Jumat, 29 Desember 2017

Kebumen Mengopi, Ngopeni Kopi Kebumen

Tren minum kopi tengah merambah Kebumen. Kafe dan kedai kopi bermunculan. Penikmat kopi
instan mulai berkenalan dengan biji kopi asli yang disangrai (roasting) dan dibuat dengan mesin
espresso. Tapi kopi lokal Kebumen sendiri belum terdengar gaungnya. Bahkan banyak yang belum
tahu bahwa kopi bisa tumbuh di Kebumen yang merupakan daerah pesisir. Padahal di sejumlah
daerah di Kabupaten Kebumen terdapat kebun kopi yang dikelola petani lokal. Bagaimana caranya
membuat tren minum kopi di Kebumen bisa mendatangkan keuntungan bagi petani kopi lokal?

Tantangan Kopi Kebumen

Dalam bincang-bincang yang diselenggarakan di Roemah Kopi Gombong di Jl. Sempor Lama (pojok
utara Roemah Martha Tilaar) hari Senin (11/9) lebih dari 50 petani dan penggiat kopi serta sejumlah
komunitas hadir. Mereka bicara tentang kondisi tanaman kopi di Kebumen yang perawatannya
masih sangat membutuhkan pendampingan.

Solihin, misalnya. Petani kopi dari Puring itu mengungkapkan banyaknya hama penggerek batang
yang menggerogoti tanaman kopinya. Sedangkan Parno, petani kopi Somagedhe, mengaku masih
mencari jenis kopi yang cocok ditanam. Ia sempat menanam Robusta sebelum akhirnya tanaman itu
mati. Demikian juga ia telah mencoba jenis Arabika yang walaupun bisa hidup namun hasilnya tidak
produktif. Hanya jenis Excelsa yang tumbuh dengan baik, tetapi jenis ini harga jualnya rendah karena
tidak dirawat.

Persoalan yang dikemukakan petani lain kurang lebih sama. Selain dua persoalan di atas, masalah
terbesar yang dihadapi petani adalah pemasaran. Banyak petani yang akhirnya membiarkan
lahannya tidak terawat karena tidak ada keuntungan yang ia dapat dari penjualan kopi. Biji kopi yang
dipanen dijual dengan harga seikhlasnya ke para tetangga.

Pendampingan Petani Kopi

Harga jual kopi Kebumen, menurut Tetuko Wahyu yang menjadi salah satu penggagas Kebumen
Mengopi, belum bisa diukur standarnya. Selama ini petani hanya menjual kopi sepayune atau
berapapun harga yang ditawar pembeli (yang kebanyakan tetangga mereka sendiri). Hal ini karena
kualitas kopi masih rendah dan tidak seragam. Ini jelas menurunkan harga. Perawatan tanaman kopi
inilah yang akan menjadi fokus utama komunitas Kebumen Mengopi dalam melakukan
pendampingan.

Puring, Somagedhe, Banjarnegara, Ambal, Karanggayam, dan Kentheng adalah beberapa daerah di
Kebumen yang terbukti bisa ditanami kopi. Ke depan perlu riset kondisi lahan untuk menentukan
jenis tanaman kopi yang bisa tumbuh dengan baik. Setelahnya kontrol intensif dari petani sendiri
sangat diperlukan. Disinilah peran komunitas Kebumen Mengopi.

Beranggotakan penikmat kopi dan sejumlah ahli di bidang biologi, pertanian, dan pengembangan
komunitas, Kebumen Mengopi mengunjungi beberapa daerah yang lahannya ditanami kopi dan
bertemu petani lokal. Bekerja sama dengan pemerintah desa setempat dan LMDH (Lembaga
Masyarakat Desa Hutan) yang dikelola Kemeterian Kehutanan, komunitas Kebumen Mengopi
berharap bisa meningkatkan kesejahteraan petani kopi lokal dan mempopulerkan kopi tradisional.

Selasa, 19 Desember 2017

Berkenalan dengan Yahudi Melalui The Seven Good Years

The Seven Good Years adalah sebuah memoar kehidupan penulis yang tinggal di Tel Aviv, Israel, bersama keluarganya. Betul, penulisnya adalah seorang Yahudi tulen yang memang lahir di Israel, yaitu Etgar Keret. Bersama ayah, istri, dan anak laki-lakinya ia tinggal di sebuah apartemen di jantung kota Tel Aviv dan bekerja sebagai dosen tamu untuk sejumlah universitas dalam negeri. Ia sering bepergian ke Eropa dan Amerika sebagai penulis yang diundang ke berbagai acara literasi dan ajang penghargaan.

source: storyofjho.wordpress.com

Dalam bukunya ia mengisahkan kehidupan sehari-hari keluarganya yang hidup di dalam suasana perang. Bom dan rudal adalah pemandangan sehari-hari dan goncangan akibat ledakan seperti terjadi setiap jam. Tapi bukunya tidak berisi cerita menyedihkan dan mengundang simpati. Alih-alih bercerita tragedi, Etgar justru jenaka. Ia menggambarkan bagaimana ia dan istrinya berusaha memberi jawaban-jawaban yang mudah dicerna kepada pertanyaan anaknya yang berusia 5 tahun tentang perang Israel-Palestina yang kompleks.

Ketika suami istri Keret dan anak mereka, Lev, sedang bepergian naik mobil, ada bunyi peringatan bahaya rudal. Terdengar di radio bahwa sebuah rudal tengah diluncurkan dan akan mendarat hanya 15 km dari jalan yang sedang mereka lalui. Prosedur ketika mendengar peringatan rudal adalah keluar dari kendaraan dan merunduk serendah mungkin sejajar dengan tanah. Agar tidak membuat Lev ketakutan, alih-alih mengatakan bahwa akan ada rudal, Etgar dan istrinya mengajak Lev bermain sebuah permainan. Keduanya keluar dari mobil dan langsung tiarap."Ayo, Nak, kita sedang bermain game. Siapa yang tiarap paling rata dengan tanah akan dapat es krim di perhentian kita berikutnya."

Etgar juga menceritakan bagaimana ia menghadapi ayahnya, seorang Yahudi Polandia korban selamat dari Holocaust dan bersama ibunya terseok-seok melarikan diri ke Israel. Ayahnya yang paranoid memandang semua orang di luar Israel bermaksud membunuhnya sehingga setiap kali Etgar akan pergi ke luar negeri, perdebatan yang sama di antara mereka selalu terjadi.

Etgar sendiri mengaku sebagai Yahudi liberal sayap kanan. Sejumlah buku dan tulisannya yang mengkritik pemerintahan sayap kiri dilarang beredar di Israel. Karena pemikirannya yang progresif ini, di dunia internasional Etgar menjadi salah satu dari sedikit Yahudi yang diizinkan memberi ceramah di beberapa universitas. Ia juga jadi penulis Yahudi pertama dalam sejarah yang diundang ke Ubud Writers and Readers Festival, sebuah ajang literasi di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tentu ia hadir setelah terlebih dulu meyakinkan ayahnya bahwa ia akan kembali dalam keadaan utuh, alih-alih hanya jempol kakinya saja.

Etgar Keret adalah penulis Yahudi pertama yang saya bukunya. Bagi saya memoar dalam buku ini membuka sedikit tirai yang menutupi cerita kehidupan rakyat Israel. Saya yang hidup di negeri mayoritas muslim sangat jarang mendengar cerita Palestina dari sudut pandang Israel, khususnya sisi humanisnya. Di balik cerita jenaka dalam buku ini, saya merasa ada kecemasan yang berusaha ditutupi, yang tergambar dalam cara suami-istri Keret memberikan jawaban kepada anak mereka. They live in fear, too.

Meski demikian, saya tetap tidak bisa membenarkan okupasi Israel di Palestina. Sama halnya dengan Etgar Keret yang berkata dalam sebuah wawanacara dengan Washington Post, "Despite of my sympathy, I can't say that I am on the Palestinian's side."

Senin, 13 November 2017

Sengaja Pulang Malam

Mi, aku pulang lebih malam nanti. Ada keperluan yang didesak dahaga rayu setan. Barangkali sesampai rumah nanti bisa kuceritakan padamu. Perihal gelandangan-gelandangan kriwil berbaju kelabu. Mereka jadi penguasa di jalanan sepi trotoar pertokoan. Malam adalah damai. Malam adalah selimut perlindungan bagi siapa yang tak punya apa-apa.
Kita, Mi, memang sebaiknya tak usah keluar malam-malam. Banyak yang kita takut direbut. Cincin kalung wajah cantik kulit lembut. Harga diri yang kalut. Cinta yang tidak bersambut. Malam jadi musuh kita yang merasa berharga.
Tapi aku mau pulang larut malam nanti, Mi. Aku ingin mencoba bersalaman dengan gelap dan sepi. Sebab siapa lagi, yang bisa mengerti? Selain yang sama-sama merasa bahwa di dalam diri sudah ada yang dicuri.
Gombong, 25 Agustus 2016

Cerpen: Mendengarkan Epik High



Mendengarkan Epik High di daftar putar. Jangan tanya arti liriknya. Menikmati musik tidak memiliki pemahaman atas lirik sebagai prasyaratnya. Biasanya aku mendengar Epik High ketika di perjalanan dan sendirian. Terutama salah satu lagu di album terbarunya yang judulnya Home is Far Away. Sambil menatap ke luar jendela jika kebetulan aku duduk tepat di sampingnya. Dengan tempo lagu yang tidak terlalu cepat, menyamakan tempo dengan suara mesin kendaraan dan pemandangan luar jendela yang seolah ikut melesat. Seharusnya daftar putar lagu di kendaraan diisi album Epik High atau musik-musik indie bertempo medium, bukan dangdut koplo yang membikin kepala pening. Sebab perjalanan haruslah dihadapi dalam damai dan tenang.

Belakangan album Epik High-lah yang terus berputar di smartphoneku. Bukannya belakangan aku sering bepergian, tapi lebih sering mengasingkan diri. Di tempat ramai, biasanya aku akan menepi. Menyenangkan melihat orang-orang berlalu lalang, sedang kita berdiri atau duduk diam menyeruput jus mangga atau kopi dingin. Seperti melihat ikan-ikan kecil di akuarium. Bolak-balik berenang mengibaskan ekor mereka dengan mulut tak henti mangap-mangap. Itulah satu-satunya hal yang bisa kunikmati dalam keramaian yang asing. Ikan-ikan warna-warni. Mereka berkerumun di tempat dimana mereka kira paling menarik. Menonton pertunjukan utama seperti berebut makanan ikan yang ditebar ke akuarium.

Sampai sekarang aku tidak tahu apa yang membuat orang-orang ini suka sekali bersosialisasi. Seringnya ketika aku sedang menikmati sendirian, ada saja orang yang berusaha duduk di depan atau di sampingku lalu mengajak ngobrol. Mungkin mereka kira aku butuh ditemani karena terlalu terlihat awkward dan kasihan jika sendiri padahal orang lain datang bersama pasangan, teman, atau keluarga mereka. Atau bisa jadi alasan lain. Misalnya mereka merasa perlu, sebagai manusia dan warga negara yang baik, wajib bersikap ramah kepada orang lain agar tidak dianggap tak acuh. Alasan paling pragmatis, mereka butuh tempat duduk dan tidak enak jika tiba-tiba mengambilnya tanpa berusaha permisi padaku. Saat begitu aku jadi merasa harus melepas earphone atau mempause lagu yang tengah berputar. Meladeni obrolan yang diniatkan singkat, menjawab pertanyaan template soal darimana asalku, dengan siapa aku kemari, dan jika sialnya aku bertemu dengan yang terlalu bersemangat, aku jadi merasa perlu untuk bertanya balik untuk sekedar menjaga kesopanan. Dan dimulailah neraka itu. Aku jadi tahu sesuatu yang tidak perlu, dari soal anak mereka sampai urusan pribadi yang lebih intim. Sedang tanganku gatal ingin meraih kabel earphone yang melambai-lambai sampai ke bawah meja.

