Di sebuah kertas kosong, kudeskripsikan untukmu, gambaran sebuah jalan
raya di antara rumah kita biar bisa kau buat jadi nyata. Meski awalnya hanya
sedikit yang memakai, ternyata makin lama makin banyak orang berlalu-lalang
melewati rumah kita. Jalanan itu jadi tempat orang-orang mencari kekasih. Atau
jadi sarana para penyendiri yang menghabiskan waktu menikmati pemandangan dan
merenungi pembenaran-pembenaran bagi kesendirian mereka. Karena di kanvas itu
kugambarkan juga gerumbul-gerumbul pohon dan satu-dua sungai dengan jembatan di
atasnya. Di bus yang berlalu di jalan raya itu, kita bertemu.
Kita sendiri jadi lebih sering berkirim surat. Dari
surat-surat tentang gambar yang kubuat dan bagaimana jalan raya akhirnya semakin
ramai, kita juga bicara tentang orang-orang yang melaluinya. Aku tidak tahu jenis
kertas apa yang selalu kau gunakan untuk menulis surat, atau jenis pena apa.
Atau mungkin masalahnya sama sekali bukan itu. Apakah karena tulisanmu begitu
bagus atau ada kata-kata yang baik di dalamnya, aku menemukan diriku mulai
menunggu surat-suratmu.
Tukang pos yang datang menjelang sore jadi orang yang paling
kutunggu di dunia. Rutinitas berlanjut terus dengan aku yang makan malam dengan
bergegas, masuk kamar dan mengunci pintunya, lalu membaca suratmu untuk puluhan
kalinya dalam beberapa jam terakhir. Kemudian kuhabiskan berjam-jam berikutnya
untuk menyusun surat balasan.
Apakah guyonan ini akan cukup lucu bagimu? Apakah
aku membahas hal yang membosankan? Apakah aku harus menulis tentang
pertandingan badminton di kampung sebelah juga karena kau sepertinya
menyukainya? Apakah aku harus juga bercerita tentang game baru yang belakangan digemari anak-anak lelaki sepertimu?
Perlukah aku memainkannya juga? Apakah
tulisanku sudah cukup bagus untuk bisa kau baca? Apakah surat ini akan cukup
menarik untuk kau balas?
Maka cemas adalah segala yang terkumpul ketika hendak kumasukkan
surat ke dalam kotak pos pada esok harinya, dengan alamatmu tertera jelas. Kutumpuk
bersama beberapa surat dari ibu dan tetangga belakang rumah yang menitip. Dan
hari itu tanpa kutahu sebabnya tukang pos menjemput surat lebih cepat tepat
saat aku membuka kotak.
“Istri saya mau melahirkan jadi saya ambil pagi, Mbak,”
katanya seraya tersenyum sumringah. Ia mengecek surat-suratku satu per satu
untuk memastikan alamat. Tiba di surat beramplop pink yang bertuliskan namamu,
tukang pos kembali bicara. “Mbak dari dulu saya penasaran. Ini kan alamatnya
tinggal nyebrang. Nggak diantar atau ketemu langsung aja?”
Pertanyaan itu menuntut penjelasan yang panjang. Barangkali
jawabannya bisa dimulai dari cerita pertemuan pertama kita di bus sekolah. Lalu
kecanggungan dan perasaan aneh ketika kita tahu hanya sejengkal jeda dan ruang
kosong di antara waktu senggang yang memisahkan kita. Akhirnya kita sebut
pertemuan di bus itu adalah takdir dan kita rajut kelanjutannya dengan
papasan-papasan di sepanjang tepi-tepi jalan. Juga surat-surat singkat yang
memancing kita mendekat. Hingga kita menemukan definisi tentang apa yang sedang
kita lakukan, aku masih berada dalam angan suatu saat nanti bisa berjalan
bersisian. Hanya saja aku tidak punya keberanian untuk menawarkan definisi lain
dari sebuah harapan.
Aku membuka tiap harinya dengan rencana akan menyeberang
jalan dan menutupnya kembali dengan kata-kata hiburan, “Besok saja... Besok
saja menyeberangnya...”
Anda benar, Pak Pos. Tidak ada hal nyata yang menghalangiku
untuk mengantarkan surat itu kepada seseorang di rumah seberang, atau bahkan
untuk berkomunikasi tanpa surat sama sekali. Hanya perlu memberanikan diri
menyeberang di jalan raya itu dan memencet bel di gerbang cokelat yang tiap
hari kulihat. Tapi jalanan yang akan kuseberangi menawarkan banyak risiko
dengan kendaraan berlalu lalang cepat. Memang sengaja ada yang tidak ada di
jalan yang kami buat ini. Kami tidak membuat zebra cross yang jadi tanda kami boleh
saling mengunjungi. Jika Anda kemudian nanti bertanya kenapa dulu tidak
sekalian dibuat, maka jawabannya tetaplah sama.
“Batasan diciptakan agar kami tetap menjadi teman,” kataku
menyimpulkan, tidak peduli apakah tukang pos mengerti. Dan rutinitasku
berlanjut terus dengan satu-satunya perubahan adalah semakin banyak surat
kukirim semakin aku membenci diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar