Ada banyak kiasan di dunia ini. Mereka
hanya bisa dimengerti oleh orang-orang tertentu. Orang yang peduli akan
memahami atau setidaknya berusaha untuk memahami. Sedangkan yang tidak peduli
akan melewatinya begitu saja, tak ambil pusing dengan mereka. Kiasan-kiasan itu
membawa pesan tertentu dari pembuatnya. Bukan hanya untuk sekadar dilihat, tapi
dimengerti.
Orang-orang Jawa terdahulu memiliki
banyak sekali kiasan yang diselipkan dalam petuah-petuah mereka. Petuah itu
kemudian disampaikan turun-temurun kepada anak cucu hingga generasi-generasi
mereka selanjutnya. Bersama dengan itu, kiasan terus-menerus mengalir membawa
pesan-pesan yang lestari sejak zaman nenek moyang.
Generasi yang acuh berusaha menepati
pesan-pesan yang disamapaikan buyut-buyut mereka. Generasi itu mempelajari dan
mempercayai kiasan itu sebagai amanah yang keramat dan wajib ditaati. Generasi
yang lain ada yang hanya ikut melaksanakannya sebagai tuah-tuah keramat dan ada
pula yang melihatnya sebagai hal konyol atau sirkus kuno yang dipertontonkan di
depan zaman yang millennium, yang modern, yang berbasis teknologi masuk akal.
***
“Minggu depan seribu hari meninggalnya bapak,
kalian ikut bantu-bantu di rumah, kan?”
Begitu tanya Mbak Asih kemarin malam via
telepon, yang sekarang membuatku duduk melamun di balkon kamar kos-kosan hingga
larut malam. Pertanyaan yang diajukan Mbak Asih cukup retoris, tak butuh
jawaban. Sudah tentu Mbak Asih dan ibu mewajibkan aku dan Ratna untuk pulang
dan bantu-bantu segala macam di rumah. Kali sebelumnya aku tak pernah bimbang
untuk mematuhi suruhan ibu dan para tetua di keluarga besarku di Jawa Tengah.
Biasanya aku dengan sigap sudah berada di rumah tiga atau dua hari sebelum
acara peringatan kepergian bapak. Seminggu, empat puluh hari, seratus hari,
setahun, dua tahun, tiga tahun, aku selalu hadir dan setiap kali itu pula aku
menangis sesenggukan di depan makam bapak sambil berdoa.
Akan tetapi entahlah. Aku merasakan hal
yang berbeda kali ini. Sebenarnya setiap kali waktu peringatan, semakin hari
semakin tidak nyaman kurasakan. Menjelang seribu hari, berarti sudah tiga tahun
lebih bapak pergi mendahului kami, keluarganya. Bapak adalah sosok orang yang
sempurna dijadikan contoh bagi bapak-bapak yang lain. Beliau seorang guru SD
yang dicintai anak-anak yang menjadi muridnya, teladan bagi koleganya sesama
guru, ketua RT yang sudah dipercaya menjabat selama sepuluh tahun, penghulu
yang sudah menikahkan hampir seluruh pasangan warga di dusun kami, dan yang terpenting
adalah beliau adalah ayah terbaik yang kami punyai. Bapak adalah pusat tata
surya, matahari bagi keluarga. Kami setiap saat berputar-putar mengelilinginya,
tertahan di tempat edaran kami oleh kharisma dan kebijakan yang dimiliki
beliau. Dan ketika pusat itu menghilang, kami planet-planet kecil di sekitarnya
hilang kendali, saling bertabrakan, dan menjauh satu sama lain. Momen terdekat
antara planet-planet itu adalah pada acara seremonial perigatan kematian bapak.
Keluarga besar kami akan berkumpul dan saling menanyakan kabar, lebih meriah
dari Idul Fitri bahkan. Begitulah bapak kami tersayang, bapak kami tercinta
yang dirasa penting bagi banyak orang.
Sayangnya kali ini aku terancam tidak
ikut. Minggu depan adalah saatnya ujian akhir di kampus. Jelas, secara
pandanganku pribadi, aku tidak bisa pulang.
