan untuk bisa merasakan kedahsyatan cinta itu. Dia ingin kita bersyukur dan berbagi cinta itu dengan orang lain. Dengan orang tua, dengan teman, sahabat, guru, tetangga, dengan semua orang. Dengan semua, di waktu yang tepat. Karena Tuhan tidak suka ketergesaan...”

Ailsa telah mengajarkan aku banyak hal. Dia menyeretku ke dalam dunianya. Gadis itu melihat seluruh dunia dari selasar belakang mushola ini. Matanya menari-nari di atas tumpukan buku-buku ilmu. Kibaran jilbab lebarnya selalu terlihat di perbincangan-perbincangan sarat pengetahuan dan diskusi ilmu. Tangannya selalu aktif teracung di kelas-kelas, bertanya dan menyanggah banyak hal hingga membuat guru-guru berdecak antara kagum dan sebal. Dalam hati aku ingin menjadi seperti Ailsa. Ailsa yang mendasarkan segalanya pada aturan Tuhan. Ailsa yang sangat mencintai Tuhan dan Tuhan pun mencintainya.

Larilah, Ailsa. Lari saja yang kencang. Jauhi semua cinta manusia yang tidak pada tempatnya. Larilah, mendekat pada Tuhanmu. Bukankah hanya Tuhan yang bisa mencintaimu dengan benar?

Setelah hari itu aku tak melihat Ailsa muncul dimanapun. Selasar belakang mushola kosong dan suram tanpanya. Duniaku menjadi remang dan hati dipenuhi gelisah. Hei, Ailsa, dimana kau? Haruskah aku bertanya pada Tuhan? Apakah cinta dari lelaki itu telah melemahkanmu hingga kau menyembunyikan diri dari dunia?

Seminggu Ailsa tak tertangkap dalam pandanganku. Apa aku perlu mencarinya ke dalam bumi? Barangkali saking malunya pada Tuhan ia menyembunyikan diri ke dalam tanah? Tidak, Ailsaku tidak akan berpikir sesempit itu.

Dan hari berikutnya aku bertemu dengan laki-laki yang membuat Ailsaku merasakan sesak di dadanya. Dadaku bergemuruh marah. Kami bicara empat mata di salah satu koridor yang sepi. Beberapa temannya menunggu di ujung koridor, berbisik-bisik.

Laki-laki itu bilang ia juga tidak tahu dimana Ailsa. Air mataku tumpah saat ia meminta maaf. Ia bilang ia telah melakukan hal bodoh dengan menyatakan perasaannya pada Ailsaku. Aku memarahinya, beteriak-teriak di koridor. Ailsa! Ailsaku menghilang dan semua gara-gara dia! Bisa-bisanya dia tega pada Ailsa yang polos dan lugu dan tidak mengenal cinta kecuali milik Tuhannya? Kubilang aku kecewa. Kubilang saja selama ini hijabnya palsu, pandangannya menunduk tapi hatinya terbang dan hinggap dimana-mana. Kubilang padanya Ailsa pantas mendapatkan yang lebih baik. Aku tidak pernah melarang siapapun untuk mencintai Ailsa. Ailsaku memang pantas dicintai banyak orang. Tapi aku tak pernah mengizinkan laki-laki manapun untuk menyatakannya, membuat hatinya yang putih bersih ternoda oleh keraguan. Apakah setelah meminta maaf semua rasa itu hilang begitu saja? Apakah kalimat rayu itu menjadi kalimat tak bermakna setelah dibelakangnya tertulis kata maaf?

Ailsa... Ailsaku...

“Tuhan mencintaiku lebih dari cinta siapapun, Ni. Ia mencintaiku melalui ayah dan ibu, melalui adik-adik, teman-teman, dan tentu saja melalui dirimu. Begitu juga aku. Kuharap Tuhan mencintaimu melaluiku. Sungguh, Ni, aku senang kau ada disini. Aku senang bahwa kaulah orangnya yang berhasil melihat diriku di balik tembok yang kupasang untuk menghindari cinta yang belum kuperlukan. Aku senang Tuhan mempertemukan kita di selasar belakang mushola ini...”

Aku pun mencintaimu, Ailsa. Sebagai apapun bagimu. Teman, sahabat, kakak, adik, atau sekedar tempatmu membuang rasa gelisah sementara ketika kau menunggu waktu untuk dapat berdua bermesraan dengan Tuhanmu. Bukankah tiap manusia memiliki definisi sendiri tentang cinta? Aku senang menjadi orang yang kau izinkan untuk mengenalmu lebih jauh. Sungguh...

Dan Ailsa tidak kembali sampai sebulan lamanya. Saat kembali, ia membawa sebuah undangan cantik pernikahannya. Ia mengabariku dengan bahagia. Kulihat kembali matanya yang menari-nari dan wajahnya yang bercahaya. Ailsa cantik sekali.

“Aku sudah memutuskannya, Ni. Aku tidak ingin hal ini terulang. Dengan pernikahan ini, kuharap aku tidak memberi kesempatan siapa pun untuk melanggar batas yang sudah digariskan Tuhan. Aku takut sekali lagi mengkhianati Tuhanku dengan membiarkan perasaan cinta selain padaNya tumbuh berkembang di waktu dann tempat yang tidak seharusnya...”

Aku hanya diam saja mendengarnya bicara. Aku sangat rindu celoteh cerdasnya tentang prinsip yang mati-matian ia jaga. Perasaan lega menyelimutiku sama seperti tiap kali aku melihatnya muncul dari belokan-belokan koridor atau turun dari tangga mushola.

“Bukan dengan laki-laki itu, Ni. Dengan orang lain yang jauh lebih mengerti. Barangkali memang kami belum saling mengenal banyak, tapi kami bisa mulai dari awal. Tuhan akan menyatukan kami dalam rengkuhanNya... Dan semalam aku bermimpi. Aku merasakan sejuk dalam tidurku, Ni. Aku merasa nyaman dan bahagia. Aku rasa api neraka yang dikirimkan Tuhan menjauh dan digantikan angin surga yang sejuk merengkuh tubuhku. Apa kau akan bahagia untukku, Ni?”

Aku langsung memeluknya. Kami menangis bersama. Bukan tangis sedih seperti sebelumnya. Aku harus bilang apa? Orang yang kucintai ini sedang berbahagia dengan keputusan yang telah dibuatnya. Adakah perasaan lain yang mungkin tersisip ketika sebuah harapan baik berkembang dalam hati sahabatku?

Aku melepaskan pelukannya. Wajah kami merah dan selasar belakang mushola itu terasa hangat dengan kebahagiaan Ailsa. Aku mengangguk-angguk sambil menangis dan tersenyum.

Iya, Ailsa. Tentu saja aku bahagia. Dan Tuhan juga pasti sedang berbahagia juga untukmu. Bukankah Dia mencintaimu salah satunya melaluiku? Tentu saja, Ailsa. Aku akan selalu bahagia untukmu...Selalu...


Depok, 7 November 2012.
Untuk sahabatku yang begitu mencintai Allah. Semoga cintamu kelak dipertemukan dengan hati yang tepat, yang bisa memahami bahkan mencintai Allah sama besarnya dengan cintamu padaNya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...