Padanya mataku selalu tertuju. Di antara lautan manusia yang
berlalu-lalang keluar-masuk pandangan, tatapku selalu bisa menangkapnya.
Ya, aku selalu bisa menangkap geraknya dalam frame-frame ingatan
otakku yang kecil. Jika tak terlihat, mataku gelisah, leherku sibuk
menengak-nengok ke semua arah. Aku berharap bisa melihatmu muncul dari
balik dinding, dari belokan koridor, dari tangga mushola, dari semua
sudut yang bisa tertangkap pandangku. Aku tenang dengan keberadaanmu.
Ailsa, aku sungguh mencintaimu.
Suatu hari Ailsaku menangis di selasar belakang mushola yang sepi.
Mushola hanya ramai ketika jam istirahat, ketika semua orang shalat dan
berisik. Tapi selalu kulihat Ailsa menjauh dari bising yang
menggelisahkan hatinya. Ia lebih suka menyepi, bersamaku di selasar itu,
bercerita banyak hal. Tentang cita, tentang mimpi, tentang cintanya
pada Tuhan.
Ya, hari itu Ailsa menangis. Aku tak kuasa melihat betapa sendu ia siang itu. Kenapa, Ailsa?
“Aku gagal, Ni...” kudengar ia berbisik di antar isakan tangisnya.
Aku tidak mengerti. Apa di dunia ini yang Ailsa pernah merasa gagal?
Ailsaku sempurna. Dari kesempurnaan akhlak, keutuhan pemahaman, dan
kekuatan iman.
Kemudian aku menebak. Apakah Ailsaku jatuh cinta? Ailsa menggeleng.
Aku tahu ia butuh waktu untuk menjelaskan. Maka aku menunggu. Aku
menunggu hingga ia siap. Aku mencintainya, kan? Karenanya kudekap ia
hingga air matanya membasahi jilbabku. Kutepuk-tepuk seperti kakak pada
adik perempuannya.
Ailsa menunjukkan masalahnya padaku. Lalu aku tahu. Ailsa tidak jatuh
cinta. Tentu saja. Ailsa yang kusukai tidak akan jatuh cinta sebelum
waktunya, pada sembarang orang.
“Aku gagal menjaga hijabku, Ni...”
Ini bukan kisah galau tentang cinta semu manusia. Manusia pada
umumnya hanya melihat cinta sebagai nafsu yang menggebu di awal namun
terkikis oleh derasnya arus waktu. Manusia mengumbar cinta mereka ke
semua orang, mengumumkannya ke seluruh dunia melalui teknologi yang
mereka punya. Salah satunya berhasil melangkah masuk, menyisip ilegal ke
dalam kehidupan Ailsa. Ailsa, Ailsaku yang malang...
“Aku malu, Ni... Bagaimana aku bisa menghadap Tuhanku?”
Ya, tentu kau malu, Ailsa. Aku mengenalmu setelah memberanikan diri
menyusup melalui celah tembok yang kau bangun untuk menghijab dirimu
dari dunia. Aku mengenalmu ketika kita beberapa kali melangkah di
jalan-jalan yang sama, ketika berusaha mencari jalan terdekat menuju
Tuhan. Aku tahu seberapa dalam cintamu padaNya. Aku tahu seberapa besar
usahamu untuk menjaga diri dan menjadikan dirimu hanya milikNya.
“Ni, apakah Dia marah, Ni...? Apakah Dia menilaiku tidak menepati
janji? Aku menunjukkan keindahan yang seharusnya hanya milikNya, Ni. Aku
mengkhianatiNya...”
Ailsa, Ailsaku...
Rasanya aku ingin menyimpan tiap butiran air matamu. Kau selalu
menangis untuk Tuhanmu. Bahagia karenaNya dan bersedih karenaNya.
Bagaimanalah mungkin Dia membencimu?