***
“Aku
ra isa bali, Mbak. Mbak kan ngerti minggu ngarep ujian. Masa arep ditinggal…”
Aku sudah menduga jawaban seperti ini
yang keluar saat kutanyakan perihal peringatan seribu hari bapak pada Ratna.
Dia baru masuk semester kedua di kampus yang sama denganku, di luar kota yang
membutuhkan sepuluh jam perjalanan kereta untuk sampai stasiun terdekat dari
rumah kami.
“Iya,
aku ya ngerti, Na. Tapi emang Mbakyumu kae bakal
ngijinna dhewek ora bali? Senajan
ujian, Mbakyune mesti maksa…” kucoba untuk mengetes nyali adikku itu. “Mbak Asih bakalan marani ngeneh nggawa tali
gantungan, Na.”
Kudengar Ratna mendengus di seberang
telepon sana. Kos kami tidak sama karena Ratna bilang ia ingin latihan mandiri.
Tapi aku tahu bukan itu alasan sebenarnya. Ratna sedang berusaha menjauh.
Rancangan kabur terbesar yang pernah ia buat seumur hidupnya. Awalnya ia
menolak kuliah di kampus yang sama denganku dan menempatkannya pada pilihan
kedua SNMPTN karena paksaan ibu dan Mbak Asih beserta keluarga besar. Biar ada
yang mengawasi, kata mereka. Aku jauh lebih dari tahu apakah Ratna butuh
bimbinganku atau tidak. Dan jawabannya, tidak.
“Males Mbak. Aku nggak mau ninggalin
ujianku lagi. Waktu peringatan tiga tahun kemarin itu aku nggak ikut satu
ujian, masa sekarang justru nggak ikut separuh dari total mata kuliah? Yang
bener aja deh. Aku nggak peduli si Asih itu. Aku juga punya hidup sendiri.”
“Na…”
“Aku capek, Mbak! Aku yakin Mbak Ani
juga merasakan yang sama denganku, kan, Mbak? Kita mau ujian minggu depan. Aku
capek nurutin maunya orang tua di keluarga kita. Tujuh hari atau seratus hari
aku masih bisa tolerir, tapi ini seribu, Mbak! Such a nonsense!”
“Ratna! Kamu jangan keterlaluan begitu.
Mereka orang tua kita, Na. Dan ini tentang bapak…”
“Terserah. Kalau Mbak Ani mau pulang,
pulanglah sendiri. Ratna nggak peduli lagi. Apa Mbakyu pikir bapak banyak
menasihati kita untuk ini? Apa selama
ini Bapak menunjukkan keinginannya untuk diperlakukan begini? Tradisi ini kan
nenek dan ibu saja yang ingin dan berkeras.”
Tut tut tut. Adikku satu itu menutup
teleponnya dengan kasar. Aku menghela napas. Pulang sendiri? Yang benar saja. Pulang
tanpa membawa Ratna artinya sama dengan melemparkan diri ke api neraka keluarga.
***
Aku berjalan hampa menyusuri selasar
menuju kelas siang hari ini. Pagi tadi, setelah dua hari berlalu, Mbak Ratna
kembali menelepon, memastikan kepulangan kedua adiknya yang bengal. Kembali
ditekankannya betapa penting acara peringatan tersebut.
“Koe
wis kelalen marang bapak, Ni? Sudah lupa kamu sama bapak? Besok seribu hari
kepergian beliau. Mau jadi anak durhaka kalian? Ibu dan sesepuh menunggu di
rumah.”
Makin beratlah hatiku mendengar
perkataan kasar Mbakyuku itu. Sesempit itukah definisi durhaka?
Keluargaku memang Jawa tulen. Bukan Jawa
peranakan atau pendatang, Bukan juga Jawa abangan. Aku keturunan priyayi, dari
darah bapak. Namun bapak sendiri tak pernah memikirkan hal itu. Bapak tak
peduli jika orang-orang hormat padanya karena beliau keturunan raja entah siapa
yang dulu menguasai kampungku. Bapak hanya, menurut cerita-ceritanya padaku,
menjalankan amanahnya sebagai hamba Allah. Untuk berusaha optimal menegakkan
syari’atNya. Aku sendiri tak begitu mengerti, hanya saja aku tahu kalau Bapak
sejak dulu tidak setuju dengan berbagai ritual yang dilakukan keluarga besar
kami. Syirik, kata beliau dulu. Meskipun dalam diam penentangan karena tak
mampu berbuat sesuatu menghadapi para sesepuh itu.
“Kalau mau mengubah, mulailah dari yang
kecil. Suatu saat yang kecil pun akan jadi besar, sedangkan yang besar akan
membusuk dan mati.” Bapakku adalah nomor satu di dunia.
Aku pernah bertanya mengapa ibu tidak
seperti bapak, namun jawaban ibuku mebuatku terkejut. “Bapakmu kae sing mbedani, Nduk. Dia yang membuat perbedaan itu sendiri,
bukan Ibu.”
Ratna adalah yang paling banyak
menghabiskan waktu bersama bapak. Aku sejak SMP sudah tinggal di kos karena
sekolahku cukup jauh dari rumah dan kontak dengan Bapak menjadi renggang
setelahnya. Apalagi Mbak Asih yang sejak lulus SMP sudah dinikahkan dengan
pemuda dusun tetangga yang sama-sama Jawanya. Jarak usiaku dengan Mbak Asih
cukup jauh tidak seperti jarak umurku dengan Ratna yang hanya dua tahun.
Mungkin karena kedekatannya dengan bapak adalah yang paling singkat waktunya.
Dengan ikhlas Mbakyuku itu menjalankan berbagai upacara kematian, kelahiran,
penamaan anak, tujuh bulanan kandungan, peringatan kematian, dan sebagainya.
Gerah sekali jika melihat semua itu dan membandingkannya dengan
pemikiran-pemikiran bapak.
“Yo
wis, kalau nggak bisa pulang tiap ada peringatan, minimal pulang waktu
peringatan kematian bapakmu. Durhaka kalau kamu nggak pulang, cah!” Pesan ibu
waktu aku berangkat ke luar kota untuk kuliah. Pesan yang sama juga
disampaikannya kepada Ratna. Bedanya adalah, aku mengangguk dan Ratna hanya
diam saja. Mungkin menyimpan banyak kemarahan pada wanita di depannya.
***
Esoknya aku bertemu adikku di masjid
kampus. Kebetulan ada acara di sana dengan aku sebagai salah satu panitianya.
Dia datang sendiri, mungkin sengaja untuk menemuiku.
“Mbak Ani, sini sebentar.”
Aku menghentikan pekerjaanku merapikan
dokumen dan mengikutinya berjalan ke pinggir danau di samping masjid.
“Mbak Ani serius mau pulang?” tanyanya
setelah kami duduk nyaman di atas reruputan di pinggir danau. Air danau
memantulkan sedikit dari bayangan kami.
“Bingung, Dek. Mbakyumu ini bukan tipe
yang bisa melawan orang tua…”
“Tapi Mbakyu nggak setuju, kan? Lha wong syirik gitu kok, Mbak. Kata
Bapak…”
“Aku tahu, Na,” kataku memotong
protesnya. “Bapak lebih dulu memberitahuku sebelum memberitahumu.”
Kulihat mata Ratna mengerjap dari
bayangannya yang dipantulkan air danau. “Maaf, Mbak. Bukan bermaksud menggurui
Mbakyu. Ratna kesel, Mbak. Sampai kapan kita terperangkap di tradisi kolot
begitu? Jika niatnya untuk sedekah nggak masalah, tapi ini syirik. Mbakyu tahu
sendiri lah, gimana mbah kakung, mbah putri, ibu, Mbak Asih, dan sesepuh lain
menilai peringatan ini. Semata-mata karena tuntutan tradisi dan kepercayaan
mereka kalau bapak nggak akan tenang jika kematiannya tidak diperingati.”
Ratna bernapas sejenak. Tidak kusela,
tidak kukomentari. Biar puas dulu dia. “Lebih jauh lagi mbak, mereka percaya
peringatan seperti ini akan membawa berkah dari para leluhur. Bah! Aku pun
nggak kenal siapa leluhur yang mereka maksud! Seminggu seratus hari masih
lumrah, bahkan di masyarakat. Tapi seribu hari? Berapa banyak yang masih
melakukannya?”
Air danau bergelombang membentu
lingkaran-lingkaran halus ketika Ratna melemparkan kerikil ke dalamnya.
“Aku,” katanya lagi. Masih tidak
kusahut. “ Capek, Mbak. Melakukan banyak hal yang nggak disukai, melihat hal
yang nggak sesuai nurani. Aku yakin Mbak Ani juga sama. Sama-sama anak bapak.”
Aku menatapnya sejenak, lalu membuang
muka. Tidak tahu lagi.
***
Akhirnya, kereta membawa kami berdua
pulang ke Jawa Tengah. Dispensasi dikabulkan dengan syarat kami harus
memastikan ini dispensasi terakhir saat ujian. Selanjutnya tidak boleh lagi ada
dispensasi.
Sepanjang perjalanan kami lebih banyak
diam, mengutuki keluarga kolot kami. Ketika akhirnya Ratna memulai pembicaraan,
sudah waktu makan siang dan kami membeli rames dari pedgang yang berlalu
lalang. Maklum, ekonomi.
“Ini terakhir kalinya aku ikut upacara,
Mbak. Besok-besok aku nggak peduli lagi.”
“Sudah kamu katakan itu sejak setahun
lalu kamu masuk universitas.”
“Ya. Aku nggak konsisten, memang. Kali
ini beda. Aku pulang karena Mbak Ani. Mereka pasti marah sama Mbakyu jika aku
tak ikut. Tapi ini terakhir kalinya aku pulang dengan alasan seperti ini. Aku
sudah bertekad.”
Kurasakan kesungguhannya saat mengatakan
itu. Aku seperti melihat diriku dua tahun lalu, saat mulai mengenal dunia di
luar kampus. Betapa konyolnya percaya pada takhayul seperti memberikan sesajen
setiap hari Jum’at atau perayaan khusus di setiap weton (hari dan tanggal kelahiran menurut kalender Jawa). Ruh nenek
moyang lah, apapun itu membuatku terpenjara dalam keluarga yang kuno, angkuh
pada tradisi mereka yang ditertawakan oleh banyak orang lain. Mereka bangga
dengan kepercayaan mereka.
Baru kusadari, bapak bukanlah pusat tata
surya keluarga, tapi pusat tata suryaku dan adikku Ratna. Bapak lemah dan
menyerah dikendalikan tradisi, Dikendalikan kuasa keluarga. Bukankah melawan
dengan diam adalah selemah-lemahnya iman?
Ya. Aku juga lemah, barangkali.
***
Seribu hari bukan waktu yang istimewa,
kurasa. Saat itu orang-orang yang ditinggalkan mulai bisa menata kembali hidup
mereka, sedikit lupa mendoakan orang-orang yang sudah pergi. Karena itu
peringatan kematian itu perlu, namun bukan dengan cara yang mengandung syirik
seperti ini. Bukankah begitu, Pak? Apakah Bapak tahu jika kami akan melupakan
Bapak? Menjadikan Bapak sebagai kenangan masa lalu yang hanya dalam ingatan
saja? Seribu hari kepergianmu tak mengubah apa-apa terhadap keluarga ini.
Buktinya sekarang juga aku tengah menata berbagai mangkuk tembikar,
daun-daunan, dan pedupaan di depan foto besar bapak. Untuk sesajen, kata nenek.
“Nduk,” aku menoleh dan mendapati ibu
memanggilku, “…sini sebentar.”
Kuikuti langkah ibu menuju kamar di
dekat ruang tamu. Ibu menarik tanganku masuk dan mendudukkanku di tempat tidur.
Ibu duduk di depanku.
“Nduk,” panggilnya lagi.
“Nggih,
Bu.”
“Kamu kok kurus sih? Makan apa kamu di
Jakarta?”
“Makan biasa, Bu. Ada apa?”
Ibu menggeleng.”Kalau begitu biar Ibu
langsung saja.” Ibu memegang tanganku. “Ibu mau kamu yang memimpin doa buat
bapak nanti malam…”
Aku sontak berdiri. “Ibu!”
“Sudah waktunya, Ni, kamu yang giliran
mimpin doa. Sebelumnya sudah mbakyumu Asih. Ibu ingin semua pernah pengalaman
memimpin doa. Kamu sudah cukup umur untuk itu. Sudah pantas.”
“Ibu tahu aku nggak suka sama semua ini,
kan? Aku pun pulang terpaksa karena Ibu memaksa dan sekarang Ibu minta aku
melakukan sendiri hal syirik itu?”
Lalu kurasakan panas di pipiku.
“Ibu mukul Ani?” tanyaku perih.
“Anak durhaka kamu nggak mau mendoakan bapakmu
sendiri! Jadi seperti ini anak yang Ibu besarkan? Kasihan bapakmu, Nduk!”
“Ibu yang kasihan. Ibu dan Mbak Asih dan
semua orang di keluarga kolot ini yang kasihan. Bapak nggak ternah mengharapkan
semua ini, Bu. Ani yakin itu.”
Aku keluar dan membanting pintu, tidak
mempedulikan Ratna yang melihatku keheranan. Aku masuk kamar dan terdengar
pintu dibanting lagi.
“Halo? Saya Ani. Saya pesan tiket kereta
untuk berangkat ke Jakarta sore ini. Bisnis, ekonomi, apapun. Ya ya.
Terimakasih.”
Kupak barangku. Tidak peduli lagi.
“Mau kemana, Mbak?”
Ratna sudah ada di depan pintu kamarku.
“Mbak mau kabur?”
Aku tak menjawabnya, sibuk mengepak buku
dan barang-barang yang sudah terlanjur dikeluarkan dari koper semenjak tiga
hari aku di rumah ini.
“Mbak tahu apa yang akan Mbak hadapi
jika Mbak tetap ngotot kabur?”
“Diam, Ratna.”
“Mereka semua akan menganggap Mbakyu
durhaka, nggak mengahragi mereka. Bapak juga. Mbak pasti tahu itu, kan?”
“Lalu kenapa? Bukannya kamu bilang kita
anak Bapak? Bukannya kalau anak Bapak pasti menolak diperintahakan berbuat
begitu? Itu syirik, Na! Neraka Jahannam tempat kembalinya orang syirik. Tahu,
kamu?”
“Jadi Mbakyu ingin menorbankan aku,
Mbak?”
Tak kujawab. Ratna sadar sampai kapan
pun pertanyaannya tidak akan mendapatkan jawaban. Dia pergi.
***
Kereta kembali membawaku menuju tempat
yang jauh dari rumah, dari kekunoan dan kekolotan kampong yang seolah terpisah
dari peradaban zaman globalisasi. Masih saja kuingat makian dan amarah Mbak
Asih, ibu, dan saudara-saudaraku yang lain ketika aku terlihat menenteng koper
keluar rumah. Tak ada yang menahan, hanya mengutuki. Menyebutku tak tahu diri,
sok modern, sok Jakarta, dan lainnya. Aku tuli, aku bisu hingga sampai ke
stasiun dan handphoneku bordering.
Ratna menelepon, tapi tak berkata apa-apa. Dia menunggu.
“Maafkan Mbakyumu ini, Na….”
Dan sambungan terputus.
Separuh diriku kutinggalkan bersama
Ratna di belakang sana, kubiarkan diriku mengasihani diri sendiri karena tak
mampu berbuat banyak untuk keluarga sendiri. Separuh lagi kubawa ke Jakarta
bersama kenangan dan doa-doa tulus untuk bapak. Tanpa sesaji, tanpa ritual,
tanpa biaya. Cukup kutitipkan doa untuk bapak melalui malaikat-malaikat baik hati kepada Allah Azza wa Jalla….
(File ketikan cerita ini tertanggal 31 Oktober 2012. Salah satu cerita yang tanpa sengaja dilupa)