Inilah bedanya dengan benar-benar melihat akuarium. Kau akan suka ketika ikan-ikan itu bergerak mengikuti tanganmu atau mangap-mangap di depan matamu. Mungkin saja ikan-ikan itu berusaha ngobrol denganmu, hanya saja kamu tidak pernah belajar bahasa ikan. Kau pikir itu lucu. Pasti jadi menyebalkan kalau ternyata kau tahu bahasa ikan dan yang kau dengar dari mereka adalah betapa bosannya hidup di air atau berapa jumlah anak-anak mereka atau soal betapa manusia sering telat memberi mereka makan. Dan kau harus terlihat bersimpati terhadap itu semua!
Aku ingat bagaimana pacarku selalu berkata dengan frustrasi tentang betapa aku bersikap dingin dan kaku terhadap orang-orang sekitar. Sedangkan aku menganggap dia lucu karena sangat suka mengobrol panjang-panjang dengan mereka setiap ada kesempatan. Mungkin pacarku pernah les bahasa ikan. Aku sih, tidak mau ikut sekalipun ada promo gratis.

Setelah semua basa-basi dengan akhiran jawaban singkat, tanpa pertanyaan umpan balik dariku, kembali aku bisa memakai earphone-ku lagi, meneruskan daftar putar yang tadi sempat terhenti di lagu Here Comes The Regret. Suaranya Lee Hi memang bagus, jadi kenapa YG tidak juga membiarkannya merilis album solo? Bisa jadi hidup jadi artis berat juga. Berapa ya mereka dibayar untuk featuring satu lagu? Masuk ke daftar putar berikutnya, Born Hater, aku meringis. Aku pernah baca terjemahan artinya dan sempat ingin jadi rapper setelahnya. Asik sekali, bisa bebas menghina atau curhat soal menyebalkannya orang-orang yang suka ngomong ini-itu dan komentar seenak udel. Dengan konsep dan gaya yang keren. Dibayar pula.

Sudah hampir waktunya, aku melirik jam di smartphone. Orang keren biasanya memakai jam tangan, tetapi aku tidak. Risih rasanya jika ada benda-benda menempel di bagian-bagian kulitmu. Seandainya tidak punya urat malu, aku bisa saja mendengarkan Eyes, Nose, Lip-nya Tablo sambil telanjang. Aku bangkit dan berjalan menembus kerumunan dengan diiringi intro Paranoia. Meski suara band di panggung sangat keras ditambah teriakan antusias orang-orang, suara Tablo dan Mithra Jin tetap mendominasi otakku. No way, in this street ain’t nobody waiting for you...Aku hanya ingat beberapa lirik terjemahannya.

Sampai di balik panggung aku melihatnya melambaikan tangan. Bersamanya ada sejumlah orang yang ia kenalkan padaku sebagai teman-teman. Ia mencubit pinggangku agar aku melepas earphone dan menyapa dengan ramah, sesuai pembicaraan kami kemarin sebagai syarat ia mau memakai cincin pemberianku. Teman-temannya tampak lucu. Semua tertawa nyaring. Bibir mereka tak henti bergerak. Seperti ikan-ikan itu. Kepala mereka bergoyang sembari mengajukan banyak pertanyaan membosankan soal kapan pertama kali kami bertemu, apa yang kusukai darinya, malam pertama kami, sampai ajakan untuk bertemu sebulan sekali dan membawa pasangan masing-masing. Bayangkan betapa serunya jika kita hang out bersama! Kepalaku pening dan aku membutuhkan earphone-ku sekarang. Aku merogoh saku tetapi pacarku lebih cepat. Ia meraihnya, memberi tanda dengan menggelengkan kepalanya.

Konser tampaknya tengah mencapai klimaksnya. Seorang teman pacarku bangkit dan mengajak kami semua mendekat ke panggung. Bintang tamu utama akan tampil, begitu katanya. Orang-orang berteriak histeris ketika MC memanggil nama seorang penyanyi. Pacarku juga berteriak. Tapi sebelum ia berlari menyusul teman-temannya, aku lebih dulu menarik tangannya. Aku menggeretnya paksa menyisip di antara orang-orang yang terburu-buru ke panggung.

Di belakang agak jauh dari panggung, ia memberontak. Ia terlihat sangat marah. Ia berteriak dan memukuli dadaku dengan sebelah tangannya yang memegang earphone. Aku menangkap tangannya, merebut earphone, lalu mengunci mulutnya dengan bibirku kuat-kuat. Mengulum lidahnya. Cara ini selalu jadi cara terbaik untuk membungkam mulut perempuan. Tapi apa kau tahu? Aku punya cara lain yang lebih efektif untuk memastikan ia tak lagi mangap-mangap seperti ikan.

Aku merasakan napasnya terengah-engah dan tubuhnya melunak. Biasanya memang begitu. Ketika kau kehabisan oksigen dalam paru-parumu, tentu saja reaksi tubuhmu akan sama juga. Ketika akhirnya ia jatuh dalam pelukanku, aku melepaskan kabel earphone yang membekas di kulit lehernya. Aku memasang ujung kabelnya ke smartphone dan mengetuk play. Sembari berjalan menembus kerumunan dan menghilang, lagu Paranoia yang tadi sempat terhenti kembali mengisi otakku lagi.

Has her breath stopped now?
Has her heart turned cold?
Am I being watched from somewhere?
How long will she resent me?


.end.

Kamis, 14 September 2017

Rohingya: Persoalan Etnis atau Agama?

Krisis rasial yang dialami etnis Rohingya berawal dari pencabutan identitas kewarganegaraan mereka oleh pemerintah Myanmar pada 1982. Setelahnya selama tiga dekade etnis Rohingya selalu menjadi objek marginalisasi, khususnya oleh junta militer yang berkuasa. Hak-hak mereka tidak diakui karena dianggap bukan penduduk asli, walaupun mereka telah mendiami Rakhine cukup lama.

Persoalan Rohingya dibicarakan di kedai kopi, di pasar, di warung kelontong. Pemberitaan yang besar-besaran di televisi dan (utamanya) di media sosial membuat isu Rohingya tidak hanya milik elitis dan golongan intelektual. Ibu saya yang jualan telur asin di pasar pagi pun bisa bicara soal Rohingya dengan temannya di lapak sebelah yang jualan ayam potong dan nasi kuning. Di berbagai grup Whatsapp dan jejaring sosial, saya menerima broadcast seruan aksi solidaritas berkaitan dengan isu Rohingya di Myanmar. Bentuk seruan aksi solidaritas berbagai macam, dari yang simpel penggalangan dana bantuan, pembuatan kaos untuk donasi, hingga pengajuan petisi. Bahkan di jejaring yang lebih privat ada aksi pengiriman sukarelawan ke lokasi konflik.

Menyenangkan untuk mengetahui kita semua sepakat tentang perlunya bantuan kemanusiaan dikirim ke Rakhine. Akan tetapi maraknya aksi solidaritas pun diwarnai dengan adu narasi tentang akar persoalan Rohingya. Sebagian pihak membuat narasi yang menggiring konflik Rohingya sebagai konflik agama. Ini bisa dimengerti, mengingat mayoritas Rohingya adalah penganut agama Islam dan trigger dari persoalan berlarut-larut ini memang penyerangan brutal teroris Buddhist terhadap muslim Rohingya pada 2012. Pihak lain, mengikuti narasi “formal” dari Duta Besar Indonesia di Myanmar, akar konflik adalah perbedaan etnis di negara berkembang yang tengah belajar berdemokrasi.

Narasi formal pemerintah menghimbau agar persoalan Rohingya tidak dibawa ke ranah agama karena ada keterlibatan pihak pemerintah lokal, yang dalam hal ini masih dipengaruhi militer, yang terlibat. Penyelesaian konflik juga dianggap akan lebih mudah jika isu agama tidak menambah runyam konflik yang ada. Namun di sisi lain, pihak pemerintah Myanmar pun tidak menyangkal adanya Islamfobia dalam konflik Rohingya. Ditambah lagi ketika yang menjadi trigger adalah teror dari penganut agama lain dan wawancara Suu Kyi dengan BBC yang mengindikasikan adanya negative judgement terhadap satu pihak.


Ketika keduanya begitu beririsan di Rohingya, bagaimana kita bisa membedakan antara konflik etnis dengan agama?

Senin, 17 April 2017

Sukses Terbesar dalam Hidupku

(dibuat sebagai persyaratan pengajuan beasiswa Master LPDP 2017)

Sejak kecil bisa dibilang saya menjalani hidup dengan sangat my way. Maksudnya, saya memilih apa yang akan saya lakukan tanpa banyak intervensi dari orang lain, termasuk orangtua. Saya memilih sendiri sekolah mana yang akan saya masuki sejak SD hingga kuliah. Melihat kondisi ekonomi keluarga yang bisa dibilang pas-pasan ketika itu, selalu memilih sekolah favorit yang biayanya lebih tinggi dari sekolah rata-rata adalah keputusan berani, kalau tidak mau dibilang tidak tahu diri. Tetapi itulah yang saya lakukan. Orangtua hanya menuntut satu hal, yaitu saya bertanggung jawab atas pilihan saya. Sejauh ini saya kira saya berhasil membuktikan bahwa pilihan-pilihan tersebut bukanlah pilihan yang salah.

Saya mendefinisikan kesuksesan sebagai keberhasilan saya untuk melampaui limit yang saya miliki. Keberhasilan untuk mencapai lebih dari yang diekspektasikan diri sendiri, baik dari segi pencapaian materi maupun cara berpikir. Karena itulah saya senang menjadi orang yang berbeda dan mengambil jalan yang tidak diambil orang lain yang berada dalam situasi yang sama. Termasuk dalam pemilihan sekolah, jurusan, pekerjaan, hingga (semoga) pasangan hidup.

Barangkali diterima di Universitas Indonesia dan menyelesaikan pendidikan sarjana di sana adalah sukses terbesar dalam hidup saya sejauh ini. Di tahun 2011 keluarga saya dibebani oleh tiga orang anak yang lahirnya tidak diprogram KB sehingga kebetulan sekali memiliki pengeluaran pendidikan yang sama. Saat saya hendak masuk kuliah, adik saya hendak masuk SMA dan SMP. Saya bersikukuh menolak saran orangtua untuk menunda kuliah saya satu tahun. Apalagi saat itu saya keras kepala ingin masuk UI yang dianggap mahal oleh orang-orang. So what? Saya membuktikan bisa mendapatkan beasiswa Bidikmisi dan lulus dalam waktu satu semester lebih singkat.

Pilihan tersebut bukannya tanpa risiko. Saya sadar untuk masuk UI dibutuhkan perjuangan yang berat dalam belajar. Terlebih saya adalah lulusan jurusan IPA dan ingin masuk Ilmu Komunikasi yang ada di rumpun sosial humaniora. Jadilah saya belajar dari nol materi IPS dari jenjang kelas X hingga XII. Buku-buku IPA sengaja saya sumbangkan ke teman agar saya sadar bahwa setelah ini, saya tidak punya jalan untuk kembali tergoda masuk rumpun sains dan teknologi. Saya sampai mengikuti bimbingan belajar intensif yang diadakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Kebumen (Perhimak) UI dan merantau sendiri ke Depok untuk belajar. Program bimbingan beajar tersebut terkenal ketat dan pesertanya belajar mati-matian untuk bisa masuk universitas impian. Mengingat hal tersebut sekarang, saya menyimpulkan bahwa saya adalah orang yang mampu melakukan tindakan ekstrim hanya untuk membuktikan bahwa saya telah memilih pilihan tepat.

Diukur dengan kondisi sekarang, apalagi jika disejajarkan dengan prestasi lain, tampaknya masuk UI bukanlah kesuksesan yang perlu dibesar-besarkan. Hanya saya, bagi saya determinasi atau ketetapan hati yang saya miliki saat itu belum terkalahkan oleh hal lain setelahnya. Prestasi-prestasi saya lainnya tidak memberikan kepuasan dan rasa bangga yang sama sepeti yang saya rasakan ketika menerima pengumuman saya lolos SNMPTN Tulis. Justru saya selalu berkaca pada tekad yang saya tunjukkan saat itu setiap kali saya tengah berusaha mencapai sesuatu. Bisa dikatakan, perjuangan saya masuk UI adalah pondasi yang membuat saya percaya diri untuk melangkah mengejar prestasi-prestasi lainnya.

Salah satu yang berkesan adalah saya menjadi delegasi UI dalam Lomba Esai Nasional yang menjadi salah satu rangkaian acara Festival Timur Tengah FIB UI 2014. Dalam pembuatan esai, saya memberanikan diri memilih topik yang sedikit disentuh peserta lain, yaitu politik Timur Tengah. Saya memang sudah tertarik pada politik, Islam, dan Timur Tengah sejak SMA. Meskipun beberapa pihak yang menjadi pembimbing mengatakan bahwa topik tersebut riskan, saya bersikeras mengerjakannya. Akhirnya memang saya tidak memperoleh juara. Akan tetapi, seusai pengumuman, salah seorang juri mendekat dan menyalami saya sambil menyampaikan bahwa di antara beberapa yang memilih topik politik, esai saya adalah yang terbaik dan jika diperbaiki sedikit bisa jadi artikel yang layak muat di surat kabar. Bagi saya, perkataan juri tersebut sudah melebihi apa yang pantas saya harapkan dan meyakinkan saya bahwa saya tidak salah memilih topik.


Saya berusaha memiliki alasan untuk setiap hal yang akan saya lakukan. Termasuk pemilihan jurusan Kajian Timur Tengah untuk LPDP 2017 ini. Banyak orang sangsi bahwa jurusan ini akan membawa dampak yang baik (pekerjaan) bagi saya. Tapi saya tidak peduli. Saya cukup membuktikan sekali lagi bahwa sebuah pilihan yang dipertanggungjawabkan akan selalu berakhir dengan melahirkan manfaat.

Sosialisasi Penyikapan Isu Timur Tengah Melalui Kajian yang Down-to-Earth Sebagai Tindakan Preventif Radikalisme

(dibuat dalam rangka persyaratan pendaftaran beasiswa Master LPDP 2017)

Bagaimana cara menjelaskan kepada masyarakat yang awam bahwa terdapat kekuatan-kekuatan besar di tingkat global yang menggerakkan aktor-aktor yang saat ini terlibat dalam konflik di kawasan Timur Tengah? Tampaknya terlalu sulit untuk membahasakannya ke dalam kalimat-kalimat sederhana tanpa berujung pada pembahasan tentang konspirasi global, yang entah bisa kita percaya atau tidak. Akhirnya penjelasan sederhana yang dipilih untuk meringkas kisah konflik adalah dengan menggunakan identitas terkuat yang melekat di pihak-pihak yang terlibat. 

Di Timur Tengah identitas terkuat yang dimiliki masyarakatnya adalah agama. Identitas agama menjadi topik yang sensitif terutama bagi masyarakat yang merasa memiliki kesamaan identitas, seperti di Indonesia. Konflik Syiah dan Sunni di Libya, Irak, dan Iran berpengaruh pada sikap masyarakat Indonesia yang merasa Sunni terhadap golongan Syiah. Konflik Israel-Palestina mendorong timbulnya kebencian umat muslim kepada bangsa Yahudi. Dalam skenario terparah, fanatisme terhadap agama dan golongan mendorong segelintir warga Indonesia untuk bergabung dengan ISIS. Pihak kepolisian RI, dilansir oleh Tribunnews, menyatakan bahwa setidaknya 600 WNI berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS sepanjang kurun waktu 2016.

Jika kita mengambil sampel acak untuk ditanyai perihal akar konflik di kawasan Timur Tengah, saya yakin sebagian besar akan menjawab bahwa akar konflik adalah perselisihan antarsekte atau antar aliran agama/kepercayaan di dalam masyarakatnya. Padahal, jika kita ambil big picture, agama hanyalah “kendaraan” yang digunakan  dalam perebutan pengaruh politik dan ekonomi antara pemegang kekuasan dan oposisinya. Seperti pernyataan Graham E. Fuller dalam bukunya A World Without Islam, bahwa ada atau tidak ada agama, dalam hal ini Islam, konflik seperti yang saat ini terjadi di Timur Tengah akan tetap ada. Sayangnya pemahaman demikian hanya dimiliki oleh sebagian kecil golongan intelektual. Kajian-kajian keilmuan mengenai konflik di kawasan Timur Tengah tidak sampai ke masyarakat awam. Hal ini karena sulit menjelaskan kekuatan-kekuatan yang bergerak di balik layar di tingkat global ke dalam perspektif lokal.

Dalam hal ini media massa memegang peranan penting dalam memberikan pencerdasan kepada masyarakat. Selama saya kuliah di tingkat S1 jurusan Ilmu Komunikasi dan mengambil peminatan jurnalisme, saya paham salah satu fungsi laten media adalah memberikan edukasi termasuk memberikan opini alternatif mengenai berbagai isu yang tengah hangat. Saya belajar bagaimana media membantuk opini publik dengan framing. Ketika saya terpilih menjadi delegasi Universitas Indonesia dalam Kompetisi Esai Nasional di Festival Timur Tengah 2014 yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), saya menulis esai tentang kekuatan media yang mampu mengumpulkan jutaan rakyat Mesir di Tahrir Square pada 25 Januari 2015.

Saya adalah penerima beasiswa Etos dari Dompet Dhuafa tahun 2011-2014. Selama menjalani perkuliahan di tingkat S1 saya terlibat di kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa misalnya Social Development Program (SDP) pendampingan desa di Kemiri Muka, Kota Depok, selama satu tahun. Selain itu juga saya rajin mengikuti kajian kawasan Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Departement of Islamic Study Center (DISC) Masjid Ukhuwah Islamiyah di Universitas Indonesia. Saya menyelesaikan jenjang sarjana dalam kurun waktu 3,5 tahun atau tujuh semester dan setelahnya pulang ke kampung halaman saya, Kebumen hingga sekarang. Di sini saya dan teman-teman membentuk komunitas Kebumen Muda yang aktif menulis informasi inspiratif untuk pemuda Kebumen di portal online http://kebumenmuda.com.

Sejak aktif mengelola media independen dan berinteraksi dengan masyarakat melalui berbagai kegiatan voluntary inilah saya sadar bahwa terdapat perbedaan yang signifikan atas informasi yang beredar di golongan intelektual kampus dengan informasi yang beredar di kalangan awam. Kajian intelektual distribusinya tidak sampai ke masyarakat umum. Bukan karena mereka tidak punya akses, melainkan karena tema kajian dan bahasanya tidak sesuai dengan kapasitas keilmuan mereka. Karena itulah saya bertekad untuk mejadi orang yang mampu menerjemahkan kajian-kajian intelektual ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami banyak orang. Khususnya bahasan tentang Islam dan konflik Timur Tengah agar tidak semata dipahami sebagai konflik fanatisme identitas.


Dengan ilmu yang akan saya dapatkan di tingkat S2 UGM program studi Agama dan Lintas Budaya, peminatan Kajian Timur Tengah melalui LPDP, saya yakin bisa memberikan kontribusi lebih banyak. Tidak hanya dalam bentuk keikutsertaan dalam kajian keilmuan, tetapi juga ikut menyosialisasikan dan mengimplementasikannya dengan terlibat bekerja di media massa, Kementerian Luar Negeri, atau bergabung dengan NGO seperti KNRP dan UNHCR.

Kamis, 13 April 2017

Memang Seperti Itulah Cinta

Memang seperti itulah dakwah. 

Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai. Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah menyedot saripati energimu, sampai tulang belulangmu, sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari. 

Sebagaimana rambut Rasulullah yang memutih lebih cepat sebelum umur menyulapnya karena beban ayat yang diturunkan Allah. Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Kepemimpinannya yang sebentar membuat umat muslim bingung karena tidak ada lagi orang miskin untuk diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak oleh penyakit dalam dua tahun kepemimpinannya. Namun itulah yang memang ia harapkan, meninggal sebagai jiwa yang tenang. 

Di akhirat nanti barangkali kita akan melihat tubuh Umar bin Khattab yang tercabik dan kepalanya botak. Tubuh perkasa itu runtuh dan terpaksa membawa tongkat kemana-mana. Kurang heroik? Akhir hidupnya, tubuhnya dihiasi luka tikam yang tertoreh saat ia sedang bermesraan dengan Rabbnya saat shalat.

Dakwah bukannya tidak melelahkan. Dakwah bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan. Tidak. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari, setiap saat mengiringi.

Satu kisah heroik akan segera disambung dengan kisah heroik lainnya, dengan amalan yang jauh lebih “tragis”. Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani. Justru karena rasa sakit itu selalu mengintai kemanapun mereka pergi dan akhirnya mereka beradaptasi. Jika iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus mengalah. Yakinlah rasa lelah itu sendiri yang akan lelah untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada. Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak lagi terasa sebagai luka. Hingga hasrat untuk mengeluh tak lagi ada dibandingkan dengan jihad yang begitu cantik.

Umar saat Rasulullah wafat berteriak histeris dan mengamuk. Saat Abu Bakar wafat, ia tak lagi mengamuk. Bukannya ia tak cinta pada Abu Bakar. Namun hatinya telah terbiasa, hatinya telah mampu menilai ditinggalkan sebagai suatu kewajaran.

Pejuang yang heboh memamerkan amal-amalnya adalah anak kemarin sore yang takjub pada rasa sakit dan pengorbanan yang baru ia lakukan. Mereka masih jarang tersakiti di jalan Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya besar. Karenanya saat mereka melakukannya, mereka merasa sebagai orang besar. Merekalah yang justru menjadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “Ya Allah, berilah ia petunjuk. Sungguh engkau Maha Pengasih dan Penyayang...”

Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak dan jasadnya dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya terus memancarkan cinta, mengajak kita untuk terus berlari.

“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu. Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu. Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu. Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu. Teruslah terjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”


(Today is one of the days when the longing inside me could burst out with just a slight touch. Let's meet again, Father, someday when the sun shines at its brightest)

Jumat, 24 Maret 2017

Sahabatku yang Satu Itu

Janji persahabatan itu tak lama. Usai lulus SMA, sahabat yang kemana-mana bersama akan sibuk dengan urusan-urusannya. Frekuensi bicara berkurang bahkan hilang. Kedekatan hati sampai pada titik minimal. Definisi pun berubah dari forever friends jadi sekedar teman SMA.

Makanya, aku sangat senang waktu HPku bergetar karena ada WA darimu. Mentionku di Twitter sebelumnya ternyata membukakan jalan untuk silaturahim kita. Dari 'apa kabar' hingga cerita nostalgia dan di percakapan-percakapan berikutnya kita mengidentifikasi satu sama lain: kamu masih jomblo tapi sok playboy, keranjingan ngomongin politik dan ideologi, lagi pingin cepat kaya, dan butuh teman untuk jadi tempat sampah.

Okelah, aku toh punya banyak waktu. Bisa jadi akulah lulusan sarjana UI paling pengangguran seantero Kebumen raya (jangan alam semesta, plis!). Jadilah aku sebagai objek show-off mu. Seperti John Watson. Iya deh, kamu dapet Sherlock Holmes, iya.

Sampai pada cerita balas dendammu kepada mantan dengan membuktikan bahwa kamu lebih baik dari yang dia kira, aku masih menganggapmu lucu. Lalu kamu mengujiku dengan beberapa bahasan tentang sejarah dan agama. Well, kupikir kamu harus tahu kamu lagi ngomong sama siapa. 

Awalnya kupikir kamu hanya sedang mencari jati diri saja, mempelajari banyak ilmu dari orang-orang dan buku-buku. Setelah aku tahu siapa yang kamu temui dan buku macam apa yang kamu tekuni, aku tidak bisa lagi menganggap kamu lucu. Early-stage liberalist with very big potential.

Ketidaksetujuan di antara kita jadi kentara, meski sebisa mungkin tidak kita jadikan personal. Aku masih senang mendengarmu bicara tentang semangat sosialis untuk memihak kaum marjinal di negeri ini. Aku masih tertarik mendengar konflik-konflik politik yang kamu dengar dari berbagai akun Twitter dan diskusi-diskusi unik sama teman-temanmu yang juga menarik.

Apakah karena kamu adalah sosialis pembela kaum marjinal, sehingga agamamu sendiri yang dominan di negeri ini kamu sinisi habis-habisan? Kritis boleh. Sinis jangan. Kita harus senantiasa berpihak pada kebenaran, tapi tidak boleh merasa menjadi yang paling benar.  Pun dalam percakapan kita, selalu ada hal-hal yang benar dalam ucapanmu. Semoga ada juga hal-hal benar dariku yang sampai kepadamu.

Aku menikmati setiap dialog kita. Pertanyaan-pertanyaan dan sanggahanmu yang membuatku kadang terbawa mimpi dan mempertanyakan keimanan sendiri. Hanya saja terkadang, ketika tak sengaja memikirkanmu, ada rasa sedih yang tidak bisa kutahan. Apakah kita tidak lagi ada di perahu yang sama? Aku mengharapkan waktu ketika kita bisa menjadi sekutu.

Jumat, 10 Maret 2017

Go Public!

Beberapa teman yang saya kasih limited access ke blog ini kadang suka tanya, "Nis, kenapa blognya nggak go public aja?"

Aduh sist, aku ndak sehumoris admin Twitter TNI_AU yang berani jawab macem-macem pertanyaan dengan kocak. Aku juga ndak secerdas penulis-penulis di mojok.co yang tulisannya menggelitik berdasar atas data, fakta, dan logika. Aku juga udah lupa tuh sekitar tiga atau empat prinsip jurnalisme yang kudu diterapkan tiap kali nulis berita layak baca. Simpelnya aku cuma remah-remah alam semesta yang nggak punya temen curhat jadi bikin blog sebagai pelariannya.

Seorang teman lain pernah berkata juga bahwa pendapat yang baik hanya berbuah baik ketika ia disampaikan. Iya sih, aku kicep aja waktu dengar kata-katanya. Bukannya aku nggak bisa jawab, tapi justru mbatin, "Bagian mana di dalam blog ini yang merupakan pendapat yang baik?"

Maka dari itu disinilah aku. Dengan tulisan ini, yang kuharap kalian membacanya saat iseng nggak ada kerjaan jadi ngepoin aku, aku ingin menjelaskan beberapa alibi atau pembelaan diri. Kenapa blog ini tidak disiarkan dimanapun alias tidak go public?

1. Konten 
Sudah jelas, bahwa hampir semua konten blog ini adalah curhat, anggaplah, yang tidak sempat tertuangkan dalam kalimat-kalimat verbal kepada orang lain. Isinya adalah hasil pergelutan di dalam otakku sendiri, hasil cerna dari kata-kata orang lain, kutipan pendapat orang-orang keren, dan kegalauan gadis usia awal dua puluhan. Aku yakin orang-orang lebih berhak atas informasi atau tulisan yang lebih berbobot dibandingkan isi blog ini.

2. Privasi
Aku terlanjur mengisi diari digital ini dengan curhat-curhat emosional. Jujur saja, ada beberapa yang aku sendiri menyesal menulisnya. Tapi tetap tidak kuhapus. Baik dan buruk, menyesal tidak menyesal, semua itu adalah bagian dari sejarahku. Otobiografiku. Meski demikian, ada hal-hal bersifat privat yang sebenarnya aku sama sekali tidak ingin orang lain sampai tahu. Kenapa? Karena mereka akan tertawa. Aku pun menertawai diriku sendiri, kadang-kadang. Tapi rasanya ditertawakan orang jelas berbeda. Atau mengumpat. Atau suatu ketika membicarakannya dengan orang lain. Seram!

3. Bebas
Menulis yang paling menyenangkan adalah saat kita tidak perlu cemas atau berekspektasi bahwa tulisan kita akan dibaca orang. Kita menjadi bebas menuliskan apa saja yang terlintas di pikiran. Ini semacam healing dan pelampiasan. Seperti mencintai seseorang diam-diam (lho?): sepi, tapi nyaman. Aku tidak perlu mengecek kolom komentar, tidak perlu memikirkan gaya bahasa, pemilihan kata, mencari data, mempertahankan pendapat... Menulis ya menulis saja. Terserah aku mau menulis apa. Kalau blog ini diketahui orang, aku akan merasa seperti sedang diintip, diawasi, dinanti, diberi ekspektasi. Gerah elah...

4. Desain
Kalau ini sangat teknis: blog ini miskin desain dengan persentasi gambar nyaris nol. Aku malas. Jujur saja aku nggak begitu suka tulisan yang di dalamnya banyak gambar. Mau  jual gambar atau tulisan, sih? Sudahlah aku tak mau repot memikirkan tampilan. Kan ini sebagai diari sambil lewat dan tempat penyimpanan abadi celoteh galauku.


Apakah empat alasan itu cukup? Kukira alasan pertama pun sudah menjawab semuanya. Aku nggak PD dengan isinya. Blog ini nggak layak dibaca banyak orang. Cukup kamu saja. Dan kamu. Kamu juga. Oh iya kamu juga pernah kukasih akses. Masih suka baca nggak? Semoga enggak.

Kalau kamu ingin tulisanku yang lebih serius, ya cek kebumenmuda.com sajalah. Atau beberapa media yang kushare (kalau ada). Disitu tulisan yang jadi citra diriku ini. Aku nggak yakin nulis politik, pasti ada yang nyalahin. Trus isu-isu ekonomi juga perlu banyak data. Males bet nyarinya. Kalau penasaran soal isu-isu dunia, duhai, banyak sekali sumber dari otak-otak yang lebih pintar. Kamu bisa cari sumber lain dari blog-blog lulusan PhD atau buzzer-buzzer medsos. Lebih canggih dan mindblowing. Aku mah apa, cuma modal katanya. Nah kalau kamu penasaran soal aku, baru deh...

Oh tapi blog ini nggak segitu nggak berguna juga. Izinkan saya membela diri ya sist. Kalau mau nyari tulisan soal galau nikah, baper organisasi, resah spiritual, cerpen nggantung, produktivitas pengangguran, bisa lah ngintip beberapa di sini. Insya Allah masih ada meaningful insight. Positif atau negatif silakan tentukan sendiri.

Salam.

Senin, 13 Februari 2017

Waktu Buku Indie dan Musik Jadi Satu

Hari ini ada acara unik: konser musik digabung dengan pameran buku indie di Mocosik Book and Music Festival di Jogja Expo Center (JEC). Penyanyinya nggak tanggung-tanggung. Panitia mengundang penyanyi tersohor ibukota: Glen Fredly, Tompi, Raisa, Shaggy Dog. Massa berkerumun, baik yang suka pameran buku dan artisnya atau penyuka salah satunya. Yang menarik, orang yang datang untuk nonton konsernya tetap harus beli buku karena tiket konsernya adalah sebuah buku. Dengan bayar Rp 50 ribu, kamu bisa nonton konser sekaligus dapat satu buku yang bisa kamu pilih sendiri.

Tiket buku ini menurutku ide yang keren banget. Semua buku yang jadi tiket adalah keluaran penerbit indie seperti EA Publishing, Indie Book Corner, iBoekoe, Mojok, dan beberapa lainnya yang kurang dikenal awam. Semua yang datang jadi kenal dan makin dekat dengan buku-buku indie. Memang tujuannya selain kampanye membaca, juga mengkampanyekan buku-buku indie yang jarang kita lihat di toko buku besar yang kebanyakan dipenuhi keluaran penerbit arus utama.

Jangan berpikir kalau buku-buku indie itu cuma buku yang bertema perjuangan, pergerakan, kekirian, dan biografi tokoh-tokoh. Banyak sastrawan cerdas yang bukunya lebih banyak diterbitkan oleh penerbit indie. Puthut EA, misalnya. Dia punya penerbitan sendiri untuk menerbitkan buku-bukunya, EA publishing dibuat untuk menampung buku-buku Puthut EA dan sejumlah penulis lain yang membawa nilai-nilai berbeda dari buku-buku arus utama. Demikian juga Mojok yang didominasi penulis-penulis kritis yang banyak jadi opinion leader di media sosial.

Buku indie ada sebagai alternatif yang menantang buku-buku sastra arus utama (menantang kemapanan), yang tengah dimonopoli dua grup besar, yaitu Kompas dan Tempo. Menurut diskusi dengan seorang teman, banyak yang berusaha menggulingkan kedua grup tersebut yang mbaurekso tren sastra saat ini. Aliran liberalisme, feminisme, dan kapitalisme jadi topik utama sastra urban, entah disadari atau tidak oleh pembacanya. Meskipun di permukaan kedua grup terkesan sosialis, dari segi bisnis dan modal/kapital, mereka dikuasai donatur kaum pendukung liberal-kapitalis. Makanya banyak buku-buku terbitan indie yang membawa tema sosialis, pergerakan kekirian, dan kritik sosial atas kemapanan: menyediakan second opinion.

Aku tak banyak tahu soal sastra di belakang layar. Perlu banyak membaca. Riset dan juga diskusi. Aku adalah pembaca yang simpel: judul buku atraktif, sinopsis menarik, tema sesuai selera, dan harga terjangkau, maka belilah. Ada waktu luang, maka dibacalah. Awalnya bagiku buku dan membaca hanya persoalan sesederhana itu. Tapi setelah diskusi semalam, yang kebanyakan aku jadi pewawancara yang banyak bertanya dan mendengar, aku mengingat kembali satu hal: sastra pun jadi alat pembawa misi. Pemikiran-pemikiran rumit yang jika dikemas jadi buku pelajaran akan membosankan, disuguhkan dalam karya sastra yang mengandung drama. Misi feminis, liberalisme agama, kapitalis, disuguhkan oleh tokoh-tokoh melalui susunan kata yang melankolis, punya alur, dan menjerat pembacanya lewat klimaks dramatis. Tema-tema itu dibawa penerbit arus utama yang bukunya bisa kita dapatkan dimana-mana dan mengisi rak best seller. Kita perlahan jadi terbiasa dengan tema tersebut, bahkan menjadi simpati dengan tokoh utama. Ketika di kenyataan dihadapkan pada situasi tertentu, kita akan berpihak pada pemilik alur pikir yang biasa kita baca.

Mungkin mirip dengan festival buku dan musik ini. Orang-orang yang awam dengan buku indie ditarik dengan kekuatan nama besar Tompi, Glen, Raisa, dan Najwa Shihab yang juga membuka sesi book signing untuk biografinya. Seperti label GM di buku-buku terbitan Gramedia, yang menjadi salah satu alasan kenapa sebuah buku dibeli. Konser dengan artis ternama jadi lampu sorot yang menarik massa berkerumun. Tapi sebelumnya, penonton harus punya buku dulu. Buku yang jarang mereka lirik waktu main ke toko buku. Entah dibaca atau tidak, minimal setelah konser ada satu buku indie yang nangkring di rumah mereka.

Aku beli buku tiketnya, yang kumpulan puisi "Misa Arwah" Dea Anugrah, tapi nggak nonton konsernya. Aku suka Tompi. Glen juga dulu suka. Tapi concert hall-nya terlalu ramai. Buat orang plegmatis dan (ehem) introvert macam aku, suara dan cahaya berlebihan sangat bikin pusing. Lebih suka streaming youtube sendiri pakai earphone. Akhirnya aku hanya jalan-jalan saja di lorong pameran yang dinding-dindingnya dipenuhi deretan foto tokoh sastra berikut kutipan mereka yang terkenal. Aku berfoto di depan salah satunya, WS. Rendra, dengan kutipannya yang sangat kusuka:

Kesadaran adalah matahari.
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian menjadi cakrawala.
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.



Yogyakarta, 13 Februari 2017

Melihat Aksi Mahasiswa Lewat Drama Korea

Mengamati lewat media tentang bergeraknya mahasiswa, saya segera ingin menuliskannya. Rasanya kegelisahan di kepala bisa terasa lebih seder...