Jumat, 15 Januari 2016

Jalan Raya yang Kita Buat



Di sebuah kertas kosong, kudeskripsikan untukmu, gambaran sebuah jalan raya di antara rumah kita biar bisa kau buat jadi nyata. Meski awalnya hanya sedikit yang memakai, ternyata makin lama makin banyak orang berlalu-lalang melewati rumah kita. Jalanan itu jadi tempat orang-orang mencari kekasih. Atau jadi sarana para penyendiri yang menghabiskan waktu menikmati pemandangan dan merenungi pembenaran-pembenaran bagi kesendirian mereka. Karena di kanvas itu kugambarkan juga gerumbul-gerumbul pohon dan satu-dua sungai dengan jembatan di atasnya. Di bus yang berlalu di jalan raya itu, kita bertemu.

Kita sendiri jadi lebih sering berkirim surat. Dari surat-surat tentang gambar yang kubuat dan bagaimana jalan raya akhirnya semakin ramai, kita juga bicara tentang orang-orang yang melaluinya. Aku tidak tahu jenis kertas apa yang selalu kau gunakan untuk menulis surat, atau jenis pena apa. Atau mungkin masalahnya sama sekali bukan itu. Apakah karena tulisanmu begitu bagus atau ada kata-kata yang baik di dalamnya, aku menemukan diriku mulai menunggu surat-suratmu.

Tukang pos yang datang menjelang sore jadi orang yang paling kutunggu di dunia. Rutinitas berlanjut terus dengan aku yang makan malam dengan bergegas, masuk kamar dan mengunci pintunya, lalu membaca suratmu untuk puluhan kalinya dalam beberapa jam terakhir. Kemudian kuhabiskan berjam-jam berikutnya untuk menyusun surat balasan. 

Apakah guyonan ini akan cukup lucu bagimu? Apakah aku membahas hal yang membosankan? Apakah aku harus menulis tentang pertandingan badminton di kampung sebelah juga karena kau sepertinya menyukainya? Apakah aku harus juga bercerita tentang game baru yang belakangan digemari anak-anak lelaki sepertimu? Perlukah aku memainkannya juga?  Apakah tulisanku sudah cukup bagus untuk bisa kau baca? Apakah surat ini akan cukup menarik untuk kau balas?

Maka cemas adalah segala yang terkumpul ketika hendak kumasukkan surat ke dalam kotak pos pada esok harinya, dengan alamatmu tertera jelas. Kutumpuk bersama beberapa surat dari ibu dan tetangga belakang rumah yang menitip. Dan hari itu tanpa kutahu sebabnya tukang pos menjemput surat lebih cepat tepat saat aku membuka kotak.

“Istri saya mau melahirkan jadi saya ambil pagi, Mbak,” katanya seraya tersenyum sumringah. Ia mengecek surat-suratku satu per satu untuk memastikan alamat. Tiba di surat beramplop pink yang bertuliskan namamu, tukang pos kembali bicara. “Mbak dari dulu saya penasaran. Ini kan alamatnya tinggal nyebrang. Nggak diantar atau ketemu langsung aja?”

Pertanyaan itu menuntut penjelasan yang panjang. Barangkali jawabannya bisa dimulai dari cerita pertemuan pertama kita di bus sekolah. Lalu kecanggungan dan perasaan aneh ketika kita tahu hanya sejengkal jeda dan ruang kosong di antara waktu senggang yang memisahkan kita. Akhirnya kita sebut pertemuan di bus itu adalah takdir dan kita rajut kelanjutannya dengan papasan-papasan di sepanjang tepi-tepi jalan. Juga surat-surat singkat yang memancing kita mendekat. Hingga kita menemukan definisi tentang apa yang sedang kita lakukan, aku masih berada dalam angan suatu saat nanti bisa berjalan bersisian. Hanya saja aku tidak punya keberanian untuk menawarkan definisi lain dari sebuah harapan.

Aku membuka tiap harinya dengan rencana akan menyeberang jalan dan menutupnya kembali dengan kata-kata hiburan, “Besok saja... Besok saja menyeberangnya...”

Anda benar, Pak Pos. Tidak ada hal nyata yang menghalangiku untuk mengantarkan surat itu kepada seseorang di rumah seberang, atau bahkan untuk berkomunikasi tanpa surat sama sekali. Hanya perlu memberanikan diri menyeberang di jalan raya itu dan memencet bel di gerbang cokelat yang tiap hari kulihat. Tapi jalanan yang akan kuseberangi menawarkan banyak risiko dengan kendaraan berlalu lalang cepat. Memang sengaja ada yang tidak ada di jalan yang kami buat ini. Kami tidak membuat zebra cross yang jadi tanda kami boleh saling mengunjungi. Jika Anda kemudian nanti bertanya kenapa dulu tidak sekalian dibuat, maka jawabannya tetaplah sama. 

“Batasan diciptakan agar kami tetap menjadi teman,” kataku menyimpulkan, tidak peduli apakah tukang pos mengerti. Dan rutinitasku berlanjut terus dengan satu-satunya perubahan adalah semakin banyak surat kukirim semakin aku membenci diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...