“Kuberi kesempatan laki-laki itu untuk mendekat, Ni. Aku
membiarkannya mengingatku di malam-malam setelah kami berbincang di
bawah siang. Aku membiarkannya memperhatikan aku sama seperti aku
membiarkan Tuhan memperhatikan aku. Aku membuatnya menyebut namaku dalam
bincangnya pada Tuhan...”
Apa yang bisa kukatakan? Hatiku pun remuk dan diam-diam mengutuk
laki-laki yang menyatakan cintanya pada Ailsa. Ingin kucabik dan...ah,
kenapa ia begitu tega menyakiti Ailsa? Haruskah sebuah cinta pada
manusia dinyatakan dalam sebaris kalimat? Haruskah cinta seorang
laki-laki pada seorang perempuan menjadikan hati begini gelisah?
Bagaimana sebuah cinta bisa menjerumuskan pemiliknya ke dalam jurang
neraka?
“Semalam aku bermimpi, Ni... Aku merasa panas dalam tidurku. Kucari
bagian yang dingin di kamar. Di lantai, tembok, kunyalakan pendingin
ruangan, tak bisa. Aku seperti terbakar dan perlahan-lahan melepuh, lalu
utuh kembali, lalu melepuh lagi. Apakah Tuhan mengirimkan api nerakanya
padaku, Ni...? Apakah jilatan apiNya sudah sampai sedekat itu pada urat
nadiku??”
Kupeluk lagi Ailsa yang tangisnya mekin menjadi. Aku ikut menangis.
Ailsa yang kucintai bahunya berguncang dan meremas pundakku keras.
Setakut itukah kau pada Tuhanmu, Ailsa? Aku tahu, Tuhan tahu bukanlah
kesalahanmu datangnya cinta itu. Bukankah sudah kau tutup rapat hijab
itu? Kau hanya membukanya sedikit untukku dan aku senang karenanya.
Ailsa, Ailsa... Jangan menangis sepilu ini. Aku yakin Tuhan
memahamimu sama seperti kau berusaha memahamiNya. Cintamu lebih berharga
dari semua permata yang ada di dunia. Cintamu adalah hiasan terindah di
surgaNya. Hentikan tangismu, Ailsa. Laki-laki itu tak pantas membuatmu
seperti ini. Beri dia pelajaran sepantasnya, Ailsa. Dia yang membuatmu
untuk pertama kalinya kulihat menangis bukan karena shalatmu yang tidak
khusyuk, bacaan tilawahmu yang tidak mencapai target harian, shalat
Duhamu yang terlewatkan, atau qiyyamul lailmu yang kurang dari
delapan rakaat, atau bahkan haid yang membuatmu tidak bisa berpuasa dan
bertilawah. Ya, beri dia pelajaran untuk tidak bermain-main dengan
perasaanmu.
Ailsaku berhak mendapatkan yang lebih baik. Aku tahu sekali. Cara
mencintai Ailsa adalah dengan membiarkannya mencintai hanya Tuhannya.
Ailsa tak membutuhkan kata-kata manis dan rayu yang terlupakan seiring
mengikisnya rasa cinta. Ailsa tak membutuhkan cinta dari manusia. Ia
hanya membutuhkan cinta Tuhan yang akan abadi dan memberinya kehidupan.
Ailsa juga tak memerlukan cintaku. Baginya cintaku hanyalah wujud dari
cinta yang dikirimkan Tuhan padanya.
“Tuhan adalah pemilik semua cinta, Ni. DariNyalah cinta berasal dan
sudah seharusnya semua cinta yang Ia tebar di dunia kelak kembali
padaNya. Manusia hanya makhluk fana yang Ia ciptakan untuk bisa
merasakan kedahsyatan cinta itu. Dia ingin kita bersyukur dan berbagi
cinta itu dengan orang lain. Dengan orang tua, dengan teman, sahabat,
guru, tetangga, dengan semua orang. Dengan semua, di waktu yang tepat.
Karena Tuhan tidak suka ketergesaan...”
Ailsa telah mengajarkan aku banyak hal. Dia menyeretku ke dalam
dunianya. Gadis itu melihat seluruh dunia dari selasar belakang mushola
ini. Matanya menari-nari di atas tumpukan buku-buku ilmu. Kibaran jilbab
lebarnya selalu terlihat di perbincangan-perbincangan sarat pengetahuan
dan diskusi ilmu. Tangannya selalu aktif teracung di kelas-kelas,
bertanya dan menyanggah banyak hal hingga membuat guru-guru berdecak
antara kagum dan sebal. Dalam hati aku ingin menjadi seperti Ailsa.
Ailsa yang mendasarkan segalanya pada aturan Tuhan. Ailsa yang sangat
mencintai Tuhan dan Tuhan pun mencintainya.
Larilah, Ailsa. Lari saja yang kencang. Jauhi semua cinta manusia
yang tidak pada tempatnya. Larilah, mendekat pada Tuhanmu. Bukankah
hanya Tuhan yang bisa mencintaimu dengan benar?
Setelah hari itu aku tak melihat Ailsa muncul dimanapun. Selasar
belakang mushola kosong dan suram tanpanya. Duniaku menjadi remang dan
hati dipenuhi gelisah. Hei, Ailsa, dimana kau? Haruskah aku bertanya
pada Tuhan? Apakah cinta dari lelaki itu telah melemahkanmu hingga kau
menyembunyikan diri dari dunia?
Seminggu Ailsa tak tertangkap dalam pandanganku. Apa aku perlu
mencarinya ke dalam bumi? Barangkali saking malunya pada Tuhan ia
menyembunyikan diri ke dalam tanah? Tidak, Ailsaku tidak akan berpikir
sesempit itu.
Dan hari berikutnya aku bertemu dengan laki-laki yang membuat Ailsaku
merasakan sesak di dadanya. Dadaku bergemuruh marah. Kami bicara empat
mata di salah satu koridor yang sepi. Beberapa temannya menunggu di
ujung koridor, berbisik-bisik.
Laki-laki itu bilang ia juga tidak tahu dimana Ailsa. Air mataku
tumpah saat ia meminta maaf. Ia bilang ia telah melakukan hal bodoh
dengan menyatakan perasaannya pada Ailsaku. Aku memarahinya,
beteriak-teriak di koridor. Ailsa! Ailsaku menghilang dan semua
gara-gara dia! Bisa-bisanya dia tega pada Ailsa yang polos dan lugu dan
tidak mengenal cinta kecuali milik Tuhannya? Kubilang aku kecewa.
Kubilang saja selama ini hijabnya palsu, pandangannya menunduk tapi
hatinya terbang dan hinggap dimana-mana. Kubilang padanya Ailsa pantas
mendapatkan yang lebih baik. Aku tidak pernah melarang siapapun untuk
mencintai Ailsa. Ailsaku memang pantas dicintai banyak orang. Tapi aku
tak pernah mengizinkan laki-laki manapun untuk menyatakannya, membuat
hatinya yang putih bersih ternoda oleh keraguan. Apakah setelah meminta
maaf semua rasa itu hilang begitu saja? Apakah kalimat rayu itu menjadi
kalimat tak bermakna setelah dibelakangnya tertulis kata maaf?
Ailsa... Ailsaku...
“Tuhan mencintaiku lebih dari cinta siapapun, Ni. Ia mencintaiku
melalui ayah dan ibu, melalui adik-adik, teman-teman, dan tentu saja
melalui dirimu. Begitu juga aku. Kuharap Tuhan mencintaimu melaluiku.
Sungguh, Ni, aku senang kau ada disini. Aku senang bahwa kaulah orangnya
yang berhasil melihat diriku di balik tembok yang kupasang untuk
menghindari cinta yang belum kuperlukan. Aku senang Tuhan mempertemukan
kita di selasar belakang mushola ini...”
Aku pun mencintaimu, Ailsa. Sebagai apapun bagimu. Teman, sahabat,
kakak, adik, atau sekedar tempatmu membuang rasa gelisah sementara
ketika kau menunggu waktu untuk dapat berdua bermesraan dengan Tuhanmu.
Bukankah tiap manusia memiliki definisi sendiri tentang cinta? Aku
senang menjadi orang yang kau izinkan untuk mengenalmu lebih jauh.
Sungguh...
Dan Ailsa tidak kembali sampai sebulan lamanya. Saat kembali, ia
membawa sebuah undangan cantik pernikahannya. Ia mengabariku dengan
bahagia. Kulihat kembali matanya yang menari-nari dan wajahnya yang
bercahaya. Ailsa cantik sekali.
“Aku sudah memutuskannya, Ni. Aku tidak ingin hal ini terulang.
Dengan pernikahan ini, kuharap aku tidak memberi kesempatan siapa pun
untuk melanggar batas yang sudah digariskan Tuhan. Aku takut sekali lagi
mengkhianati Tuhanku dengan membiarkan perasaan cinta selain padaNya
tumbuh berkembang di waktu dann tempat yang tidak seharusnya...”
Aku hanya diam saja mendengarnya bicara. Aku sangat rindu celoteh
cerdasnya tentang prinsip yang mati-matian ia jaga. Perasaan lega
menyelimutiku sama seperti tiap kali aku melihatnya muncul dari
belokan-belokan koridor atau turun dari tangga mushola.
“Bukan dengan laki-laki itu, Ni. Dengan orang lain yang jauh lebih
mengerti. Barangkali memang kami belum saling mengenal banyak, tapi kami
bisa mulai dari awal. Tuhan akan menyatukan kami dalam rengkuhanNya...
Dan semalam aku bermimpi. Aku merasakan sejuk dalam tidurku, Ni. Aku
merasa nyaman dan bahagia. Aku rasa api neraka yang dikirimkan Tuhan
menjauh dan digantikan angin surga yang sejuk merengkuh tubuhku. Apa kau
akan bahagia untukku, Ni?”
Aku langsung memeluknya. Kami menangis bersama. Bukan tangis sedih
seperti sebelumnya. Aku harus bilang apa? Orang yang kucintai ini sedang
berbahagia dengan keputusan yang telah dibuatnya. Adakah perasaan lain
yang mungkin tersisip ketika sebuah harapan baik berkembang dalam hati
sahabatku?
Aku melepaskan pelukannya. Wajah kami merah dan selasar belakang
mushola itu terasa hangat dengan kebahagiaan Ailsa. Aku
mengangguk-angguk sambil menangis dan tersenyum.
Iya, Ailsa. Tentu saja aku bahagia. Dan Tuhan juga pasti sedang
berbahagia juga untukmu. Bukankah Dia mencintaimu salah satunya
melaluiku? Tentu saja, Ailsa. Aku akan selalu bahagia
untukmu...Selalu...
Depok, 7 November 2012.
Untuk sahabatku yang begitu mencintai Allah. Semoga cintamu kelak
dipertemukan dengan hati yang tepat, yang bisa memahami bahkan
mencintai Allah sama besarnya dengan cintamu padaNya...
Mostly about social, books, and personal development. No I don't talk about physics and math, but will still come if you offer me a cup of cappuccino. Thank you for visiting my page!
Minggu, 03 Januari 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea
Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...

-
Jadi, mulai dari mana ya. Kalau blog ini rumah, pasti sudah penuh sawang (sarang laba-laba). Dulu waktu membuat blog ini, sepertinya tujua...
-
(first published in https://digitalsenior.sg/working-in-a-local-ngo/ ) Working in an NGO offers many challenges and priceless lifetime...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar