Kamis, 29 Desember 2016

Dunia yang Ramah

18 Juli 2014

Aku pernah mendengar tentang perang di luar sana. Aku juga pernah mendengar kisah-kisah di dalamnya yang mengurai air mata. Kita, nyatanya, belumlah hidup di surga. Bayangan surga adalah noktah-noktah harapan yang membuat bertahan mereka yang percaya. Aku percaya. Mereka juga percaya.

Sampai masa ketika dunia menjadi ramah untukmu dan tempat bertumbuh yang ideal bagi anak-anakmu, teruslah percaya. Percaya tak akan membuat rugi siapa-siapa. Dalam peperangan mereka yang bertemu Tuhannya adalah mereka yang tidak menyesal. Kamu, janganlah sampai menarik kata-kata dalam doa. Kamu, teruslah berdiri dan tak perlu berlari. Hidupmu adalah kemenangan, matimu adalah rahmat.

Pernahkan terbersit dalam dirimu rasa iri pada duniaku? Di negeri ini orang-orangnya pergi ke mall-mall dan taman hiburan. Kami menonton acara komedi di televisi sambil makan camilan. Aku pergi ke kampus setiap hari, membolos jika merasa malas. Kubaca kitab suci hanya ketika hati lapang dan waktu terlalu senggang. Pernahkan kamu iri kepadaku?

Halaman rumah orang lain selalu terlihat lebih indah kan? Demikian juga halaman rumahmu. Dalam mimpiku puing di halaman rumahmu adalah tetaman yang wangi dan menjanjikan ketenangan surgawi. Barangkali aku telah bosan berkeliling di duniaku yang monoton. Barangkali aku ingin dikenang menjadi salah satu yang mati berjuang, disampingmu, bersama rekan-rekanmu lainnya. Aku menjadi rangka yang berjalan mengelilingi kota.

Perang di duniamu adalah nyanyian pemanggil mereka yang rindu berjuang. Jeritan anak-anakmu adalah ketukan pintu yang keras-keras memekakkan hati mereka yang manusia. Perang di duniamu adalah jalan pintas yang berbatasan langsung dengan surga. Kamu sudah memegang tiket VIP. Aku di sini masih mengumpulkan bekal untuk bisa ditukar dengan satu tiket atas namaku. Rasa iriku padamu seperti membakar jantungku.

16 Desember 2016

Lahir dan menua di wilayah tanpa pesawat pengebom berlalu-lalang di atasnya adalah rahmat yang perlu disyukuri berulang-ulang. Aku, sahabat, barangkali termasuk salah satu orang yang sering lupa. 

Kabar-kabar tentang rumah tetanggamu berhujanan di media-media, menimbulkan sekilas rintik di wajah rekan-rekanku di sini. Kalau begitu sederas apa hujan di halaman rumahmu? Ataukah langit di atapmu sudah terlampau kering dan udara menjadi anyir? Aku hanya bisa membayangkannya saja dan berpura-pura simpati.

Aku belum sempat menjengukmu. Katamu ketika bunga-bunga bersemi kau akan mengajakku berjalan-jalan di sekitaran Kota Lama, mengunjungi gereja-gereja tua, menuntunku bersujud di dalam Al-Aqsha, dan mengagumi kemegahan Dome of The Rock. Aku belum sempat. Kesibukan seperti penjara yang kubuat sendiri. Entah kapan akan sempat.

Sahabat, apakah kau menangis juga bersama Aleppo? Aku melihat banyak tetanggamu itu mengirim pesan-pesan seolah akan menjadi terakhir kalinya. Aku bertanya-tanya, bagaimana rasanya menghitung mundur waktu kematian kita sendiri? Jika kita bisa melihat Izrail, barangkali ia tengah sibuk mendata jiwa-jiwa yang tersisa dan memilah mana di antara mereka yang masuk antrian kematian paling depan. Apakah kau juga sudah menyiapkan pesan yang sama?

Kematian sungguh menyeramkan. Tapi justru di rumahmu dan kompleks rumit tetangga-tetanggamu kematian justru penyelamat dari rasa sakit dan ketakutan. Tak ada yang tersisa untuk dipertahankan ketika kematian menjadi jalan kemerdekaan. Kecuali kau memilih menjadi pengungsi demi memberi kesempatan anak-anakmu melihat lebih banyak ciptaan Tuhan. 

Anak-anak itu, sahabat, dalam diri mereka ada bara api yang tidak pernah padam. Bukan luka, tapi bara. Luka sudah biasa ditorehkan hingga mati rasa. Justru dendam yang nantinya akan menyalakan tindakan: perjuangan pulang ke rumah. Seperti Yahudi-Yahudi yang terusir dari Eropa, kau dan anak-anakmu yang memilih mengungsi akan memendam semangat yang sama: rumahmu akan kau rebut kembali. Dan darah akan kembali tertumpah.

Apakah benar kata Marx yang bilang bahwa agama adalah candu? Tapi konflik di rumahmu bukan perkara agama. Bukan agama yang melahirkannya. Semata-mata kerakusan manusia, sedangkan agama menjadi alat yang menyatukan pikiran-pikiran yang satu tujuan tapi berbeda jalan. Kudengar juga pengirim pean-pesan kematian itu bukanlah dari golonganmu melainkan musafir-musafir lewat yang bersimpati. Siapapun itu, pesan telah sampai ke rumahku dan menimbulkan kalut dalam informasi berkabut.

Berdirilah tegap, sahabat. Lelah adalah tanda kita sudah berjuang. Sampai dunia ini jadi rumah yang ramah untuk anak-anakmu.

Setiap tetes peluh dan darah
Tak akan sirna ditelan masa
Segores luka di jalan Allah
'Kan menjadi saksi pengorbanan

(Bingkai Kehidupan-Shoutul Harokah)

Menyuap Murid-Murid

Pantai Suwuk ramai. Meski ombak besar-besar dan suaranya keras menghantam pasir pantai, orang-orang bersikukuh menyorongkan diri ke tepiannya. Kelima adik-adik binaanku berdiri berjajar menghadap laut, seperti mematung. Mereka sudah selesai bercebur di pantai sebelumnya yang kami datangi, Pantai Bopong. Sekarang tinggal sesi jajan dan mengabiskan waktu sebelum Ashar datang.
Aku melihat mereka mereka dari warung agak jauh dari tepi pantai. Pantai ini sudah banyak berubah. Deretan warung mengisi sepanjang tepian jalan setapak semen yang dulunya kosong. Ada bangunan kantor penjaga pantai di seberang jalan ke arah pantai. Sudah sepenuhnya komersial rupanya.

Tadi salah satu adik mengajak kami semua makan siang. Beli lotek, katanya. Sesampai di warung yang sekarang kududuki, salah satu adik lain terlihat gelisah dan berkata ke temannya dengan berbisik, 

“Aku tidak punya uang...”

Aku sering sekali lupa bahwa bagian dunia yang kutinggali sekarang sebagian besar berisi orang-orang yang memiliki keterbatasan ekonomi. Adik-adik ini adalah anggota dari daftar KK yang masuk dalam program bantuan ekonomi pemerintah. Keluarga mereka adalah langganan penerima Askes, KIM, Bedah Rumah PNPM, Raskin, dan program-program sejenis. Mereka juga target penerima zakat fitrah tiap tahunnya. Aku sering lupa, bahwa mereka bukan anak-anak yang mengantungi minimal lima puluh ribuan di kantung kapan pun keluar rumah. Adik-adik ini adalah anak-anak yang memiliki banyak pertimbangan untuk memilih jajan apa yang akan mereka beli menggunakan uang dua ribuan. Mereka adalah sebentuk ilustrasi masa SD-SMPku.

Bu, lotek enem nggih, kalian es teh,” kataku akhirnya pada pemilik warung. “Santai saja, yang penting nanti dihabiskan,” tambahku melihat anak tersebut hendak protes keberatan.

Kami makan dalam diam. Barangkali sebagian merasa tidak enak hati karena membuatku repot. Lainnya mungkin terlampau kelaparan atau tidak ada topik yang ingin dibicarakan. Setelah makan mereka berlima berlari menuju laut. Tas-tas mereka titipkan padaku yang memilih untuk duduk di warung dan lanjut membaca The Seven Good Years. Playlist lagu dari bangunan penjaga pantai terdengar keras terbawa angin sampai tempatku. Sampai aku selesai membaca tiga atau empat bab, lagunya berputar dari versi Melayunya lagu India You Are My Sonia ke Perdamaian-nya Gigi, lalu beberapa lagu Wali dan berujung pada campur sari Suket Teki. Playlist kembali ke You Are My Sonia ketika aku mendongakkan kepala memantau adik-adik.

Seekor kuda lewat di belakang mereka. Pawangnya menuntun kuda itu berjalan lambat agar penumpang yang duduk di pelananya bisa menikmati waktunya berkuda di tepi pantai. Anak-anak itu masih betah memandangi laut. Anak-anak itu adalah anak-anak yang tidak pergi liburan kecuali orang tua mereka mengajak atau ada acara liburan sekolah. Mereka belum cukup umur untuk punya SIM (itu pun kalau di rumah mereka ada sepeda motor) dan tidak punya banyak uang jajan. Tapi mereka sudah tahu malu untuk ikut dalam acara liburan RT bersama ibu-ibu PKK atau kelompok dasawisma.

Ide pertama yang mereka lontarkan ketika aku mengajak liburan adalah main ke curug Bonosari naik sepeda. Jika aku seusia mereka atau mereka mengajaknya sekitar sepuluh tahun yang lalu, aku pasti akan setuju. Usia SD-SMP belum punya definisi soal jarak dan usaha dan capek. Seusia mereka, aku ke pantai, ke curug, ke rumah teman, atau kemanapun mengayuh sepeda. Sekarang? Yaampun! Lebih baik diam di kamar dan mengunci pintu lalu pura-pura tidur padahal membaca komik. Usia itu adalah ketika kita semua masih bisa berbahagia tanpa menjadikan fasilitas dan uang sebagai syaratnya.

Pantai jadi putusan dadakan satu jam sebelum berangkat. Dari dua belas binaan, tiga membatalkan ikut dan lainnya memang dari awal tidak mau ikut. Hanya enam orang yang berangkat. Akhirnya kami menyewa angkutan pedesaan (angkot kecil) jurusan Gombong-Puring dengan banyak nego (aku mulai ahli dalam hal ini) dengan Pak Sopir dan subsidi dari dompetku.

Pengeluaranku hari ini luar biasa banyak dan di luar rencana. Tapi kurasa sebanding dengan pelajaran dan perasaan yang kudapatkan. Kami mulai dekat. Rasanya menyenangkan menjadi orang tukang traktir. Seperti merasa diri jadi orang dewasa baik hati dan dermawan? Semoga saja bukan sok pahlawan karena ada rasa kasihan terselip di antara senangnya memberi. Padahal, bukankah sebaik-baik Pemberi adalah Dia?

Aku bukan Tuhan, jadi kurasa adil jika aku menginginkan balasan dari apa yang kulakukan hari ini. Aku ingin anak-anak itu merasa berterima kasih atau merasa tidak enak denganku. Uang yang kukeluarkan hari ini bukan untuk membiayai transportasi, makan siang, atau jajan mereka, tetapi membeli rasa utang budi dari anak-anak itu. Biar mereka merasa bersalah jika tidak datang mengaji. Biar mereka merasa bersalah jika asyik ngobrol padahal aku sedang memberi materi. Biar mereka merasa bahwa aku adalah kakak baik hati yang menyenangkan.

Anak-anak itu masih betah memandangi laut. Apa yang mereka obrolkan ketika tidak ada orang dewasa di sekitar? Apa yang mereka pikirkan? Apa pilihan kegiatan lain yang bisa mereka sukai lebih dari berdiri bergerombol di pinggir jalan raya menunggu bus Efisiensi lewat dan berteriak, “Om telolet Om!”?

Mengajak mereka pergi liburan adalah bukti kecilnya hatiku, rendahnya percaya diriku. Aku tidak bisa membuat mereka akrab dengan majelisku, maka aku menyuap mereka dengan jalan-jalan. Tentu aku tahu bahwa efeknya tidak akan bertahan lama dan jika kemampuanku dalam menyampaikan ayat tidak segera membaik, mereka akan mundur satu per satu tanpa mengucap salam.


Gombong, 24 Desember 2016


Selasa, 29 November 2016

Melangkah ke Arena

Dunia pendidikan sebetulnya tidak asing. Sebagai objek kita sudah merasakannya sejak lahir. Sebagai subjek aku sendiri baru merasakannya baru-baru ini saja, selepas SMA dan memasuki masa kuliah. Dari posisi objek yang hanya menerima ilmu dari sana-sini, kemudian mulai tahu ilmu apa yang ingin dimiliki dan melangkahkan kaki mencarinya.

Dunia pendidikan sebetulnya memang tidak asing. Hanya jauh saja. Buktinya sampai saat ini aku tidak juga menjadi subjek: yang memberikan, yang mengajarkan ilmu. Apa karena bukan lulusan guru jadi merasa tidak punya kewajiban? Apa karena tidak suka terlalu dekat dengan anak-anak, makanya selalu cari alasan menghindar? Aku yang sengaja tidak mendekat.

Masalahnya, Allah selalu punya rencana rahasia. Kegiatan-kegiatan yang kuikuti entah bagaimana ada saja hubungannya dengan pendidikan. Bimbel Perhimak, Desa Binaan Situ Pladen, Taman Baca Etos, Yayasan Bina Insani, bahkan sekarang tempatku bekerja adalah tempat guru mengajar dan anak-anak belajar. Apa Allah sedang bercanda?

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak." (Al-Baqarah: 216)

Kuberi tahu, banyak kegiatan tidak selalu membuatmu menjadi baik. Ketidakmampuanku menolak membawa efek yang menyeramkan: tidak ada yang fokus kulakukan. Setiap harinya ada rasa bersalah karena belum melaksanakan tugas ini untuk kegiatan itu dan membaca grup chat seperti mendengar bunyi gong yang memekakkan telinga. Pikiran "aku punya waktu dan bisa melakukan sesuatu yang baik di sini" ke depannya harus bisa kukendalikan.

Namun demikian ada efek lain: aku menjadi terbiasa terlibat di dunia pendidikan. Teman-teman baru, tema film baru, dan obrolan baruku banyak meliputi pendidikan. Rasanya marah saat mendengar isu tentang full day school, rasanya kagum melihat orang tua yang berani memutuskan anaknya homeschool saja, rasanya iri melihat guru yang disayang muridnya, rasanya sedih melihat ada anak dianggap bodoh oleh lingkungannya... Padahal sebelumnya semua itu terlihat biasa dan terkesan mengada-ada. 

Allah memang tampaknya sudah menyiapkan semuanya. Giliranku tiba juga. Salah satu ustadzah di TPQ datang ke rumah dan memintaku mengisi materi lanjutan untuk anak-anak yang sudah khatam Al-Qur'an. Aku bisa apa? Aku ingat dulu Bapak mengajarkan ilmu hadist dan aqidah-akhlak kepadaku dan teman-teman seangkatan selepas khatam Al-Qur'an. Materi lanjutan itu berhenti sejak Bapak tidak ada dan tak ada yang bisa meneruskan. Beliau pergi terlalu cepat sebelum sempat mewariskan ilmu-ilmunya lebih banyak.

"Membina itu wajib bagi setiap dari kita, Dek," kata Kak Ica. "Ilmu hadist, sirah, dan fikih bisa sambil jalan dipelajari. Tapi aqidah-akhlak itu pondasi. Fikrah itu harus diwariskan."

Membina itu wajib, sebagaimana dakwah menjadi konsekuensi bagi setiap kita yang memutuskan bersyahadat. Berbeda dengan ilmu akademik, pembahasan aqidah-akhlak akan mental sempurna tanpa diimbangi dengan contoh nyata. Artinya sebelum mengajarkan, aku sudah harus lebih dulu paham dan mempraktekkan. Apakah bisa meyakinkan seorang anak untuk beriman ketika diri sendiri masih dipenuhi keraguan?

Aku perlu mengais kembali catatan-catatan lama dan mengingat-ingat kembali bagaimana dulu Ustadzah bisa membuatku tertarik selalu datang setiap minggu. Aku bukan guru, tetapi aku hendak menyampaikan sesuatu, jadi harus kupastikan yang kusampaikan itu didengar.

Hari pertama menghadapi anak-anak SMP itu tidak mudah. Mereka antara tidak mengerti atau mengerti dan bosan atas apa yang kusampaikan. Mereka sering bicara sendiri atau menimpali penjelasanku dengan guyonan. Guyonanku justru garing. Intonasiku mengintimidasi. Ketidaksukaanku dikelilingi anak-anak sulit disembunyikan. Sukar sekali memasang ekspresi menyenangkan dan agar terlihat tulus. Default wajah, terutama mataku, tidak mendukung. Setelah satu jam berakhir dan doa penutup dibaca, yang kukhawatirkan justru bukan apakah mereka mengerti. Apakah mereka minggu depan akan datang lagi?

Aku pernah sekali gagal menjadi murabbi. Aku menyerah karena anak-anak bimbinganku tidak antusias mengikuti sesi mingguan yang paling hanya setengah sampai satu jam. Kusalahkan mereka, "siapa pula yang butuh?" padahal salahkulah yang begitu bodoh dalam menyampaikan dan bersimpati. Di benakku seharusnya ketika sudah memutuskan mau mengaji, ya mengaji, jangan banyak alasan. Seperti robot saja. Ada pendekatan personal yang kuabaikan.

TPQ ini tidak besar. Muridku hanya 9 orang. sampai suatu hari mereka akan menganggap kelasku sebagai sebuah kebutuhan, sepertinya tidak buruk juga untuk sengaja menceburkan diri di dunia pendidikan. Jika sebelumnya hanya didorong-dorong untuk masuk ke arena, kali ini di usiaku yang 23, di TPQ ini, aku ingin melangkahkan kakiku sendiri ke dalamnya.



Selasa, 18 Oktober 2016

Untuk Umiku yang Bangun Kesiangan

Katanya semalam kau mimpi yang menyenangkan
Berjalan di padang hijau yang ada ayunan terikat di dahan
Lalu kau bangun mengutuki diri yang bangun kesiangan
Hari masih gelap tapi rezeki sudah menghilang
Apakah tidur lelap menjadi sebuah dosa sekarang?

Bangunlah lebih siang, anggap saja umur masih panjang
Sekali, dua kali, tiga kali
Biar saja ayam yang lebih dulu kalahkan matahari
Kau masih boleh melanjutkan mimpi tentang Bapak yang mengajakmu jalan-jalan

Aku menyukai sososkmu yang bangun kesiangan
Kau lebih terlihat seperti ibu-ibu yang biasa terlihat di arisan dan warung-warung sayuran
Tampaknya beban dalam hidup kurang sehingga punya waktu bicarakan orang-orang
Tapi dasar kepalamu lebih batu daripadaku
Kau pikir sikap juang harus kau wariskan
Esok hari kau kembali bangun terlalu pagi

Perempuan-perempuan tua dini hari berderet di belakang lapak-lapak pasar
Berbaur bersama lelaki-lelaki pemikul beras dan karung-karung cabai
Apa mereka sudah sarapan?
Apa Umi sempat sarapan sebelum lalat-lalat pasar menyerbu sayur busuk dan ikan-ikan tidak segar?
Lumpur pasar sehabis hujan sepertinya sudah ikut bercampur dalam darah di nadimu
Kulitmu sudah sama warnanya dengan kios-kios kusam pedagang bawang

Apakah bahagia harus menunggu sampai matamu jadi sepucat telur-telur di lapakmu itu?
Tampaknya menjadi kaya tidak termasuk dalam doa yang kau lontarkan ke langit
Tampaknya kesolehan anak-anakmu lebih penting dari hidup senang bergelimang uang
"Apa ada kebahagiaan yang datang bukan dari kesyukuran?" katamu menyebalkan

Aku, Mi, benci sekali bangun pagi yang membuatku merasa hari jadi lebih panjang
Tidak ada yang lebih kuinginkan dari selesainya hari dan bergantinya tahun
Berlalunya waktu artinya terlewatkannya hal-hal merepotkan seperti perasaan
Nikmati saja tidur di malam ketika alam semesta lebih banyak diam

Maafkan aku karena mematikan weker dan alarm HP Nokiamu
Kutarik selimut hingga ke bahumu dan kumatikan lampu
Bangunlah lebih siang besok dan lupakan sebentar bising-bising di pasar
Tanakkan nasi untuk si bungsu dan biarkan ia sebelum berangkat sekolah mencium tanganmu
Tengoklah diarinya. Ada ribuan rindu untukmu


Yogyakarta, 19 Oktober 2016

Senin, 10 Oktober 2016

Melihat ke Belakang

Jadi, mulai dari mana ya. Kalau blog ini rumah, pasti sudah penuh sawang (sarang laba-laba). Dulu waktu membuat blog ini, sepertinya tujuannya hanya untuk menyimpan tulisan-tulisan yang kuikutsertakan ke lomba dan artikel tugas kuliah. Tapi berhubung semakin jarang ikut lomba (bahkan sekarang mandeg sama sekali) dan sudah tidak kuliah, jadinya blog ini diisi curhatan galau. Macam ABG pula. Yasudah, toh tidak ada orang lain yang membaca selain diri sendiri. Blog ini berubah fungsi jadi ajang curhat yang sewaktu-waktu bisa diakses pemiliknya dari bus, dari warung, dari sawah, dari kamar mandi, atau dari mana saja dan bisa ditertawakan sepuasnya.

Aku punya banyak channel penyimpanan tulisan. Seperti yang kuketahui sendiri, aku senang mencoba dan merasakan saat-saat pertama kali melakukan sesuatu, tapi setelah sudah bisa atau sudah pernah jadi bosan sendiri. Makanya tulisanku pun tersebar dimana-mana; Facebook, blog, forum diskusi, portal opini, dan paling banyak tentu di lampiran email-email editor dan gudang-gudang arsip penerbit, lalu berakhir jadi sampah kertas daur ulang. Well, meski media penyampaiannya banyak dan berganti-ganti, setidaknya ada satu hal yang tetap, kan? Aku tetap menulis. Kurasa itu bagian paling penting.

Channel favoritku tentu saja buku harian, entah di buku atau file-file Ms. Word di laptop. Biasanya aku menulis di laptop jika ingin menyampaikan sesuatu yang panjang atau berada di tempat selain rumah. Sehari-hari aku lebih banyak mencorat-coret buku harian yang disimpan dengan sangat-tidak-rahasia di kamar. Aku tidak khawatir buku itu atau folder catatan harian di laptopku dibaca orang. Aku hampir tidak pernah menyebutkan nama orang, tempat, dan tanggal kejadian dalam tulisan yang sifatnya pribadi. Tulisanku pun, yah bisa dibilang, sulit dipahami. Bahasa kerennya, lumayan puitis dan sastrawi. Orang biasa yang tidak menaruh perhatian padaku akan sangat bosan membacanya. Jadi, sejauh ini metodeku masih aman.

Aku lebih banyak menulis tentang perasaan daripada deskripsi kejadian. Misalnya, bagaimana perasaanku hari itu, apa yang kupikirkan, dan apa yang pernah terlintas dalam pikiranku tapi baru sempat kutuliskan. Kadang-kadang, kalau aku membuka-buka lagi catatan lama, rasanya lucu. "Ah, dulu aku pernah benar-benar berpikir senaif ini", "Ya ampun, konyol banget kok mau-maunya aku mikirin urusan itu sampai sebegininya", atau "Bagaimana bisa berubah sejauh ini?" Dengan kata lain, catatan-catatan itu adalah rekaman perkembangan mental dan pola pikirku selama kurun waktu tertentu.

Catatan paling awal yang tersimpan di laptop adalah 14 Agustus 2013. Sedangkan untuk buku harian yang sekarang kugunakan, paling awal tanggalnya tidak tertulis. Hanya bulan dan tahun, yaitu September 2012. Buku harian yang kugunakan sebelumnya entah dimana. Mungkin sudah dimasukkan ke karung buku bekas dan dijual jadi bungkus tempe oleh Ummi. Wah, ditemukan pun aku tidak mau membacanya. Sepertinya itu buku harian tebal masa SMP-SMA. Isinya seputar keluhan tentang sistem pendidikan (karena banyaknya PR), betapa menyebalkannya adik-adikku, egoisnya teman-temanku, sedikit nuansa cerita pink abu-abu, dan kegilaanku pada Super Junior dan One Piece. Buku harian SD apalagi. Ugh, aku tidak ingin mengingatnya.

Melihat beberapa catatan tiga tahun ke belakang, ternyata ada beberapa hal yang berubah. Sekitar tahun 2012-2013, aku terkesan sangat keras kepala, naif, dan bodoh. Banyak cerita yang membayangkan bagaimana aku akan menjadi ketika lulus kuliah. Aku sangat menggebu-gebu tentang menjadi wartawan dan menolak menikah demi mengejar karir bisa menjadi kontributor di Timur Tengah. Beberapa catatan tentang pergolakan iman juga ada. Sepertinya saat itu aku mulai dekat dengan senior-senior yang aktif di gerakan mahasiswa, entah yang religius atau mengecap diri sebagai "kiri". Kenapa Tuhan menciptakan banyak agama, jika Dia hanya ingin dicintai dengan satu cara? Atau apakah agama hanya ciptaan manusia saja?

Berlanjut ke periode berikutnya sekitar akhir 2013 dan 2014, hampir semua catatanku tentang Pemira dan Perhimak. Kuamati juga di periode ini sepertinya sikapku mulai melunak, dengan lebih banyaknya tulisan yang mengusulkan solusi dan introspeksi diri daripada tulisan yang berisi kritikan. Bisa dibilang, aku mulai dewasa dan mau mempertimbangkan sudut pandang orang lain? Hahaha. Tapi soal tegas dan keras kepala sepertinya masih menjadi ciri khas. Di periode ini aku banyak belajar soal pengendalian diri, komitmen, dan bekerja dalam tim. Sisi lainnya, pandangan naif agak tersingkir dengan skeptisme dan sinisme. Behind the scene Pemira mengubah banyak hal dari pendapatku, baik tentang gerakan mahasiswa maupun personal orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kesimpulanku sampai pada sebaiknya aku tidak menetap di kampus terlalu lama.

Meski demikian, tak ada pukulan yang lebih keras dari yang kudapatkan di awal tahun 2015. Sudah sering kuceritakan lewat tulisan atau obrolan dengan teman bahwa meninggalnya Bapak seperti turn over dalam hidupku. Aku tak punya pilihan selain memikirkan kembali rencana-rencanaku, target-targetku, dan orientasi hidupku. Jadilah isi catatanku sepanjang 2015 adalah curhat-curhat yang berisi kemarahan, kecewa, bingung, pengingat untuk tetap bersyukur, dan kalau boleh kusimpulkan adalah my attempt to brainwashing myself. Aku harus meyakinkan diri terus-menerus bahwa apa yang sedang kulakukan ini adalah hal yang benar. Hal yang benar harus lebih diprioritaskan dibandingkan hal yang ingin dilakukan.

Menyempitnya pergaulanku juga terlihat dalam catatan-catatan di tahun 2016. Sebelumnya kupikir cakupan ceritaku lebih luas, dengan berbagai topik dan tanggapan sikap. Belakangan topik yang ditulis cenderung tetap, hanya suasana hati yang berganti-ganti. Frekuensi pun menjadi jarang. Bisa jadi ini karena pengaruh pekerjaan. Sehari-harinya aku menulis untuk pekerjaan dan dengan channel yang tetap, sehingga untuk menulis yang personal rasanya energi sudah tipis. Melihat laptop rasanya sudah lelah dan sebenarnya pun aku merasa macet. Jadilah blog ini hanya berisi postingan lama atau repost postingan orang lain. Request tulisan beberapa teman pun belum terpenuhi. Ini agak membuat stres karena aku sudah terlanjur berjanji.

Kalau boleh diungkapkan dengan warna, catatan-catatan tahun ini warnanya pink dengan gradasi yang berujung abu-abu. Banyak catatan galau soal perasaan suka (atau cinta? Haha!). Dari hari ke hari dalam beberapa bulan, catatan yang ada selalu tentang rumusan bagaimana menghadapi suatu perasaan tertentu. Banyak alasan logis (atau yang kuanggap logis) yang kupikirkan yang menimbulkan perdebatan dalam pikiranku sendiri. Yang jelas situasi ini adalah hal baru sehingga ada rasa kaget, bingung, dan macam-macam yang sangat bukan aku. Kalau sekarang aku melihat catatan-catatan itu lagi, jadi terlintas pikiran, "Wah, ternyata aku pun punya sisi yang seperti ini" dan bikin ketawa. Tapi aku tidak menyesal. Di beberapa tanggal sepertinya aku merasa sangat senang sehingga aku sangat mensyukuri pengalaman ini. Menyukai orang itu menyenangkan ya! Hanya saja, lagi-lagi: hal yang benar harus lebih diprioritaskan dibandingkan hal yang ingin dilakukan.

Selain dari isi, gaya menulisku juga berubah dari tahun 2012. Semakin ke sini, makin banyak analogi yang dipakai dan makin puitis. Aku merasa banyak terpengaruh oleh tulisan di Facebook Kak Ijonk yang kukoleksi sejak kuliah. Beberapa buku kumpulan puisi dan novel yang kubaca juga berpengaruh besar, seperti Sapardi, Aan Mansyur, Dea Anugrah, Pram, dan Ahmad Tohari. Juga drama Korea! Jika kulakukan tes kepribadian, sepertinya persentase melankolisku meningkat.

Kupikir untuk ke depan, aku perlu memulai lagi menulis opini yang serius. Blog ini harus jadi dokumentasi yang baik untuk pemikiran-pemikiranku. Wawasanku tidak boleh mandeg akibat rutinitas harian. Dengan aktif lagi di beberapa kegiatan sosial, aku akan banyak bertemu orang baru dan bicara topik-topik baru. Ini akan menjadi titik perubahan baru (kuharap begitu) dalam catatan-catatanku. Dalam tiga atau empat tahun berikutnya, ketika aku melihat lagi ke catatan-catatan ini, perubahan apa ya yang kiranya akan kutemukan?

Selasa, 23 Agustus 2016

Tentang Rasa Bukan Cinta

Oleh Muhammad Ibnu Faiz

Ini tentang rasa, bukan cinta
Akan kuungkap semua. Semua rasa bukan cinta,

Terlihat begitu berani aku mendoktrinkan rasa ini bukan cinta sedang aku tak tau pasti apa itu cinta
Bagai bocah bodoh yang ngeyel dan bersikukuh dengan pendapatnya sendiri

Padamu aku memiliki rasa, tanyakan saja pada setiap angin yang berhembus 
Dia tau pasti setiap kali aku menanyakan bagaimana kabarmu

Dengarkan persaksian mentari bagaimana aku merindumu di setiap pagi

Biarkan senja berkata, dia tau semua yang aku rasa

Ini bukan cinta, bukan cinta, bukan cinta!

Lelah mataku mencari, letih aku coba pahami

Rasa ini tak sama dengan cinta yang mereka presentasikan, jauh dari yang sering aku saksikan
Tapi tak apa jikalau ini bukan cinta
Kelak akan kubuktikan padamu 
Rasa ini, lebih indah dari cinta mereka!
Karena di dalamnya, ada sabar dan rasa takut kepadaNya


19 Maret 2015

Surau Tahun Ini

Katamu, dzikir adalah resah dalam mimpi
Perlahan kita tumbuh menjadi kaum skeptis
Mesti bagaimana lagi?

Kita hidup dalam bayang suara adzan yang bergema lirih dari surau-surau tak bertamu

Jadilah kau pelangi malam hari
Hingga aku tak lagi mengerang dalam mimpi
Di sudut lembap surau pinggir desa
Ini hidup, teman! Jika kau tak merasakannya

Kita kembali ke tempat semula
Sekali lagi mencoba berlagak murni
Dan dari jauh, adzan Maghrib kembali berbisik lantang
Mari kita dirikan sholat!


Dan muadzin tetap menjadi imam bagi dirinya sendiri


12 Oktober 2010

Lari

Ada banyak kiasan di dunia ini. Mereka hanya bisa dimengerti oleh orang-orang tertentu. Orang yang peduli akan memahami atau setidaknya berusaha untuk memahami. Sedangkan yang tidak peduli akan melewatinya begitu saja, tak ambil pusing dengan mereka. Kiasan-kiasan itu membawa pesan tertentu dari pembuatnya. Bukan hanya untuk sekadar dilihat, tapi dimengerti.
Orang-orang Jawa terdahulu memiliki banyak sekali kiasan yang diselipkan dalam petuah-petuah mereka. Petuah itu kemudian disampaikan turun-temurun kepada anak cucu hingga generasi-generasi mereka selanjutnya. Bersama dengan itu, kiasan terus-menerus mengalir membawa pesan-pesan yang lestari sejak zaman nenek moyang.
Generasi yang acuh berusaha menepati pesan-pesan yang disamapaikan buyut-buyut mereka. Generasi itu mempelajari dan mempercayai kiasan itu sebagai amanah yang keramat dan wajib ditaati. Generasi yang lain ada yang hanya ikut melaksanakannya sebagai tuah-tuah keramat dan ada pula yang melihatnya sebagai hal konyol atau sirkus kuno yang dipertontonkan di depan zaman yang millennium, yang modern, yang berbasis teknologi masuk akal.

***
“Minggu depan seribu hari meninggalnya bapak, kalian ikut bantu-bantu di rumah, kan?”
Begitu tanya Mbak Asih kemarin malam via telepon, yang sekarang membuatku duduk melamun di balkon kamar kos-kosan hingga larut malam. Pertanyaan yang diajukan Mbak Asih cukup retoris, tak butuh jawaban. Sudah tentu Mbak Asih dan ibu mewajibkan aku dan Ratna untuk pulang dan bantu-bantu segala macam di rumah. Kali sebelumnya aku tak pernah bimbang untuk mematuhi suruhan ibu dan para tetua di keluarga besarku di Jawa Tengah. Biasanya aku dengan sigap sudah berada di rumah tiga atau dua hari sebelum acara peringatan kepergian bapak. Seminggu, empat puluh hari, seratus hari, setahun, dua tahun, tiga tahun, aku selalu hadir dan setiap kali itu pula aku menangis sesenggukan di depan makam bapak sambil berdoa.
Akan tetapi entahlah. Aku merasakan hal yang berbeda kali ini. Sebenarnya setiap kali waktu peringatan, semakin hari semakin tidak nyaman kurasakan. Menjelang seribu hari, berarti sudah tiga tahun lebih bapak pergi mendahului kami, keluarganya. Bapak adalah sosok orang yang sempurna dijadikan contoh bagi bapak-bapak yang lain. Beliau seorang guru SD yang dicintai anak-anak yang menjadi muridnya, teladan bagi koleganya sesama guru, ketua RT yang sudah dipercaya menjabat selama sepuluh tahun, penghulu yang sudah menikahkan hampir seluruh pasangan warga di dusun kami, dan yang terpenting adalah beliau adalah ayah terbaik yang kami punyai. Bapak adalah pusat tata surya, matahari bagi keluarga. Kami setiap saat berputar-putar mengelilinginya, tertahan di tempat edaran kami oleh kharisma dan kebijakan yang dimiliki beliau. Dan ketika pusat itu menghilang, kami planet-planet kecil di sekitarnya hilang kendali, saling bertabrakan, dan menjauh satu sama lain. Momen terdekat antara planet-planet itu adalah pada acara seremonial perigatan kematian bapak. Keluarga besar kami akan berkumpul dan saling menanyakan kabar, lebih meriah dari Idul Fitri bahkan. Begitulah bapak kami tersayang, bapak kami tercinta yang dirasa penting bagi banyak orang.
Sayangnya kali ini aku terancam tidak ikut. Minggu depan adalah saatnya ujian akhir di kampus. Jelas, secara pandanganku pribadi, aku tidak bisa pulang.

***
“Aku ra isa bali, Mbak. Mbak kan ngerti minggu ngarep ujian. Masa arep ditinggal…”
Aku sudah menduga jawaban seperti ini yang keluar saat kutanyakan perihal peringatan seribu hari bapak pada Ratna. Dia baru masuk semester kedua di kampus yang sama denganku, di luar kota yang membutuhkan sepuluh jam perjalanan kereta untuk sampai stasiun terdekat dari rumah kami.
“Iya, aku ya ngerti, Na. Tapi emang Mbakyumu kae bakal ngijinna dhewek ora bali? Senajan ujian, Mbakyune mesti maksa…” kucoba untuk mengetes nyali adikku itu. “Mbak Asih bakalan marani ngeneh nggawa tali gantungan, Na.”
Kudengar Ratna mendengus di seberang telepon sana. Kos kami tidak sama karena Ratna bilang ia ingin latihan mandiri. Tapi aku tahu bukan itu alasan sebenarnya. Ratna sedang berusaha menjauh. Rancangan kabur terbesar yang pernah ia buat seumur hidupnya. Awalnya ia menolak kuliah di kampus yang sama denganku dan menempatkannya pada pilihan kedua SNMPTN karena paksaan ibu dan Mbak Asih beserta keluarga besar. Biar ada yang mengawasi, kata mereka. Aku jauh lebih dari tahu apakah Ratna butuh bimbinganku atau tidak. Dan jawabannya, tidak.
“Males Mbak. Aku nggak mau ninggalin ujianku lagi. Waktu peringatan tiga tahun kemarin itu aku nggak ikut satu ujian, masa sekarang justru nggak ikut separuh dari total mata kuliah? Yang bener aja deh. Aku nggak peduli si Asih itu. Aku juga punya hidup sendiri.”
“Na…”
“Aku capek, Mbak! Aku yakin Mbak Ani juga merasakan yang sama denganku, kan, Mbak? Kita mau ujian minggu depan. Aku capek nurutin maunya orang tua di keluarga kita. Tujuh hari atau seratus hari aku masih bisa tolerir, tapi ini seribu, Mbak! Such a nonsense!”
“Ratna! Kamu jangan keterlaluan begitu. Mereka orang tua kita, Na. Dan ini tentang bapak…”
“Terserah. Kalau Mbak Ani mau pulang, pulanglah sendiri. Ratna nggak peduli lagi. Apa Mbakyu pikir bapak banyak menasihati kita untuk ini? Apa selama ini Bapak menunjukkan keinginannya untuk diperlakukan begini? Tradisi ini kan nenek dan ibu saja yang ingin dan berkeras.
Tut tut tut. Adikku satu itu menutup teleponnya dengan kasar. Aku menghela napas. Pulang sendiri? Yang benar saja. Pulang tanpa membawa Ratna artinya sama dengan melemparkan diri ke api neraka keluarga.

***
Aku berjalan hampa menyusuri selasar menuju kelas siang hari ini. Pagi tadi, setelah dua hari berlalu, Mbak Ratna kembali menelepon, memastikan kepulangan kedua adiknya yang bengal. Kembali ditekankannya betapa penting acara peringatan tersebut.
Koe wis kelalen marang bapak, Ni? Sudah lupa kamu sama bapak? Besok seribu hari kepergian beliau. Mau jadi anak durhaka kalian? Ibu dan sesepuh menunggu di rumah.”
Makin beratlah hatiku mendengar perkataan kasar Mbakyuku itu. Sesempit itukah definisi durhaka?
Keluargaku memang Jawa tulen. Bukan Jawa peranakan atau pendatang, Bukan juga Jawa abangan. Aku keturunan priyayi, dari darah bapak. Namun bapak sendiri tak pernah memikirkan hal itu. Bapak tak peduli jika orang-orang hormat padanya karena beliau keturunan raja entah siapa yang dulu menguasai kampungku. Bapak hanya, menurut cerita-ceritanya padaku, menjalankan amanahnya sebagai hamba Allah. Untuk berusaha optimal menegakkan syari’atNya. Aku sendiri tak begitu mengerti, hanya saja aku tahu kalau Bapak sejak dulu tidak setuju dengan berbagai ritual yang dilakukan keluarga besar kami. Syirik, kata beliau dulu. Meskipun dalam diam penentangan karena tak mampu berbuat sesuatu menghadapi para sesepuh itu.
“Kalau mau mengubah, mulailah dari yang kecil. Suatu saat yang kecil pun akan jadi besar, sedangkan yang besar akan membusuk dan mati.” Bapakku adalah nomor satu di dunia.
Aku pernah bertanya mengapa ibu tidak seperti bapak, namun jawaban ibuku mebuatku terkejut. “Bapakmu kae sing mbedani, Nduk. Dia yang membuat perbedaan itu sendiri, bukan Ibu.”
Ratna adalah yang paling banyak menghabiskan waktu bersama bapak. Aku sejak SMP sudah tinggal di kos karena sekolahku cukup jauh dari rumah dan kontak dengan Bapak menjadi renggang setelahnya. Apalagi Mbak Asih yang sejak lulus SMP sudah dinikahkan dengan pemuda dusun tetangga yang sama-sama Jawanya. Jarak usiaku dengan Mbak Asih cukup jauh tidak seperti jarak umurku dengan Ratna yang hanya dua tahun. Mungkin karena kedekatannya dengan bapak adalah yang paling singkat waktunya. Dengan ikhlas Mbakyuku itu menjalankan berbagai upacara kematian, kelahiran, penamaan anak, tujuh bulanan kandungan, peringatan kematian, dan sebagainya. Gerah sekali jika melihat semua itu dan membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran bapak.
Yo wis, kalau nggak bisa pulang tiap ada peringatan, minimal pulang waktu peringatan kematian bapakmu. Durhaka kalau kamu nggak pulang, cah!” Pesan ibu waktu aku berangkat ke luar kota untuk kuliah. Pesan yang sama juga disampaikannya kepada Ratna. Bedanya adalah, aku mengangguk dan Ratna hanya diam saja. Mungkin menyimpan banyak kemarahan pada wanita di depannya.

***
Esoknya aku bertemu adikku di masjid kampus. Kebetulan ada acara di sana dengan aku sebagai salah satu panitianya. Dia datang sendiri, mungkin sengaja untuk menemuiku.
“Mbak Ani, sini sebentar.”
Aku menghentikan pekerjaanku merapikan dokumen dan mengikutinya berjalan ke pinggir danau di samping masjid.
“Mbak Ani serius mau pulang?” tanyanya setelah kami duduk nyaman di atas reruputan di pinggir danau. Air danau memantulkan sedikit dari bayangan kami.
“Bingung, Dek. Mbakyumu ini bukan tipe yang bisa melawan orang tua…”
“Tapi Mbakyu nggak setuju, kan? Lha wong syirik gitu kok, Mbak. Kata Bapak…”
“Aku tahu, Na,” kataku memotong protesnya. “Bapak lebih dulu memberitahuku sebelum memberitahumu.”
Kulihat mata Ratna mengerjap dari bayangannya yang dipantulkan air danau. “Maaf, Mbak. Bukan bermaksud menggurui Mbakyu. Ratna kesel, Mbak. Sampai kapan kita terperangkap di tradisi kolot begitu? Jika niatnya untuk sedekah nggak masalah, tapi ini syirik. Mbakyu tahu sendiri lah, gimana mbah kakung, mbah putri, ibu, Mbak Asih, dan sesepuh lain menilai peringatan ini. Semata-mata karena tuntutan tradisi dan kepercayaan mereka kalau bapak nggak akan tenang jika kematiannya tidak diperingati.”
Ratna bernapas sejenak. Tidak kusela, tidak kukomentari. Biar puas dulu dia. “Lebih jauh lagi mbak, mereka percaya peringatan seperti ini akan membawa berkah dari para leluhur. Bah! Aku pun nggak kenal siapa leluhur yang mereka maksud! Seminggu seratus hari masih lumrah, bahkan di masyarakat. Tapi seribu hari? Berapa banyak yang masih melakukannya?”
Air danau bergelombang membentu lingkaran-lingkaran halus ketika Ratna melemparkan kerikil ke dalamnya.
“Aku,” katanya lagi. Masih tidak kusahut. “ Capek, Mbak. Melakukan banyak hal yang nggak disukai, melihat hal yang nggak sesuai nurani. Aku yakin Mbak Ani juga sama. Sama-sama anak bapak.”
Aku menatapnya sejenak, lalu membuang muka. Tidak tahu lagi.

***
Akhirnya, kereta membawa kami berdua pulang ke Jawa Tengah. Dispensasi dikabulkan dengan syarat kami harus memastikan ini dispensasi terakhir saat ujian. Selanjutnya tidak boleh lagi ada dispensasi.
Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam, mengutuki keluarga kolot kami. Ketika akhirnya Ratna memulai pembicaraan, sudah waktu makan siang dan kami membeli rames dari pedgang yang berlalu lalang. Maklum, ekonomi.
“Ini terakhir kalinya aku ikut upacara, Mbak. Besok-besok aku nggak peduli lagi.”
“Sudah kamu katakan itu sejak setahun lalu kamu masuk universitas.”
“Ya. Aku nggak konsisten, memang. Kali ini beda. Aku pulang karena Mbak Ani. Mereka pasti marah sama Mbakyu jika aku tak ikut. Tapi ini terakhir kalinya aku pulang dengan alasan seperti ini. Aku sudah bertekad.”
Kurasakan kesungguhannya saat mengatakan itu. Aku seperti melihat diriku dua tahun lalu, saat mulai mengenal dunia di luar kampus. Betapa konyolnya percaya pada takhayul seperti memberikan sesajen setiap hari Jum’at atau perayaan khusus di setiap weton (hari dan tanggal kelahiran menurut kalender Jawa). Ruh nenek moyang lah, apapun itu membuatku terpenjara dalam keluarga yang kuno, angkuh pada tradisi mereka yang ditertawakan oleh banyak orang lain. Mereka bangga dengan kepercayaan mereka.
Baru kusadari, bapak bukanlah pusat tata surya keluarga, tapi pusat tata suryaku dan adikku Ratna. Bapak lemah dan menyerah dikendalikan tradisi, Dikendalikan kuasa keluarga. Bukankah melawan dengan diam adalah selemah-lemahnya iman?
Ya. Aku juga lemah, barangkali.

***
Seribu hari bukan waktu yang istimewa, kurasa. Saat itu orang-orang yang ditinggalkan mulai bisa menata kembali hidup mereka, sedikit lupa mendoakan orang-orang yang sudah pergi. Karena itu peringatan kematian itu perlu, namun bukan dengan cara yang mengandung syirik seperti ini. Bukankah begitu, Pak? Apakah Bapak tahu jika kami akan melupakan Bapak? Menjadikan Bapak sebagai kenangan masa lalu yang hanya dalam ingatan saja? Seribu hari kepergianmu tak mengubah apa-apa terhadap keluarga ini. Buktinya sekarang juga aku tengah menata berbagai mangkuk tembikar, daun-daunan, dan pedupaan di depan foto besar bapak. Untuk sesajen, kata nenek.
“Nduk,” aku menoleh dan mendapati ibu memanggilku, “…sini sebentar.”
Kuikuti langkah ibu menuju kamar di dekat ruang tamu. Ibu menarik tanganku masuk dan mendudukkanku di tempat tidur. Ibu duduk di depanku.
“Nduk,” panggilnya lagi.
Nggih, Bu.”
“Kamu kok kurus sih? Makan apa kamu di Jakarta?”
“Makan biasa, Bu. Ada apa?”
Ibu menggeleng.”Kalau begitu biar Ibu langsung saja.” Ibu memegang tanganku. “Ibu mau kamu yang memimpin doa buat bapak nanti malam…”
Aku sontak berdiri. “Ibu!”
“Sudah waktunya, Ni, kamu yang giliran mimpin doa. Sebelumnya sudah mbakyumu Asih. Ibu ingin semua pernah pengalaman memimpin doa. Kamu sudah cukup umur untuk itu. Sudah pantas.”
“Ibu tahu aku nggak suka sama semua ini, kan? Aku pun pulang terpaksa karena Ibu memaksa dan sekarang Ibu minta aku melakukan sendiri hal syirik itu?”
Lalu kurasakan panas di pipiku.
“Ibu mukul Ani?” tanyaku perih.
“Anak durhaka kamu nggak mau mendoakan bapakmu sendiri! Jadi seperti ini anak yang Ibu besarkan? Kasihan bapakmu, Nduk!”
“Ibu yang kasihan. Ibu dan Mbak Asih dan semua orang di keluarga kolot ini yang kasihan. Bapak nggak ternah mengharapkan semua ini, Bu. Ani yakin itu.”
Aku keluar dan membanting pintu, tidak mempedulikan Ratna yang melihatku keheranan. Aku masuk kamar dan terdengar pintu dibanting lagi.
“Halo? Saya Ani. Saya pesan tiket kereta untuk berangkat ke Jakarta sore ini. Bisnis, ekonomi, apapun. Ya ya. Terimakasih.”
Kupak barangku. Tidak peduli lagi.
“Mau kemana, Mbak?”
Ratna sudah ada di depan pintu kamarku. “Mbak mau kabur?”
Aku tak menjawabnya, sibuk mengepak buku dan barang-barang yang sudah terlanjur dikeluarkan dari koper semenjak tiga hari aku di rumah ini.
“Mbak tahu apa yang akan Mbak hadapi jika Mbak tetap ngotot kabur?”
“Diam, Ratna.”
“Mereka semua akan menganggap Mbakyu durhaka, nggak mengahragi mereka. Bapak juga. Mbak pasti tahu itu, kan?”
“Lalu kenapa? Bukannya kamu bilang kita anak Bapak? Bukannya kalau anak Bapak pasti menolak diperintahakan berbuat begitu? Itu syirik, Na! Neraka Jahannam tempat kembalinya orang syirik. Tahu, kamu?”
“Jadi Mbakyu ingin menorbankan aku, Mbak?”
Tak kujawab. Ratna sadar sampai kapan pun pertanyaannya tidak akan mendapatkan jawaban. Dia pergi.

***
Kereta kembali membawaku menuju tempat yang jauh dari rumah, dari kekunoan dan kekolotan kampong yang seolah terpisah dari peradaban zaman globalisasi. Masih saja kuingat makian dan amarah Mbak Asih, ibu, dan saudara-saudaraku yang lain ketika aku terlihat menenteng koper keluar rumah. Tak ada yang menahan, hanya mengutuki. Menyebutku tak tahu diri, sok modern, sok Jakarta, dan lainnya. Aku tuli, aku bisu hingga sampai ke stasiun dan handphoneku bordering. Ratna menelepon, tapi tak berkata apa-apa. Dia menunggu.
“Maafkan Mbakyumu ini, Na….”
Dan sambungan terputus.

Separuh diriku kutinggalkan bersama Ratna di belakang sana, kubiarkan diriku mengasihani diri sendiri karena tak mampu berbuat banyak untuk keluarga sendiri. Separuh lagi kubawa ke Jakarta bersama kenangan dan doa-doa tulus untuk bapak. Tanpa sesaji, tanpa ritual, tanpa biaya. Cukup kutitipkan doa untuk bapak melalui malaikat-malaikat baik hati kepada Allah Azza wa Jalla….

(File ketikan cerita ini tertanggal 31 Oktober 2012. Salah satu cerita yang tanpa sengaja dilupa)

Senin, 08 Agustus 2016

Respek

Respek itu susah dicari, Nis. Beda dengan pujian yang siapa pun orangnya bisa memberikan, terutama justru orang-orang yang tidak dikenal. Mereka yang tidak akrab, apalagi kalau orang Jawa, akan cenderung rikuh dan pekewuh jika mau menyebutkan kekurangan kita. Lain dengan yang akrab atau terlanjur dekat, memberi pujian langsung rasanya iyuh sekali. Respek lain. Ia didapatkan bukan dari mengumpulkan prestasi, tapi bagaimana memenuhi amanah dan janji.

Respek itu bukan sekali diberi. Ia tumpukan pengakuan dari orang-orang di sekitar. Ia hasil yang kamu peroleh dari menepati amanah-amanah paling kecil.

Bagiku sendiri, janji sama seperti harga diri. Pelaksanaannya adalah pertarungan melawan diri sendiri. Dan di atas semuanya, menepati janji berarti menghormati orang yang kepadanya kita berjanji. Kita tidak pernah tahu, apa yang sudah dikorbankan orang itu demi sekadar datang tepat waktu. Kita tidak tahu, kompromi apa yang sudah diusahakan seseorang untuk sekadar menemui kita. Kita tidak tahu, sepenting apa pertemuan dengan kita bagi orang itu. Sangat tidak sopan jika kita menyengajakan diri terlambat atau sengaja membatalkan. Apalagi tanpa konfirmasi.

Itu hanya soal pertemuan. Simpel saja. Belum lagi yang lebih besar, seperti ijab kabul misalnya, yang ada pengalihan tanggung jawab kehidupan seseorang. Kalau janji yang kecil-kecil saja masih suka meremehkan, bagaimana bisa dipercaya mengemban janji yang besar?

Sebagian orang berpikir kalu lebih baik ditunggu dari pada menunggu. Makanya ketika janjian bertemu, cenderung menunggu seseorang hadir di tempat janjian dulu baru mau berangkat. Bagiku, sebaliknya. Rasanya ditunggu itu tidak nyaman. Ada buru-buru, ada rasa bersalah, ada keperluan untuk minta maaf jika datang terlambat. Dan bukankah, bersedia datang lebih dulu atau tepat waktu adalah bentuk penghargaan pada janji yang sudah kita buat sendiri?

Bukan apa-apa. Ini hanya soal respek kok, tak banyak pengaruhnya. Tak bikin kita jadi kaya. Cuma bikin kita jadi manusia yang tahu bagaimana memperlakukan waktu, menghormati orang lain, dan memberi nilai lebih buat diri sendiri.


Gombong, 7 Agustus 2016

Jumat, 29 Juli 2016

Perihal Mereka yang Ditinggalkan

Sebenarnya aku sudah berhenti untuk sok memberi komentar soal sesuatu yang sedang jadi tren pembicaraan di TV. Rasanya mainstream sekali, soalnya. Pun tak pernah ada habisnya jika serius dibahas. Kalau tidak serius membahas, kan namanya omong kosong, hanya bicara saja tidak mampu mengubah apa-apa. Kupikir begitu, tapi aku tidak bisa menahan diri soal yang satu ini.

Hukuman mati, ya. Sudah dilaksanakan. Sejak dulu juga sudah ada, sudah banyak kasusnya. Sekarang diulang lagi, ya jadi dibicarakan lagi. Dulu aku dan Bapak mengikuti berita hukuman matinya Amrozi, tersangka kasus bom di Bali atau di hotel apa aku lupa. Waktu itu yang kutahu bahwa Amrozi tidak pantas dihukum mati. Sebabnya, kata Bapak, dia sedang berjihad. Aku saat itu masih sepakat. Tindakan heroik itu keren, seperti di film-film. Rela mati demi sesuatu yang diyakini juga keren. Seperti mujahid-mujahid di Afghanistan atau Palestina. Yakin sampai akhir, keren sekali. Keluarganya seharusnya bangga.

Itu sebelum aku lebih mengerti soal mati. Aku ada di sana, awal tahun lalu. Memegang tangan Bapak, membacakan Al-Qur'an di telinganya. Matanya terpejam, dadanya tak kentara naik-turunnya, dan aku tak yakin napasnya masih ada. Hanya suara bip-bip-bip dari monitor di sebelah tempat tidur yang menyambung ke selang-selang di mulutnya yang tembus hingga tenggorokan. Tak seperti di film-film: tak ada kok, ingatan yang sliwar-sliwer memenuhi otak tentang kenangan masa lalu. Atau ada, tapi mekanisme pertahanan diriku menolaknya. Berpikir bahwa hari terakhir kami saling bertemu adalah Idul Adha tahun sebelumnya, atau betapa tidak adilnya ia pergi menjelang aku diwisuda, tidak akan membantuku untuk tetap waras.

Jika boleh mengibaratkan, barangkali seperti memegang benang laba-laba untuk memanjat keluar dari sumur. Harapan bahwa Bapak akan bangun lagi begitu tipis, tapi kami keluarganya tak ingin kehilangan benang laba-laba itu. Sebenarnya dalam hati masing-masing sudah tahu, jika berani memanjat dengan berpegangan benang itu, kami hanya akan jatuh. Tetap saja kami meraihnya. Toh kami percaya, Allah bisa membuat semua jadi nyata. Walau ternyata, Ia tak memberi apa yang kami minta.

Ini soal orang-orang yang keluarganya dihukum mati. Bagi para tersangkanya, aku tak terlalu peduli. Seram juga, sepertinya, menghitung mundur detik demi detik menuju waktu mati yang seolah sudah sangat pasti. Yang sebatas baru kumengerti sekiranya adalah bagaimana sudut pandang keluarga yang menghadapi.

Bayangkan saja, pukul sekian hari ini, suamimu akan ditembak mati. Mati lho, bukan pingsan. Artinya setelah jam sekian hari ini, suamimu tidak akan membuka matanya lagi. Selamanya. Kamu tidak akan bisa bicara padanya, memeluknya, menciumnya. Yang tersisa tinggal mengingatnya saja. Selamanya, tak terbatas waktu. Artinya sekalipun kamu menunggu, ia tidak akan pulang. Sekalipun kamu memanggil, ia tidak akan mendengar. Ketika kamu tahu batas waktunya, kamu akan semakin sakit dadanya ketika melihat jarum jam tak mau berhenti. Matahari tetap bergulir dari Timur ke Barat, tak mau sejenak saja membiarkan siang lebih lama. Dipikiranmu akan melintas banyak hal: kenangan-kenangan, pertanyaan-pertanyaan, sangkalan-sangkalan, dan yang menyedihkan adalah betapa banyak hal yang ingin dilakukan bersama tapi belum kesampaian juga. Kamu menyesali banyak hal.

Di sela-sela kamu berharap waktu berhenti, atau mundur sekalian, ternyata ada bagian dirimu yang ingin agar waktu dipercepat saja. Atau kamu pingsan, tertidur, dan terbangun saat waktu yang ditentukan sudah lewat. Kamu berpikir saat itu kamu akan merasa lebih lega. Seperti lulusan SMA yang menunggu pengumuman SBMPTN: lolos atau tidak. Nyatanya, memang penantianlah yang mengerikan. Kamu berpikir, lebih cepat mengetahui hasilnya, lebih baik. Yah, seandainya saja perkara mati sama saja dengan SBMPTN.

Dalam penantian itu, yang menyakitkan, adalah masih adanya harapan bhwa semua akan kembali baik-baik saja. Aku bisa membayangkan bagaimana keluarga si penerima hukuman mati (ada namanya, tapi lupa) menyimpan doa-doa: semoga pelurunya meleset, semoga ada amnesti, atau setidaknya, waktu hukuman diundur. Dengan mengetahui sangat jelas bagaimana malam ini akan berakhir, tetap saja ada harapan-harapan yang diluncurkan ke udara. Merajut benang laba-laba. Mencoba membohongi diri sendiri, melepaskan diri dari rasa berdosa karena menyerah begitu saja.

Saat aku mendengar kata dokter bahwa ada kematian batang otak, aku tahu harapan sembuh tidak lagi ada. Bapak sudah pergi, bahkan sebelum aku sempat menggenggam tangannya. Jantungnya saja yang masih berusaha menghibur kami. Atau yang dalam kemarahanku suatu kali, kuanggap itu sebagai caraNya menggoda kami agar memohon padaNya lebih lama. Dia cuma ingin dipuji lebih banyak, Dia cuma ingin menghukumku sepeti memberi bocah kecil iming-iming permen agar mandi tapi sebenarnya tak punya niat untuk memberi.

Tapi nyatanya aku tetap meminta. Kami meminta dengan kesungguhan yang melebihi apapun selama masa hidup kami. Jika aku tidak berdoa, tidak berusaha meminta, rasanya dosa sekali. Rasanya Bapak akan datang dalam mimpiku dan mempertanyakan kesungguhanku untuk mempertahankannya tetap di sini. Aku takut jadi anak yang durhaka. Jadinya, doa-doa yang terlontar ke udara adalah doa-doa hasiil ketakutanku sendiri. Tak ada pilihan, selain percaya bahwa Dia bisa mengabulkan semua doa.

Dibandingkan Ummi dan kedua adikku, yang kurasakan bukan apa-apa. Sejak Bapak di UGD, mereka sudah menyaksikan. Mereka melihat Bapak yang meronta kesakitan, lalu berseru-seru menyebut namaNya dengan, seperti kata cerita, darah mengalir dari bagian belakang kepalanya. Lalu mereka pun menyaksikan tubuhnya dibawa ke ICU dan tidak pernah bangun lagi setelahnya. Kubayangkan, pastilah proses melihat itu semua sangat menyakitkan. Saat itu aku di kampus masih memikirkan bagaimana seremonial diriku lulus. Tak tahu diri memang aku ini. Makanya aku tak punya hak untuk mengeluh dan bersedih melebihi mereka. Aku harus jadi yang paling tidak apa-apa.

Kadang orang bilang, pastilah menyakitkan jika seseorang mati tapi kita tidak ada di dekatnya saat itu. Tiba-tiba saja mendapat kabar bahwa seseorang telah pergi, tanpa sempat kita berpamitan. Kubilang, iya, menyakitkan. Tapi tidak sebanding dengan sakitnya mereka yang terbiasa menyanding, membersamai, menyaksikan proses menuju kematian yang seolah waktu berjalan lebih lambat. Itu pun masih tidak jelas kapan orang tersebut akan benar-benar diambil. Sedangkan keluarga para terpidana mati (ini dia istilahnya), tahu benar kapan peluru akan menembus otak atau jantung orang terkasih. Bukannya waktu berjalan lambat, justru makin cepat. Mereka seperti hewan buruan yang kian dekat waktu yang hendak memangsa, makin ingin menyerah saja. Tapi kaki terus bergerak berusaha berlari, sama dengan tangan yang tertengadah belum ingin menyerah mengangsurkan doa.

Adakah dendam setelahnya? Bagaimanapun yang diingat dari yang terkasih pastilah banyak baik-baiknya. Ada semacam tindakan otomatis yang berlangsung: keinginan untuk membela dan meyakinkan diri bahwa orang yang terpidana mati itu tidak bersalah, atau kesalahannya tidak sampai harus dihukum mati. Hukum manusia itu lemah, begitu juga dalam pelaksanaannya banyak celah. Hukuman mati tak memberikan kesempatan kedua.

Sudah terlaksana. Apakah sekarang sudah lega? Selanjutnya yang dihadapi keluarga adalah perbincangan orang-orang. Orang jauh kita bisa menutup telinga, tetapi tetangga, bisikan mereka pun seperti dengung nyamuk yang mengganggu lelap tidur selain mimpi buruk. Aku serius, omongan orang-orang tentang si mati yang baik-baik akan meringankan beban pikiran mereka yang ditinggalkan. Setidaknya membantu mereka percaya bahwa orang terkasih yang sudah mati itu akan mendapatkan tempat yang baik di akhirat nanti. Tapi terpidana mati, tersangka korupsi, pengedar obat terlarang, dan terorisme, siapa yang masih mengingat hal baik yang pernah mereka lakukan?

Keluarga yang ditinggalkan sebetulnya tak membutuhkan ucapan bela sungkawa. Kata-kata bela sungkawa, saat itu di telingaku, terdengar sama kosongnya seperti ucapan selamat pagi. Formalitas saja, karena tidak tahu apa lagi yang mesti mereka katakan.

Pastilah sangat melegakan, jika saat ini, ada yang mengatakan pada mereka, keluarga para terpidana itu, "Tak apa, Mbak. Yakin saja, suamimu melakukan yang terbaik sesuai yang diyakininya perlu. Soal baik buruk, pahala dan dosa, dimana ia nanti di akhirat berada, sudah bukan urusan kita. Serahkan sepenuhnya kepadaNya. Kamu sudah jadi istri yang hebat buat dia dan ibu yang baik untuk anak-anaknya. Kamu kuat, makanya kamu sekeluarga akan segera baik-baik saja."



Yogyakarta, 28 Juli 2016

Senin, 06 Juni 2016

Mabit 05062016

Ini pertama kalinya saya menghadiri kajian pra nikah yang tidak menganjurkan para pesertanya untuk “menyegerakan”.

Tidak Wajib

Sejauh yang saya pahami dan yakini, tidak ada ayat Al-Quran yang mewajibkan seseorang untuk menikah.

"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nuur: 32)

Dari redaksinya, berarti perintahnya bukan perintah menikah, tetapi menikahkan. Menikahkan siapa? Putra-putri kita dan orang-orang sekitar yang dianggap sudah memenuhi syarat. Berarti, (1) yang punya kewajiban adalah orang tua kita untuk menikahkan anak-anaknya dan (2) ketika seseorang hendak menikahi orang lain, temuilah orang tua atau walinya, bukan orang yang akan dinikahi.

Hukum yang saya pahami soal menikah adalah sunnah muakkad, karena Rasulullah melakukannya dan menganjurkannya. Barangsiapa benci sunnahku, maka ia bukanlah umatku. Perkara menikah kemudian menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram bisa berganti-ganti sesuai dengan kaidah fiqih yang berlaku.

Menjadi aneh ketika muda-mudi Muslim sekarang ini begitu bersemangat bicara soal menikah dan terkesan terburu-buru ingin mendapatkan pasangan. Hal ini mengesankan seolah menikah adalah perkara wajib dan menimbulkan dosa jika tidak segera dilaksanakan. Padahal tidak ada ayat yang secara langsung mewajibkan seseorang untuk menikah. Meskipun tidak mengapa jika seseorang memang memiliki kondisi sedemikian rupa sehingga jatuh hukum wajib baginya untuk menikah, yang berarti hukumnya kondisional.

Ada Kewajiban yang Lebih Tinggi

Tergesa-gesa dalam euforia menikah membuat kita melupakan yang wajib, yakni jihad fii sabilillah. Kita lupa bahwa hakikatnya setiap orang mengemban amanah dakwah di pundaknya masing-masing.

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (Al-Imran: 104)

"Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu sampai kepadamu. Dan serulah mereka ke jalan Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukanNya." (Al-Qasas: 87)

Lulus kuliah bukannya memikirkan cara untuk terjun dan bergerak di masyarakat, malah kita sibuk galau memikirkan urusan cinta. Ditambah banyak teman-teman kita yang menikah muda, semakin galau kita memikirkan jawaban pertanyaan, “Kapan nyusul?” di setiap reuni atau kondangan pernikahan teman.

Kita pun sibuk menyusun kriteria suami/istri idaman: seorang ikhwan/akhwat, imannya kuat, sayang keluarga, mapan, cerdas, tampan/cantik, dan sebagainya. Lalu kita seolah sibuk berlindung di balik frasa “memperbaiki diri”. Yang laki-laki mendadak menumbuhkan jenggot, perempuan memakai hijab lebar, memanggil satu sama lain dengan sebutan akhi/ukhti. Berdebat soal fiqih dan syariat di persoalan Islam yang cabang. Tapi tak ada obrolan tentang visi dakwah dan masyarakat yang perlu diperbaiki!

Berapa orang yang sedang kita bina? Ladang dakwah mana yang sedang kita garap? Terlebih, berada di prioritas nomor berapa dakwah dalam hidup kita?

Dakwah adalah menyeru kepada kebaikan, kepada keselamatan yang kita yakini ada dalam Islam. Ada banyak cara pelaksanaannya, banyak ladang juangnya karena dakwah bermakna luas. Tapi jangan dipersempit hanya dengan sekadar berbuat baik kepada sesama manusia dan berdakwah dalam keluarga. Itu bagian dari dakwah, tapi ranah dakwah bukan hanya itu!

Amanah Dakwah di Pundak Kita

Mengapa banyak orang yang sentimen terhadap dakwah? Karena dakwah menyeru kepada ketaatan ketika kita semua terlanjur mengagungkan kebebasan. Untuk mencapai keselamatan, ada pedoman yang mesti dipatuhi: Al-Qur’an dan sunnah. Padahal selama ini kita bersyahadat hanya di mulut saja. Kita berislam karena orang tua kita Islam. Karena istri/suami kita Islam. Karena kita tidak pernah memilih. Tapi benarkah kita tak diberi kesempatan memilih?

Setiap pagi ketika mata kita terbuka, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan. Bagi mereka yang sadar, setiap pagi adalah kesempatan untuk memilih hal baru. Jika ada orang yang merasa bahwa mereka Islam karena tak punya pilihan, maka mereka adalah orang-orang yang sungguh bodoh dan rugi.

Saya pernah mengalami masa di SMP ketika menjejakkan kaki di gereja dan ingin masuk Kristen saja. Lalu di masa kuliah ketika pada satu titik saya merasa bahwa semua agama adalah konstruksi sosial dan lebih baik tidak usah punya agama. Ditambah lagi dengan kekecewaan pelihat gerakan dakwah kampus yang tidak mencapai titik ideal yang saya ekspektasikan. Lalu kenapa saya tetap Islam? Karena saya secara sadar sudah memilih! Dan sejak saya memilih atas dasar pengetahuan dan bukan ikut serta orang tua belaka, setiap harinya adalah perjuangan mempertahankan keyakinan yang sudah saya tetapkan. Tiap harinya adalah perjuangan!

Saya bukan satu-satunya yang akhirnya menetapkan pilihan. Lalu bagaimana dengan orang lain yang masih berada dalam pusaran kebingungan? Arus pluralisme dan sekulerisme demikian hebatnya hingga yang hitam dan putih sudah tak bisa dibedakan. Teman-teman kita barangkali juga banyak yang sulit membedakan. Berbekal akidah yang seadanya, muak dan lelah dengan perdebatan kelompok-kelompok Islam di tataran syariah, dan tergiur propaganda sekuler yang melemahkan akidah. Pertanyaan yang kemudian menusuk kita yang merasa sadar adalah, di mana wujud dakwah kita?

Menjadi seorang dai tak berarti harus menyeru dari corong masjid-masjid, mengisi acara pengajian di televisi, menulis artikel Islami di media, dan berbagai pemahaman atas dai lainnya. Menjadi dai berarti membuat perubahan positif yang sejalan dengan aturan Allah di lingkungan atau ladang dakwah masing-masing. Ada kebutuhan untuk menyeru, menyampaikan, dan utamanya menjadi teladan.

Mari kita ke pertanyaan selanjutnya: apa yang sudah kita sampaikan di lingkungan tempat kita sehari-hari menghabiskan waktu? Jika tidak ada, bagaimana kita bertanggung jawab atas ayatNya yang sudah sampai kepada kita?

Menikah Bagian dari Dakwah

Jalan dakwah itu sedih, sakit, dan sulit. Teman-teman yang pernah secara aktif terlibat di rohis sekolah atau kampus pasti mengerti. Maka banyak yang berguguran sebelum usia sampai pada ujungnya, sebelum organisasi sampai pada purnanya. Banyak yang menyerah dan kalah. Banyak yang kecewa karena objek dakwah tak kunjung terlihat perubahannya. Padahal bukan itu! Kita tak diperintahkan untuk mengislamkan seseorang atau membuat seorang yang jahat menjadi baik. Perintah yang sampai kepada Muhammad dan kita umatnya adalah perintah untuk menyampaikan, menyeru. Soal hidayah itu urusanNya. Dan Ia menyiapkan pahala dan hadiah yang besar bagi mereka yang istiqamah.

Karena sedih, sakit, dan sulit jalannya untuk ditempuh, maka Allah siapkan untuk kita pasangan sebagai teman hidup. Dari kita akan lahir generasi yang melanjutkan estafet dakwah yang belum selesai. Dari pasangan itu muncul motivasi yang baru, semangat yang baru untuk istiqamah pada apa yang telah kita pilih. Ketika lunglai bahu kita, tersengal napas kita, lemas kaki kita setelah seharian menunaikan kewajiban ibadah dan dakwah, telah Allah siapkan istri dan suami serta anak-anak yang menjadi tempat berbagi dan sumber kebahagiaan. Ketika hati kita goyah atas terpaan kenyataan di lapangan, membuat hati menciut dan kecewa merambat, keluarga hadir sebagai tempat pulang yang menguatkan.

Maka dari itu, menjadi salah ketika baik perempuan maupun laki-laki, setelah menikah malah berkurang aktivitas dakwahnya. Ketika sebelum menikah sang istri rajin mengisi halaqah, ta’lim, dan aktif di masyarakat, sungguh menyedihkan jika setelah menikah ia justru hanya sibuk di rumah. Demikian dengan laki-laki. Bukankah menikah adalah memenuhi separuh agama? Maka jangan sampai karena menikah, ada kewajiban agama di separuh yang lain jadi ditinggalkan.

Suami dan istri harus bisa menjaga keseimbangan rumah tangga, dalam hal yang sifatnya dakwah di masyarakat dan di keluarga. Jangan sampai suami dan istri sibuk mengurusi dakwah dalam keluarga dan melupakan bahwa ada yang perlu diperbaiki di lingkungan mereka. Sebaliknya, jangan sampai terlalu sibuk di luar rumah sehingga lupa ada keluarga yang butuh mereka dakwahi pula.

Persiapannya Tidak Main-Main

Di detik kita berpikir untuk memilih menjalankan menikah sebagai sunnah, saat itu juga harus kita pahami bahwa menikah bukan sekedar perkara suka sama suka. Ketika menikah ditujukan sebagai salah satu agenda dakwah, ada ilmu yang wajib kita kuasai sebelum memulai mempersiapkan yang lain: Tarbiyatul Aulawiyat atau Fiqih Prioritas. Kita wajib mengerti prioritas utama kita sebagai Muslim. Setelahnya, insya Allah apa-apa yang kita canangkan sebagai kriteria akan sesuai dengan akidah dan syariatNya. Ilmu akidah sudah jelas menjadi kewajiban utama.

Kita pun mesti memahami ilmu parenting. Menjadi orang tua Muslim bukan hanya membesarkan anak sebagai pribadi yang pintar dan baik. Lebih dari itu, bagaimana membentuk pribadi yang akidahnya kuat dan logikanya sehat. Pertanyaan yang diajukan kepada saya oleh Ustadzah sangat menohok.

“Coba, Mbak Nisa. Jika Mbak Nisa jadi orang tua, bagaimana caranya Mbak Nisa bisa menjamin bahwa putra-putri Mbak Nisa akan tetap Islam, bahkan jika mereka Mbak Nisa bebaskan untuk memilih agama?”

Sekilas jawabannya sungguh sederhana: bekali dengan akidah yang baik.

Tapi sungguh, saat itu saya tak bisa menjawab. Saya sudah merasakan sendiri proses pencarian hidayah ketika saat itu saya pun sudah berstatus Islam. Saya ingat bagaimana saya berpindah dari satu lingkaran kajian kelompok Islam ke lingkaran kelompok lain. Saat itu masih SMP, bahkan saya begitu penasarannya mengapa orang tua mengatakan bahwa agama lain itu tidak akan masuk surga dan memutuskan datang sendiri ke gereja sebelum akhirnya ketahuan dan diseret pulang oleh Bapak. Bertahun-tahun saya mencari jawaban-jawaban yang Bapak dan Umi tak bisa membuat saya puas dan mengangguk. Sampai Allah mempertemukan saya dengan Ustadzah Yani yang mengajarkan saya tentang akidah dan Kak Risa yang menunjukkan pada saya bagaimana implementasinya sebagai seorang perempuan Muslim.

Bagaimana jika anak-anak saya nanti menemui kebimbangan hal yang sama? Beruntung jika seperti saya yang dipertemukan dengan orang-orang yang lurus. Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika saya sebagai orang tua tak mampu menyediakan jawaban yang dicari anak-anak saya dan mereka memutuskan pilihan lain sebelum melakukan pencarian seperti yang saya lakukan? Iman tak dapat diwariskan!

Kemudian di mata saya menikah menjadi hal yang menakutkan jika tak dipersiapkan dengan matang. Ada tanggung jawab besar yang harus siap diemban. Belum lagi bicara tentang tanggung jawab di lingkungan masyarakat. Jika memikirkan hal-hal tersebut, saya tak habis pikir, teman-teman yang berani memutuskan untuk menikah pastilah memiliki kekuatan mental yang besar, dan semoga bukan karena kekurangpahaman. Untuk mereka yang berani mengambil tanggung jawab di usia muda, hormat saya pun tak ada tapi-tapinya.

Maka mari kita berdoa agar Ia jauhkan perkara-perkara yang kita belum siap menghadapinya dan agar Ia sampaikan hal-hal yang baik dengan cara yang baik pula. Semoga Allah mudahkan proses kita dalam perbaikan diri, bukan karena agar dipertemukan dengan orang yang baik, melainkan karena perbaikan diri adalah sebuah kewajiban sepanjang hidup. Dan ketika kita menikah untuk memenuhi sunnah, semoga itu menjadi jalan untuk melangkah lebih dekat pada RidhaNya. Jika Allah yang jadi pangkal dan ujungnya, maka perkara rumah tangga hanya kerikil dalam pendakian.

Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbi ‘ala diinik.



Gombong, 5 Juni 2016.

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...